Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Pernahkah kita membayangkan bagaimana sistem pendidikan yang ideal? Di mana guru dan siswa memiliki kesejahteraan yang memadai dan kualitas pendidikan yang tinggi.
Menariknya, jika ditarik mundur ke belakang di masa Islam, terjaminnya kualitas hidup serta penghargaan tinggi bagi guru pernah terwujud dengan gaji 15 dinar per bulan. Jika dikonversi ke rupiah saat ini, sekitar 1 dinar setara Rp 2.258.000, sehingga totalnya sekitar Rp 33 juta per bulan. Jumlah ini sangat besar untuk memenuhi kebutuhan dasar, bukan? Selain itu, harga kebutuhan relatif terjangkau, dan akses kesehatan serta pendidikan mudah didapat. Keberadaan guru tidak hanya dimuliakan karena perannya dalam pendidikan, tetapi juga diperhatikan kesejahteraannya oleh negara, mengingat kontribusi besar mereka terhadap kemajuan peradaban.
Lalu bagaimana dengan guru saat ini?
Pejabat negeri ini membuat Undang-Undang RI Nomor: 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diatur bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Mengingat perannya yang sangat penting dalam pendidikan maka sewajarnya kesejahteraan guru senantiasa dijaga. Tapi bagaimana realitas yang ada hari ini? Mengutip sumber media mainstream, gaji guru ASN dengan guru honorer didapati perbedaan yang lumayan signifikan. Belum lagi tenaga pengajar alias guru honorer di daerah ironinya ada yang digaji 300 ribu per bulan. Ditambah kondisi guru saat ini menghadapi tuntutan yang cukup kompleks.
Mulai dari pengerjaan administrasi yang berat. Semisal penyusunan rencana pembelajaran, pencatatan perkembangan siswa, dan evaluasi kinerja. Tuntutan administrasi ini dianggap seringkali mengurangi waktu guru untuk maksimal mengajar.
Guru juga dituntut untuk menguasai teknologi, membentuk karakter muridnya, dan harus bisa mengikuti kurikulum yang dinamis, serta menjadikan muridnya memiliki nilai sekolah yang tinggi. Bagi guru yang memiliki usia relatif muda mungkin bisa dengan mudah mengakses kemajuan teknologi, tapi bagaimana dengan guru yang usianya tidak lagi muda ditambah fasilitas yang terkadang tidak merata?
Hari ini guru seolah dianggap hanya sebagai pekerja, hingga banyak terjadi dikriminalisasi pada guru hanya karena menegur muridnya melakukan tindakan yang melanggar aturan sekolah. Terlebih jika wali murid termasuk orang yang punya nama, ada yang tidak terima hingga berbuntut melakukan somasi ke guru. Bukankah seharusnya didudukkan perkara dengan adil? Dimana jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru?
Di sisi lain, ada pula sikap guru yang kontraproduktif terhadap profesinya. Sebagaimana ramai di beritakan setahun terakhir, ada yang menjadi pelaku pembullyan, kekerasan fisik dan seksual, hingga ada pula yang terlibat judol dan pinjol. Sekalipun terdengar seperti tidak masuk akal, kenapa bisa seorang guru yang harusnya memberikan teladan tapi justru menjadi pelaku kemaksiatan?
Seorang guru seharusnya mampu berpikir sehat dan idealis. Namun, dalam sistem saat ini yang jauh dari kata mensejahterakan dan memanusiakan, tantangannya sangat besar. Tanpa membenarkan perilaku menyimpang, harus diakui bahwa upah minimalis dan tuntutan tugas yang berat sangat amat bisa mempengaruhi kemampuan guru dalam mendidik generasi. Berapa banyak lagi guru yang harus menjadi korban sebelum kita sadar bahwa sistem kapitalisme-sekuler ini tidak sesuai dengan fitrah manusia dan gagal menyentuh akar permasalahan yang dihadapi guru?
Di samping persoalan yang dihadapi guru semakin kompleks, kondisi dan kualitas siswa cenderung menurun. Degradasi moral, keterlibatan dalam kriminalitas seperti tawuran dan tindakan asusila akibat pergaulan bebas menjadi tantangan nyata. Lebih pahit lagi, banyak siswa yang tampak kehilangan minat belajar, teralihkan oleh interaksi di media sosial yang didominasi konten hiburan. Akibatnya, waktu mereka banyak terbuang sia-sia.
Bagaimana kondisi peradaban kita di masa depan jika kompleksitas masalah antara guru dan murid tidak diselesaikan hingga ke akar permasalahannya? Apakah perubahan kurikulum bisa menjadi solusi? Sejak perubahan dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, apakah kenyataannya sudah memperbaiki situasi? Bagaimana jika gaji guru dinaikkan? Meskipun setiap tahun ada kenaikan, namun seringkali tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Ditambah lagi, ada rencana kenaikan PPN menjadi 12% di tahun depan.
Dari realita yang terpampang nyata, kondisi pendidikan hari ini tidak banyak berubah karena solusi yang diberikan hanya menyentuh persoalan cabang. Sementara itu, sistem pendidikan dan pengaturan hidup rakyat masih berlandaskan kapitalisme-sekuler. Meski ada yang beranggapan bahwa negara seperti Amerika dan Korea Selatan memiliki sistem pendidikan yang maju dengan kapitalisme-sekulernya, apakah benar kondisi manusianya betul-betul baik?
Mengutip berita liputan6, di tahun 2023 alarm kesehatan mental di Korea Selatan kembali berbunyi. Desakan reformasi sektor pendidikan kembali digaungkan dipicu adanya guru SD berusia 23 tahun yang ditemukan dalam kondisi bunuh diri di ruang kelas. Data statistik yang dirilis pemerintah pada Minggu, 30 Juli 2023, menunjukkan bahwa ada 100 guru dari sekolah negeri di seluruh Korea Selatan melakukan bunuh diri dalam rentang tahun sejak 2018- hingga Juni 2023. Bertambah di tahun 2024 pada Agustus kemarin, tercatat ada 19 guru yang bunuh diri.
Realita yang tidak bisa dimungkiri, gaji dan tunjangan yang besar tidaklah cukup untuk menyelesaikan kompleksitas kehidupan, bahkan bagi seorang guru. Sistem saat ini hanya menawarkan solusi parsial, tanpa menyentuh akar permasalahan. Manusia, dengan keunikan dan keragaman karakternya, rentan terdistraksi oleh kemajuan teknologi dan terjangkiti mental illness karena kurangnya keimanan. Lebih parah lagi, sistem yang dibuat manusia sering dikuasai oleh kepentingan politik dan ekonomi, sehingga pendidikan hanya menjadi transaksi ilmu semata. Pertanyaan kritis yang harus kita renungkan: Apakah kapitalisme pendidikan benar-benar mampu memperbaiki masa depan bangsa, atau justru memperburuknya?
Solusi Mengakar
Dari persoalan guru serta siswa yang kompleks, maka diperlukan solusi mengakar yang mampu memaksimalkan potensi guru dan siswanya dengan sistem pendidikan yang memanusiakan manusia. Hadirnya sistem pendidikan Islam mengajarkan orientasi pembelajaran ilmu pengetahuan bukan sekedar untuk mengejar deretan nilai angka maupun gelar dan bukan dididik sebatas untuk memiliki keterampilan dan mendapatkan pekerjaan di tempat yang berprestise, pun bukan dipersiapkan menjadi budak korporat.
Sistem pendidikan Islam berlandaskan aqidah bukan manfaat. Stigmanisasi kalau berlandas aqidah menolak kemajuan sains dan teknologi merupakan kekeliruan besar. Karena dalam Islam, manusia diperintahkan untuk senantiasa berfikir memandang kehidupan, alam semesta serta manusia itu sendiri. Sebagaimana Allah swt. sampaikan:
Di surat Al-Ghashiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”
Surat Al-Baqarah ayat 164:
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.”
Ayat-ayat ini menunjukkan bagaimana Al-Qur’an mendorong umat manusia untuk merenungkan dan mempelajari alam semesta, yang merupakan dasar dari ilmu sains.
Logikanya, jika penciptaan alam semesta saja begitu diperhatikan, dijelaskan prosesnya, apalagi manusia. Termasuk Guru dan siswa selain punya kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, ada keyakinan yang harus diisi. Yakni keimanan pada sesuatu Zat yang tidak bergantung pada siapapun. Faktor keimanan ini menjadi sangat penting untuk mengkontrol perilaku manusia termasuk guru dan siswa agar senantiasa memiliki rasa mawas diri dan orientasi pada akhirat bukan sebatas kebahagiaan/kesejahteraan materi/fisik.
Hal terpenting lainnya yang menjadi prioritas dalam membangun peradaban manusia, Islam betul-betul menghormati ilmu dan pembawanya. Tentunya Islam di sini bukan sebatas ajaran agama yang mengatur ibadah individu, melainkan sebagai sebuah sistem yang diterapkan dalam institusi negara. Sistem Islam itu komprehensif karena mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk spiritual, sosial, ekonomi, dan politik.
Guru diberikan jaminan perlindungan terhadapnya serta peningkatan kualitas ilmunya. Sehingga guru bisa lebih fokus dalam mengamalkan ilmunya. Sebagaimana pernah tercatat dengan tinta emas sejarah pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di bawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, Al-Ma’mun. Pada masa itu, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia. Khalifah Harun al-Rasyid sangat menghargai ilmu dan para ilmuwan. Beliau mendirikan Baitul Hikmah (House of Wisdom), sebuah institusi yang berfungsi sebagai perpustakaan, akademi, dan pusat penerjemahan.
Masa khalifah Al-Ma’mun, penerus khalifah Harun al-Rasyid, melanjutkan tradisi ini dengan memberikan dukungan penuh kepada para ilmuwan dan guru. Beliau memberikan gaji yang sangat tinggi dan fasilitas yang memadai untuk para pengajar dan peneliti. Tercatat dalam sejarah kisah Al-Kindi merupakan seorang filsuf dan ilmuwan terkenal. Ia mendapatkan perlindungan dan dukungan dari khalifah, yang memungkinkannya untuk menulis lebih dari 260 karya dalam berbagai bidang seperti filsafat, matematika, kedokteran, dan musik. Dukungan yang diberikan institusi negara yang disebut Khilafah, tidak hanya kebutuhan finansial tetapi juga akses ke sumber daya ilmiah yang luas.
Dari sejarah ini menunjukkan bagaimana para guru dan ilmuwan pada masa sistem Islam mendapatkan perlindungan dan dukungan yang luar biasa, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan kontribusi besar bagi peradaban manusia.
Sistem Islam mensuasanakan kehidupan juga dalam dunia pendidikan dengan keimanan. Guru dan siswa sebagai individu dan masyarakat akan terjaga akalnya dan hawa nafsunya dari kerusakan. Karena negara Khilafah didorong untuk mampu menerapkan hukum-hukum Allah yang sudah pasti adil dan memanusiakan manusia serta menciptakan suasana keimanan dan kebaikan.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa menginginkan kebaikan di dunia ini, hendaklah ia mencapainya dengan ilmu. Barang siapa menginginkan kebaikan di akhirat, maka ia harus mencapainya dengan ilmu. Dan barang siapa menginginkan keduanya, hendaklah mencari ilmu.”
(HR Thabrani)
Dalam hadits lain:
“Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fiqih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak.” (HR Bukhari)
Siapapun yang menginginkan kehidupan yang baik niscaya tidak akan menolak sistem Islam. Terlebih bagi mereka yang mau berfikir. Rasulullah bersabda :
“Orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian.” (HR. Tirmidzi).
Views: 4
Comment here