Oleh: Sri Nurnaningsih (Konten Kreator Muslimah Kota Banjar)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Gaji UMR Banjar 2025 resmi disahkan oleh Pejabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, sebesar Rp 2.204.754. Besaran upah minimum ini sebelumnya merupakan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Kota (DPK) Banjar. Pada tahun 2024 lalu, gaji UMR Banjar Patroman tercatat sebesar Rp 2.070.192, sehingga apabila dibandingkan UMK Banjar 2025 ini mengalami kenaikan yang cukup tinggi dengan persentase 6,5 persen.
Dilansir dari Kompas.com bahwa UMR Banjar 2025 ini berada di urutan ke-27 se-Jawa Barat yang berarti meskipun mengalami kenaikan UMK Banjar statusnya terendah di Provinsi Jawa Barat.
Kata Irwan Herwanto selaku ketua Dewan Pimpinan Cabang Lembaga Perjuangan Hak Buruh Indonesia ( LPHBI ) Kota Banjar, mengaku miris, karena Kota Banjar selalu menjadi daerah di Provinsi Jawa Barat yang meraih predikat terendah sejak tahun 2019 sampai tahun 2025.
UMR atau Upah Minimum Regional merupakan penyebutan lama upah minimum di suatu provinsi dan kabupaten. Namun, saat ini istilah UMR sudah digantikan dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) dan UMK (Upah Minimum Kota). Meski demikian hingga kini banyak masyarakat yang masih menyebutnya dengan istilah UMR ketimbang UMK.
Desakan kenaikan upah dari para pekerja didorong oleh berbagai beban pengeluaran yang terus bertambah, seperti kenaikan tarif PPN 12%, kenaikan iuran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, kewajiban iuran Tapera dan tingginya harga kebutuhan pokok.
Dari sinilah buruh menolak penetapan UMP 2025 merujuk kembali pada PP 51/2023 setelah adanya putusan MK.
Ketua Serikat Pekerja Sinar Baru Banjar – Federasi Serikat Buruh Militan (SPSBB – F SEBUMI) Kota Banjar Irwan Herwanto, mengatakan, selama ini baik pengusaha maupun pemerintah dalam menentukan rumusan kenaikan upah selalu mengedepankan pertimbangan keberlangsungan industri dan mengurangi resiko PHK masal dengan dalih menekan angka pengangguran.
“Kenaikan upah mewujudkan simbiosis mutualisme, menjadikan pengusaha akan diuntungkan atas peningkatan gairah belanja dan daya beli masyarakat yang otomatis bisa mendongkrak omzet penjualan pengusaha,” tambah Irwan (kabar-priangan.com)
Dalam pandangan kapitalisme, kaum buruh adalah salah satu komponen produksi yang harus diminimalkan pengeluarannya demi mengurangi ongkos produksi. Tujuannya agar perusahaan mencapai keuntungan yang lebih besar. Buruh bagi pemilik modal (kapitalis) tidak ubahnya faktor produksi yang harus bekerja maksimal demi mencapai target produksi yang tinggi.
Dalam sistem kapitalisme, perusahaan memiliki kebebasan penuh untuk mengelola tenaga kerja, menetapkan kebijakan perekrutan dan menentukan PHK berdasarkan perhitungan bisnis dan keuntungan, bukan berdasarkan jaminan kesejahteraan tenaga kerja. Inilah simalakama sistem kapitalisme.
Pengaturan upah dalam sistem Kapitalisme akan selalu menjadi isu tahunan yang tidak pernah sepi dari kritik, baik dari pihak para pekerja maupun pengusaha. Ketika regulasi berpihak pada buruh maka pengusaha akan merasa dirugikan. Sebaliknya, ketika aturan berpihak pada pengusaha buruh juga banyak dirugikan. Hal ini tidak terlepas dari kesalahan paradigma kapitalisme dalam sistem pengupahan.
Yang menjadi tolok ukur sistem Kapitalisme dalam menentukan kelayakan gaji buruh adalah berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup (living cost) terendah bagi setiap individu tidak berdasarkan pada manfaat tenaga atau jasa yang ia berikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, para puruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka.
Upah Buruh Dalam Islam Ditentukan Dari Akad Yang Terikat Pada Syariat Islam
Dalam menentukan standar gaji, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Merujuk pada kitab An-Nidzam al-Iqtishadiy fii Islam (Sistem Ekonomi Islam) yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, penetapan besaran upah kerja, jenis pekerjaan, dan waktu kerja merupakan akad yang dilakukan berdasarkan kedua belah pihak. Tidak boleh ada yang merasa dirugikan dan merasa dipaksa.
Transaksi ijarah dilakukan terhadap seorang ajir (pekerja) atas jasa dari tenaga yang telah dia curahkan. Upahnya ditakar berdasarkan jasanya. Jenis pekerjaan juga harus dijelaskan sehingga tidak kabur sebab transaksi ijarah yang masih kabur itu hukumnya fasid (rusak).
Waktu bekerja harus ditetapkan apakah harian, bulan atau tahunan.Tenaga yang dicurahkan juga harus ditetapkan agar para pekerja tidak terbebani dengan pekerjaan di luar kapasitasnya. Begitu pun dengan upahnya yang diterima harus jelas disampaikan kepada seorang ajir.
Nabi ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.”(HR Ad-Daruquthni) (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam hlm. 178)
Perusahaan juga wajib membayar upah tepat waktu karena menundanya adalah bentuk kedzaliman. Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang akan memilihkan pakar tersebut untuk mereka dan negara pula yang akan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakat tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (Upah Minimum Regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, hal ini dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, keduanya merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah adalah kompensasi jasa.
Negara dalam sistem islam berfungsi sebagai raa’in (pemelihara urusan rakyat) negara yang bertanggung jawab memastikan agar ijarah berjalan sesuai akad yang telah disepakati. Jika pekerja setelah bekerja masih belum juga mencukupi kebutuhan pokoknya maka dia berhak menerima zakat karena dia dikategorikan sebagai fakir. Negara juga akan memberikan santunan apabila zakat yang diterima belum juga memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya itu, negara juga akan memberikan pelatihan keterampilan agar dapat bekerja.
Inilah konsep ijarah dalam Islam, dengan penerapan Islam yang Kaffah maka polemik tahunan tentang upah minimum tidak akan terjadi lagi.[] WE/IK
Views: 0
Comment here