Oleh Santi Zainuddin (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Meskipun sebagai negeri zamrud khatulistiwa, tetapi Indonesia tidak pernah luput dari masalah kenaikan harga pangan. Berbagai kebijakan telah dilakukan mulai dari operasi pasar hingga intervensi harga oleh pemerintah, tetapi kebijakan tersebut belum menjadi solusi. Wajar saja, karena akar masalahnya yaitu sistem ekonomi kapitalis masih diterapkan, yang mana sistem ini lebih mengutamakan keuntungan dan membuka kran seluas-luasnya terhadap investasi swasta.
Kenaikan harga pangan dikeluhkan oleh salah seorang warga, Waluyo, seorang warga di kawasan Petukangan, Jakarta Selatan. Dia mengaku cukup terbebani dengan kenaikan harga pangan, utamanya yang sering dikonsumsi. Dia mengaku, untuk keperluan belanja bulanan biasanya bisa terpenuhi dengan biaya Rp 1 juta. Namun, karena adanya kenaikan jadi perlu mengambil dari alokasi dana kebutuhan lainnya.
Sebelumnya, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) mencatat banyak bahan pangan yang mengalami kenaikan beberapa waktu belakangan ini. Padahal, biasanya harga pangan naik ketika permintaan melonjak seperti pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru). Sekretaris Jenderal IKAPPI, Reynaldi Sarijowan mengaku heran kenaikan harga pangan terjadi jauh hari sebelum Nataru. Dia mencatat harga cabai hingga gula masih terus mengalami kenaikan.
“Kalau bicara tren, tren ini sebenarnya belum cukup terlihat permintaan yang tinggi. Kecuali kita 1 minggu memasuki natal dan tahun baru, ini kan permintaan akan 2 kali lipat, tapi di November ini kenapa beberapa komoditas ini mengalami kenaikan,” ujar Reynaldi. (liputan6.com/26/11/2022)
*Negara Lalai*
Beban masyarakat kian hari kian bertambah dengan naiknya harga – harga kebutuhan pokok di pasaran. Mahalnya harga pangan juga menunjukkan negara gagal menjamin kebutuhan pangan murah. Pemerintah merasa cukup dengan membagikan bantuan sosial ataupun bantuan pangan yang nilainya jauh dari standar cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan yang layak, atau menstabilkan harga cukup dengan operasi pasar di sejumlah lokasi. Padahal, langkah-langkah klasik tersebut sama sekali tidak mengatasi persoalan, terbukti dengan terus berulangnya lonjakan harga pangan.
Jika kita cermati, permasalahan lonjakan harga pangan yang terjadi berulang bukanlah sekadar persoalan di tataran teknis, melainkan berpangkal dari konsep pengaturan sistem ekonomi Kapitalis, yang mana negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi investasi swasta, bukan lagi sebagai penanggung jawab atas pemenuhan semua kebutuhan masyarakat.
Lebih parahnya, korporatokrasi dalam sistem ekonomi kapitalisme meniscayakan terjadinya hegemoni. Pada sektor pertanian dan pangan ini misalnya, muncullah perusahaan-perusahaan raksasa, bahkan menjadi perusahaan integrator yang menguasai seluruh rantai usaha pengadaan pangan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Negara juga absen dalam pengaturan rantai distribusi pangan, sehingga para spekulan/mafia pangan, yang notabene sebagiannya korporasi pangan itu sendiri, menjadi tumbuh subur. Praktik spekulasi dan kartel pangan sukar dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah.
Selain itu, penegakan sanksi yang lemah makin meleluasakan para pelaku kejahatan pangan untuk beroperasi. Sanksi yang dijatuhkan tidak berefek jera dan sifatnya pun tebang pilih. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, tetapi para kartel dan mafia kelas kakap sangat sulit ditindak.
*Solusi Pangan dalam Islam
*
Konsep kapitalisme sangat berbeda dengan Islam, yang konsep pengaturannya sepenuhnya menggunakan syariat Islam. Secara prinsip, kunci kestabilan harga dan keterjangkauan oleh rakyat terletak pada berjalannya fungsi negara yang sahih, yaitu sebagai raain (penanggung jawab) dan junnah (pelindung rakyat).
Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, baik kuantitas maupun kualitas. Artinya, sebagai pelindung rakyat, negara harus hadir menghilangkan dharar (bahaya) di hadapan rakyat, termasuk ancaman hegemoni ekonomi. Negara Islam (Khilafah) tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan sepihak.
Pada sistem saat ini, badan pangan seperti Bulog belum maksimal menjalankan fungsi pelayanan, bahkan cenderung menjadi unit bisnis. Lembaga pangan ini melaksanakan fungsi stabilisator harga hanya dengan operasi pasar, yang tidak terlepas dari tujuan mencari keuntungan.
Bandingkan dengan kebijakan pada sistem Islam, untuk menjaga stabilitas harga, pemerintah akan menjaga ketersediaan stok pangan supaya stok dan permintaan stabil, di antaranya dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, ataupun dengan impor yang memenuhi syarat sesuai panduan syariat.
Pemerintah juga akan menjaga rantai tata niaga, yaitu dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar. Di antaranya melarang penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel dan sebagainya, disertai penegakan hukum yang tegas dan berefek jera sesuai aturan Islam.
Pemerintah sistem Islam juga memiliki struktur khusus untuk ini yaitu Qadhi Hisbah yang diantaranya bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayyib.
Tidak kalah pentingnya adalah peran negara dalam mengedukasi masyarakat terkait ketakwaan dan syariat bermuamalah. Dengan pemahaman tentang konsep bermuamalah, masyarakat akan terhindar dari riba, konsumsi makanan haram, serta tidak panic buying yang bisa merugikan masyarakat itu sendiri. Sungguh hanya sistem Islam solusi kehidupan masalah masyarakat. Wallahu’alam bishowab.
Views: 26
Comment here