Oleh Lia Aliana (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com — Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi merupakan ancaman dan malapetaka bagi masa depan suatu bangsa. Semua sepakat untuk memusuhi serta memerangi perilaku kriminal tersebut. Namun, akhir-akhir ini, tindak pidana korupsi semakin merajalela. Terbukti dengan banyaknya terpidana koruptor yang sering bermunculan di berbagai media televisi.
Menurut data dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (PANRB) terdapat 20 hingga 30 persen yang terlibat ataupun secara langsung terjerat kasus korupsi. Tjahjo Kumolo selaku Menteri (PANRB) membenarkan hal tersebut.
“Jujur kami tiap bulan rata-rata hampir 20 hingga 30 persen PNS yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus kami ambil keputusan untuk diberhentikan dengan tidak hormat,” kata Tjahjo Kumolo dalam acara rilis survei LSI virtual (merdeka.com, 18/4/21).
Merujuk pada data tersebut, sungguh korupsi sudah seperti penyakit kronis yang sulit diobati dan secara perlahan-lahan menggerogoti hingga mematikan negeri ini. Meski lembaga pemberantasan korupsi diperkuat, tetapi nyatanya nihil tak membuahkan hasil. Tentunya hal ini menjadi perhatian semua pihak agar kasus korupsi bisa dibasmi hingga akarnya.
Sekularisasi Akar dari Korupsi
Beberapa kalangan dari pemerhati politik menyebut perbuatan korupsi adalah ulah ‘oknum’ yang tidak bertanggung jawab dan sebagian berpendapat karena faktor human eror. Jika demikian, seharusnya jumlah koruptor bisa dihitung jari. Namun faktanya, pelaku korupsi semakin hari justru semakin menjamur. Maka patut dicurigai bahwa hal ini bukan sekadar masalah individu.
Kasus korupsi tidak hanya dijumpai di Indonesia, negara adidaya pun tak luput dari persoalan ini. Termasuk negeri yang menerapkan sistem demokrasi. Apabila dicermati, setidaknya terdapat tiga persoalan mendasar penyebab maraknya korupsi.
Pertama, rapuhnya nilai-nilai keimanan. Paham sekularisme yang menjadi asas sistem demokrasi berhasil memalingkan peranan agama dari kehidupan. Mengakibatkan hilangnya kejujuran, rasa malu, moral, dan etika. Hal ini diperparah dengan gaya hidup serba bebas, menghalalkan segala cara demi meraih kekayaan. Meskipun pendapatan PNS setiap bulannya terhitung banyak, tetapi budaya hedonisme juga konsumtif telah menjauhkan masyarakat dari pola hidup sederhana.
Kedua, matinya peran sosial dan kurangnya pengawasan. Kemerosotan moral juga spiritual telah mengikis rasa persaudaraan, yang berdampak pada semakin renggang ikatan sosial serta melemahkan kontrol sosial. Perilaku hidup individualis membuat masyarakat sibuk dengan kepentingan pribadi, tidak peduli dengan urusan orang lain.
Oleh sebab itu, ketika ada kesempatan berupa rasa aman, lingkungan mendukung, bebas tak diawasi maka berbagai penyimpangan sosial seperti korupsi ataupun suap luput dari perhatian. Inilah faktor eksternal yang sering dijumpai pada pelaku koruptor. Sesuai dengan hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati bahwa 49 persen kasus korupdi disebabkan karena kurangnya pengawasan (Republika.co.id, 18/2/21).
Ketiga, sistem sanksi yang lemah. Selama ini hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi menurut UU Tipikor Pasal 2 ayat (1) meliputi penjara paling lama 20 tahun dan denda maksimal 1 miliar, tetapi tetap saja tidak membuat jera. Buktinya masih ditemukan pejabat tanpa malu mengambil uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Ini salah satu indikasi bahwa sanksi bagi para koruptor tak lagi berfungsi.
Belum lagi berbagai keringanan berupa potongan hukuman semakin menegaskan bahwa sanksi bagi seseorang yang mencuri uang rakyat relatif ringan. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) berkaitan dengan sanksi koruptor sejak tahun 2019 rata-rata hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
Berdasarkan ketiga faktor di atas, maka jelas bukan sekadar human eror. Lebih dari itu, ada peran lingkungan yaitu memberikan ruang dan kesempatan bagi siapa pun untuk melancarkan aksinya. Didukung dengan sanksi yang tidak tegas, menunjukkan bahwa hal ini adalah permasalahan sistemik. Dengan demikian sistem demokrasi liberal yang berasaskan sekularisme merupakan akar dari kasus korupsi.
Sistem Islam Atasi Korupsi
Korupsi adalah persoalan sistemik tentu harus diberantas dengan solusi yang berasal dari sistem paripurna. Sebab jalan keluar parsial tidak akan mampu mengatasi permasalahan ini hingga akarnya. Terbukti meski segala upaya dilakukan baik itu dengan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi hingga berganti-ganti Undang-Undang tentang hukuman bagi koruptor, tetap saja masalahnya tidak tuntas, bahkan cenderung meningkat.
Islam sebagai agama sempurna memiliki seperangkat aturan yang mengurusi berbagai persoalan individu, kelompok bahkan negara, yang dikenal dengan sistem pemerintahan Islam atau khilafah. Berikut beberapa pilar dalam sistem Islam untuk mengatasi dan mencegah perilaku korupsi.
Pertama, individu yang bertakwa. Seseorang yang benar-benar memahami konsekuensi dari keimanan maka akan tumbuh rasa takut kepada Allah. Tolok ukur perbuatannya adalah halal dan haram, sehingga segala tindakannya menyesuaikan dengan hukum syara. Hal itu menjadi benteng secara untuk menjauhi perbuatan korupsi karena dirinya senantiasa merasa diawasi oleh penciptanya.
Kedua, kontrol masyarakat yang tumbuh dari semangat amar makruf nahi mungkar, yaitu keinginan agar seseorang terhindar dari perbuatan maksiat. Secara alamiah akan mewujudkan lingkungan dengan rasa kasih sayang dan kepedulian. Maka benteng kedua setelah penjagaan terhadap individu adalah kontrol sosial, dalam wujud saling mengingatkan dalam kebaikan dan keburukan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi seseorang untuk melakukan tindakan kriminal seperti korupsi, sebagaimana firman Allah SWT:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِوَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh untuk berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali Imran: 104).
Ketiga, kehadiran negara yang menerapkan sanksi tegas. Meskipun individu dan lingkungan sudah terkondisikan dengan atmofer kebaikan, tetap kehadiran negara dengan sanksi yang tegas menjadi solusi jitu bagi berbagai pelanggaran hukum. Sebab negaralah yang berwenang untuk menerapkan hukum.
Dalam sistem Islam, korupsi dianggap sebagai perbuatan khianat karena telah menyalahi amanah umat untuk kepentingan pribadi. Secara syariat perbuatan korupsi dibagi menjadi beberapa jenis yakni, saraqah (pencurian), risywah (suap), al-ghasysy serupa pengkhianatan atau penipuan. Ketiganya disebut sebagai ghulul yaitu harta yang diperoleh secara ilegal dan hukumnya haram.
Allah SWT. berfirman, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (TQS. Al-baqarah: 188).
Adapun sanksi tegas yang diberlakukan dalam Islam bagi pelaku korupsi adalah berupa takzir, yakni hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh khalifah tentunya berdasarkan hukum syara dan hasil ijtihad. Bentuknya bisa berupa penyitaan, tasyhir yaitu diumumkan kepada publik, kurungan atau penjara, bahkan hingga hukuman mati, tentu dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan bagi umat juga negara.
Kesempurnaan aturan Islam mampu menyelesaikan permasalahan korupsi dari cabang hingga akarnya. Bahkan sistem Islam memiliki seperangkat cara dalam pencegahannya baik secara internal maupun eksternal. Oleh sebab itu pemberantasan korupsi hingga tuntas hanya bisa dilakukan dengan penerapan Islam secara total dalam institusi negara yaitu Daulah Khilafah Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 41
Comment here