Oleh: Faridah, S.Pd. (Pemerhati Sosial)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Krisis air bersih menghantui warga. Tak kurang dari 10.000 warga Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, saat ini tengah menghadapi krisis air bersih. Krisis ini disebabkan oleh putusnya pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang terletak di bawah laut akibat tersangkut jangkar kapal. Masalah ini telah berlangsung sejak 7 November 2024, dan berdampak signifikan pada kebutuhan air bersih masyarakat setempat.
Menanggapi kondisi tersebut, berbagai kelompok dan elemen masyarakat terus mengirimkan bantuan air bersih untuk memastikan kebutuhan warga terpenuhi. Bantuan air bersih tersebut dikirim melalui kapal dari pelabuhan Mayangan di Kota Probolinggo menuju Gili Ketapang, dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Akibat krisis air bersih ini, warga Gili Ketapang sampai berebut air kemasan di pelabuhan. (https://surabaya.kompas.com).
Krisis air bersih juga terjadi di daerah lain seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Viyata Devi (53 tahun) bahkan rela mengayuh sepedanya dari Jakarta menuju Bali menempuh jarak ribuan kilormeter, demi mewujudkan harapan membangun akses air bersih di NTB dan NTT. Aksi tersebut merupakan bentuk kepeduliannya terhadap isu sosial, terutama dalam mewujudkan akses air bersih bagi anak-anak dan perempuan di kedua daerah tersebut.
Miris, masyarakat kita mengalami krisis air bersih, padahal negeri kita memiliki kekayaan sumber daya alam termasuk sumber daya air yang melimpah seperti sungai, laut dan mata air. Namun kebutuhan air bersih tidak bisa dinikmati masyarakat dengan mudah, murah dan gratis. Mengapa kondisi ini bisa terjadi? Siapakah yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan air bersih bagi rakyat? Apakah individu dan masyarakat atau negara?
Krisis air bersih melanda beberapa daerah di tengah isu monopoli sumber-sumber mata air untuk industri, alih fungsi lahan yang merusak daerah resapan, maupun pencemaran di daerah aliran sungai (DAS) akibat buruknya tata lingkungan, industrialisasi dan buruknya perilaku masyarakat.
Hal ini bisa terjadi disebabkan karena negeri ini menerapkan sistem demokrasi kapitalisme-sekulerisme yang melegalkan adanya kapitalisasi dan liberalisasi sumber daya alam termasuk sumber daya air. Sistem kapitalisme meniscayakan kondisi tadi masif terjadi sehingga masyarakat mengalami krisis air atau kesulitan mengakses air bersih berkualitas dan gratis.
Disamping itu pemerintah dalam sistem ini lebih berperan menjadi pelayan bagi kepentingan korporasi. Negara dalam sistem ini mengabaikan perannya sebagai pelayan rakyat (raa’in). Alih-alih memperbaiki tata kelola air, negara malah bertindak sebagai pedagang yang turut mencari untung dari kebutuhan rakyat, termasuk air.
Air termasuk bagian dari kebutuhan primer masyarakat. Seharusnya negara yang bertanggungjawab menyediakan air bersih secara gratis dan juga mengusahakan dengan berbagai cara demi tercukupinya kebutuhan primer ini. Namun sebaliknya, saat ini rakyat harus membayar kebutuhan air bersih ini pada PDAM dengan biaya tertentu yang cukup besar perbulannya. Dengan fakta ini, negara jelas melakukan kapitalisasi atas sumber daya air. Kondisi seperti itu tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan sistem Islam.
Menurut sistem ekonomi Islam, kekayaan alam (SDA) termasuk air adalah bagian dari kepemilikan umum. Sumber-sumber air seperti mata air, sungai, laut, selat, teluk, danau merupakan kepemilikan umum, tidak boleh dikomersialisasi. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan air dan kepemilikan umum lainnya kepada individu, swasta apalagi asing.
Islam mewajibkan Negara (khilafah) menyediakan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan air dengan berbagai cara dan sekuat tenaga karena negara berfungsi sebagai pengurus dan pelayan rakyat (raa’in). Negara akan mengatur industri termasuk industri pengolahan air bersih agar tidak membebani rakyat atau menyulitkan rakyat untuk memperolehnya. Negara (khilafah) akan menentukan himma di daerah hulu untuk memastikan daerah resapan air tetap terjaga.
Pedoman Islam dalam pengelolaan air sebagai kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.: Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api. (HR Ibnu Majah). Kemudian,Rasul saw juga bersabda: Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, padang rumput dan api. (HR Ibnu Majah).
Khilafah akan mengelola mata air sehingga semua rakyat bisa menikmatinya secara gratis.
Negara wajib mendirikan industri air bersih perpipaan hingga terpenuhi kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat kapan pun dan di mana pun, dengan memanfaatkan berbagai kemajuan saintek sebagaimana terjadi pada era Khilafah.
Penerapan sistem ekonomi Islam ini harus selaras dengan sistem politik dan pemerintahan Islam, dimana pemerintah betul-betul berperan sebagai pengurus/pelayan rakyat dan melindungi kebutuhan /kepentingan seluruh rakyat termasuk melayani kebutuhan terhadap air bukan pelayan kepentingan korporasi seperti dalam sistem sekarang.
Hanya dengan Khilafahlah rakyat akan terjamin pemenuhan kebutuhan air bersih dan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya. Sistem khilafah Islam inilah yang dibutuhkan rakyat saat ini. Khilafah akan menerapkan sistem Islam kaffah yang akan mampu menjaminan pemenuhan kebutuhan pokok (termasuk air bersih) dan mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.
Views: 3
Comment here