Opini

Sosial Media Kembali Memakan Korban, Darurat Kehidupan Sosial

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari
(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rencana membuat konten saat video call bersama teman-temannya dengan gantung diri, justru berujung tragis  membuatnya kehilangan nyawa. Dilansir dari detik. com korban merupakan sosok wanita berusia 21 tahun asal Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Begitu besarnya pengaruh sosial media dalam kehidupan di era modern. Para penggunannya pun memanfaatkannya dan menjadikannya ajang untuk bisa terkenal. Eksistensi yang seharusnya ditunjukkan dengan prestasi kini bergeser menjadikan seseorang rela melakukan apapun demi viral dan banyak followers.

Konten nyeleneh nan unfaedah hari ini justru lebih banyak diminati daripada konten edukasi. Hal ini yang mendorong banyak orang secara sadar dan rela melakukan hal yang ekstrem ataupun memanipulasi apapun hanya untuk viral.

Kini seakan lebih berprestise bin keren dengan jalur banyak follower ketimbang banyaknya prestasi yang mengedukasi. Sebab inilah yang akhirnya mendorong para pengguna sosial media berlomba-lomba membuat berbagai jenis konten. Bak gayung bersambut realita konten yang nir faedah juga justru lebih banyak diberikan panggung dan diapresiasi oleh berbagai platform sosial media.

Diantara tehnik cepat agar kian popular dilakukan dengan cara flexing. Istilah flexing sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau keberhasilan seseorang kepada orang lain. Flexing sering digunakan di kalangan generasi hari ini yang merujuk pada aktivitas memamerkan barang-barang mewah, prestasi, atau gaya hidup yang glamor melalui media sosial, pertemuan tatap muka, atau obrolan daring.

Munculnya flexing dipengaruhi perkembangan media sosial sebagai tempat bersosialisasi, tempat yang menjadi ajang “show of” berbagi aktivitas atau gaya hidup para penggunanya. Maraknya perilaku flexing diantara penyebabnya;

Pertama, ingin diakui keberadaannya atau status sosialnya di masyarakat. Terlepas dari gaya hidup flexing sendiri, naluri eksistensi/ ingin diakui ini ada pada setiap manusia.

Kedua, tuntutan lingkungan. Lingkungan sosial/ sangat bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Terlebih bila lingkungannya merupakan orang-orang terpandang/berada, maka dorongan agar bisa diterima dalam komunitasnya memungkinkan terjadi adanya perilaku flexing.

Ketiga, dipengaruhi oleh sistem. Hidup dalam sistem yang memberikan gambaran bahwa puncak kebahagiaan tertinggi ada pada kekayaan, punya barang mewah, ialah sistem kapitalis yang mengkondisikan manusia yang hidup di dalamnya berlomba-lomba menuju tujuan kebahagiaan yang sama.

Buah Simalakama

Naluri eksistensi/ keinginan agar diakui, dihargai, disayangi merupakan fitrah manusia. Keberadaan naluri ini bukanlah sesuatu yang salah. Namun bisa menjadi permasalahan serius jika dipenuhi tanpa ada aturan/ batasan.

Menjadi realita yang nyata di sistem sekular-kapitalis hari ini, ketika pemenuhan naluri eksistensi tak memiliki filter/ rambu-rambu yang tegas. Contoh nyata kasus video bundir di atas. Jalur eksistensi yang kebablasan adalah buah sekaligus bukti semakin rusaknya tatanan kehidupan sosial saat ini.

Perilaku flexing justru dapat merugikan pelakunya sendiri serta menjadi contoh yang kurang baik bagi masyarakat secara umum. Diantaranya bisa menimbulkan iri yang menyaksikannya, pelakunya bisa menjadi target empuk sasaran tindak kejahatan seperti pencurian/ perampokan, juga membuat pelakunya masuk ke dalam jeratan utang atau tindak korupsi jika memaksakan diri tanpa melihat kemampuan keuangannya.

Besarnya Pengaruh Sistem membuat taraf berpikir sebagian masyarakatnya bahwa puncak tertinggi kebahagiaan dan kenyamanan adalah kekayaan, kemewahan,dan barang bermerek. Maka tak jarang perilaku konsumtif, gaya hidup hedonis, perilaku flexing membudaya hari ini.

Eksistensi Salah Tempat

Indonesia sebagai negeri muslim terbesar selayaknya membuat umat Islam memahamj tujuan hidupnya di dunia. Sayangnya hari ini umat Islam khususnya hilang arah bahkan cenderung berkiblat pada budaya-budaya asing seperti disebutkan di atas. Akhirnya naluri eksistensi menjadi salah tempat.

Jika manusia khususnya umat Islam berlomba-lomba saling mengungguli atau “show of” hanya untuk mendapatkan pujian di antara manusia lainnya dengan kemewahan, kekayaan, maka akan mudah terkena mental illness atau bahkan stress bila tidak terwujud. Hal ini pula yang memperparah kondisi umat Islam semakin jauh dari hakikat hidupnya.

Hasil Kemunduran Peradaban Umat Islam

Dalam kitab Mafahim karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, beliau menjelaskan sebab kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 H (18 Masehi). Bahkan hingga hari ini kondisi umat makin memburuk.

Pada masa itu diawali lemahnya pemahaman umat terhadap Islam tatkala bahasa Arab mulai diremehkan peranannya. Padahal bahasa Arab merupakan kunci memahami Al Qur’an sebagai petunjuk hidup umat Islam. Akibatnya umat Islam tidak memahami agamanya sendiri, mana budaya yang sesuai/dibolehkan syariat Islam, mana yang tidak.

Masuknya pemikiran/ide dan budaya selain Islam. Pada masa itu umat Islam terpecah, ada yang mentolerir budaya asing, ada yang anti sampai mengasingkan diri tak mau bergaul dengan masyarakat khawatir terpengaruh budaya asing.

Semakin terpuruk manakala kepemimpinan umat Islam yaitu Khilafah runtuh di masa Kekhilafahan Ustmani tahun 1924. Umat Islam terpecah dan terombang-ambing kehilangan arah. Tak lagi memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Umat Islam kehilangan pelindung utama aqidah dan keimanan mereka sehingga dengan mudah budaya asing yang bertentangan dengan aturan Islam menjadi keseharian kehidupan mereka melalui berbagai media, baik elektronik dan khususnya dunia internet.

Kembali Pada Fitrah

Berbagai upaya umat Islam membangkitkan kondisi umat Islam, dengan mendirikan sekolah-sekolah Islam, membuat organisasi lembaga sosial peduli umat, sampai ada yang masuk ke parlemen berharap dapat membuat kebijakan yang bisa mengarahkan generasi hari ini memenuhi naluri eksistensi dengan benar. Namun sampai hari ini justru seringkali berbenturan dengan aturan main sistem sekuler yang diterapkan saat ini.

Nampak jelas sistem sekular-kapitalis telah gagal menjadi solusi atas problematika peradaban manusia, termasuk dalam aspek pemenuhan naluri eksistensi. Yang terjadi justru kerusakan diberbagai tatanan kehidupan baik dalam lingkup sosial hingga bernegara.

Islam menawarkan solusi tuntas dengan memberikan aturan yang sesuai fitrah manusia, masuk akal dan menentramkan hati. Kesadaran pemenuhan naluri eksistensi akan diarahkan pada taraf berfikir yang tinggi, yaitu berlomba eksis untuk meraih keridhoan Nya sang pemilik kehidupan dan Pencipta manusia itu sendiri. Karena seorang muslim yang memahami agamanya menyadari secara penuh bahwa akhirat adalah tempat kembali manusia yang sesungguhnya dan dunia hanya sekedar arena mencari bekal untuk kehidupan akhirat.

Eksistensi dalam pandangan Islam bukan dipenuhi dengan kemewahan, kekayaan ataupun ketenaran. Justru generasi diarahkan untuk saling peduli dengan sesama manusia. Kesadaran ini dibangun dengan aktivitas sedekah dan yang terpenting yaitu dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan aktivitas inilah peradaban manusia akan senantiasa terkontrol, agar tidak liar dipenuhi hawa nafsu seperti yang terjadi saat ini.

Peranan sesama umat sangat dibutuhkan agar tercipta suasana saling mengingatkan. Ditambah peran paling funsional ketika sistem Islam diterapkan oleh negara. Sebab negara bisa mengkondisikan dengan memfilter konten unfaedah, dan memberikan sanksi tegas setiap ada penyimpangan.

Jika Elon Musk yang non muslim saja mengakui keberadaan Negara yang menerapkan Islam di masa lampau, ia mengatakan, “Ketika Roma runtuh, Islam bangkit, Anda memiliki kekhalifahan yang baik sementara Roma buruk. Dan itu akhirnya menjadi sumber pelestarian pengetahuan dan banyak kemajuan ilmiah.” Saat gelaran The World Government Summit 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab.

Bagaimana dengan sikap umat Islam selaku kaum muslim sendiri? Masihkah mempertanyakan Islam mampu menjadi solusi atas seluruh problematika umat hari ini? Padahal Allah Swt. telah menjelaskan dengan sangat jelas dalam Al Qur’an.

Allah SWT berfirman:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah……”
(QS. Ali ‘Imron : 110)

Dalam ayat ini Allah swt telah memuji umat Islam sebagai umat terbaik diantara seluruh manusia. Tentu pujian langsung dari Zat pencipta alam semesta adalah perkara bukan main-main dan sangat luar biasa maknanya. Tapi predikat terbaik itu tidak diraih dengan hanya sekedar beriman, tapi yang disebut lebih dulu dalam ayat diatas adalah aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Apa yang menjadi standar ma’ruf dan munkar? Tentu jelas aturan Allah swt. Bukan aturan hasil akal atau kecerdasan buatan manusia seperti yang kita jalani saat ini.

Jadi, masih kurang terang benderangkah bagaimana cara memperbaiki peradaban umat manusia secara umum dan agar umat Islam kembali bangkit meraih predikatnya sebagai umat terbaik diantara manusia?

Wallahu A’lam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here