Oleh: Bunda Dee (Ibu Rumah Tangga, Member Akademi Menulis Kreatif)
Sudah memasuki bulan ketiga di tahun 2021, kita masih saja disuguhi dengan peristiwa-peristiwa yang memilukan hati. Bencana alam terjadi di mana-mana hampir di seluruh wilayah Indonesia, seolah menjadi peristiwa rutin disetiap awal tahun. Bencana yang bertubi-tubi menambah derita rakyat di masa pandemi covid-19 yang belum juga berakhir.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi sekitar 136 bencana alam di Indonesia. Didominasi bencana banjir disusul tanah longsor, puting beliung, gempa bumi dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan korban yang tidak sedikit, baik korban jiwa maupun yang kehilangan tempat tinggal sehingga harus mengungsi (tirto.id. Senin 18/01/2021).
Pekan lalu telah terjadi bencana tanah longsor di Kabupaten Bandung. Dilansir dari ayobandung.com, Jumat, 19 Februari 2021, puluhan rumah di Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung mengalami retak karena adanya pergerakan tanah. Menurut Akhmad Djohara, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, setidaknya ada 20 rumah yang mengalami retak yang sedang didata dan dicari solusinya. Salah satu cara untuk mensolusikan masalah ini adalah dengan mengadakan perpindahan tempat atau relokasi wilayah. Upaya lainnya dibuat drainase kedap air untuk mengantisipasi longsor akibat serapan air. Masyarakatpun diimbau untuk selalu waspada saat musim penghujan datang agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Bencana tanah longsor adalah peristiwa dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan dan onggokan tanah.
Longsor kerap terjadi saat hujan dan umumnya terjadi di wilayah dengan lereng yang curam. Tidak hanya di Kabupaten Bandung, hampir di berbagai wilayah di Indonesia bencana terjadi. Curah hujan yang tinggi selalu dijadikan kambing hitam atas semua bencana ini. Padahal ketika terjadi bencana baik yang terkait banjir dan tanah longsor diakibatkan banyak faktor. Terutama faktor yang ada dalam kendali manusia. Dalam hal ini para penguasa yang memegang kebijakan negara.
Bila dianalisis secara seksama terlihat jelas pada kasus banjir yang berdampak tanah longsor terjadi karena empat faktor yaitu: pertama curah hujan. Kedua, air limpahan atau kiriman dari wilayah sekitar. Ketiga, air yang diserap tanah dan ditampung penampung air. Keempat air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari empat faktor tersebut ada tiga faktor yang dipengaruhi manusia termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Hanya satu yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia yaitu curah hujan. Jelas tidak bijak jika curah hujan dijadikan kambing hitam.
Kebijakan penguasa ini diperparah dengan adanya kolusi antara penguasa dengan kekuatan oligarki yang menghasilkan peraturan dan undang-undang yang menguntungkan para kapital dan sangat merugikan rakyat. Bencana tidak akan berhenti, bahkan setiap tahun semakin parah. Semua berpangkal pada pengadopsian sistem kapitalis sekularis yang memisahkan agama dari kehidupan.
Berbagai praktik yang dilakukan dalam sistem ini menyebabkan kondisi lingkungan hidup berubah yang mengarah pada pengrusakan lahan (degradasi ekologi). Berbagai bencana yang terjadi menunjukan bahwa manusia itu lemah dan butuh pertolongan Allah Swt. Maka tidak layak manusia membangkang terhadap aturan-Nya, bermaksiat serta berani mencampakkan hukum-hukum Allah. Sistem ini pula yang melegalkan eksploitasi Sumber Daya Alam yang memasifkan alih fungsi lahan dan pembangunan infrastuktur demi memperlancar investasi asing dan semakin menyengsarakan rakyat kecil. Lalu bagaimana Islam menyikapi setiap bencana yang datang? Bagaimana peran negara mengatasinya?
Dalam menyikapi bencana alam ada dua hal yang patut kita renungkan, yaitu faktor penyebabnya dan pengelolaan dampak bencana, termasuk rehabilitasi, seperti mencari akar permasalahan bukan hanya menitikberatkan pada upaya penanggulangan saja. Sementara pemerintah dengan kapitalismenya masih fokus tentang cara mengurangi resiko banjir, baik dengan pembangunan infrastruktur maupun peningkatan kemampuan menghadapi bencana.
Dalam Islam, hal penting yang harus dipahami adalah bahwa bencana adalah ketetapan Allah yang harus disikapi dengan sabar dan ridha atas kehendak-Nya. Perlu dipahami pula bahwa penyebab utama bencana adalah kemaksiatan manusia terhadap aturan Allah, sebagaimana firman Allah dalam Surah ar-Arum ayat 41 yang artinya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Syariat Islam mengajarkan sikap utama ketika menghadapi bencana adalah istirja dan muhasabah diri dengan bertaubat. Hal ini akan diarahkan dan dicontohkan langsung bersama pemimpin negara (khalifah). Di sisi lain, seorang khalifah memiliki kebijakan canggih dan efisien dalam permasalahan bencana. Mencakup sebelum, ketika, dan pasca bencana. Hal pertama yang dilakukan adalah mencari akar permasalahan. Pada kasus banjir dan tanah longsor yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, yaitu dengan membangun bendungan untuk menampung curahan air, seperti bendungan Qusaybah di Kota Madinah. Di masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak di sungai Tigris. Pada abad ke-13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar, dan banyak bendungan dibangun dengan berbagai fungsi yang berbeda. Baik sebagai penampung atau pengatur arus air.
Khalifah memetakan daerah rawan banjir dan longsor dengan cara melarang penduduk membangun pemukiman di dekat daerah tersebut, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu. Selain beberapa solusi di atas khilafah juga menekankan beberapa hal penting lainnya, seperti pembentukkan badan khusus untuk penanganan bencana alam, persiapan daerah-daerah tertentu untuk cagar alam. Hal kedua yang dilakukan khalifah adalah sosialisasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan kewajiban memelihara lingkungan, kebijakan atau persyaratan tentang izin pendirian bangunan. Pembangunan yang menyangkut tentang pembukaan pemukiman baru. Penyediaan daerah resapan air, penggunaan tanah dan sebagainya.
Solusi terakhir yang dilakukan khalifah yaitu penanganan korban bencana seperti penyediaan tenda, makanan, pengobatan, dan pakaian serta keterlibatan warga (masyarakat) sekitar yang berada di dekat kawasan yang terkena bencana tanah longsor. Tidak lupa, khalifahl akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan tausiah-tausiah atau syiar agama yang tidak formal bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt.
Begitulah solusi Islam dalam mengatasi bencana alam. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan khilafah islamiah ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga nash-nash syara. Dan ini semua hanya bisa dilaksanakan dalam negara Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam secara kafah dalam naungan khilafah slamiah.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 1
Comment here