Oleh: Umi Kalsum
wacana-edukasi.com– Aksi terorisme kembali terjadi di sepanjang tahun 2021. Sebuah bom bunuh diri meledak di Gereja Katedral Makassar pada Ahad, 28 Maret 2021. Pelaku diduga adalah sepasang suami istri yang baru 6 bulan menikah. Aksi tersebut telah menewaskan kedua pelaku dan melukai sebanyak 20 orang.
Tak berselang lama, aksi terorisme kembali terjadi di Jakarta. Seorang wanita menyerang Gedung Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret 2021. Wanita tersebut menodongkan senjata api ke anggota polisi. Ia menembak sebanyak 6 kali, namun tidak ada korban jiwa (lpmmomentum.com, 28/4/2021).
Selanjutnya pada 11 Mei 2021, kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) dilaporkan melakukan aksi teror terhadap empat orang warga sipil di Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Kompas.com, 27/5/2021)
Tak hanya itu, penangkapan juga dilakukan terhadap terduga teroris yang diberitakan tergabung dalam kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Densus 88 Anti-teror Polri telah menangkap tiga orang terduga teroris. Ketiganya yaitu berinisial S ditangkap Ahad, 31/10/2021, inisial SU ditangkap Senin, 1/11/2021 dan inisial DRS ditangkap Selasa, 2/11/2021. Mereka ditangkap dalam kapasitasnya sebagai pengurus Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Abdurrahman bin Auf (LAZ BM ABA) di Lampung.
Berdasarkan informasi dari Divisi Humas Polri pada Rabu, 3/11/2021, lembaga ini mengumpulkan dana untuk kegiatan atau aksi-aksi terorisme dan membuat program bernama “Jihad Global ” dalam rangka pengkaderan serta konsolidasi bagi anggota JI (Beritasatu.com, 3/11/2021).
Baru-baru ini pun Densus 88 telah melakukan penangkapan terhadap tiga ulama, yaitu Ahmad Zain an-Najah (AZA), Anung al-Hamad (AA), dan Farid Ahmad Okbah (FAO) pada Selasa (16/11/2021). Salah satu diantaranya adalah anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Ketiganya dijerat dengan pasal 4 UU nomor 9 tahun 2013 tentang pendanaan terorisme karena diduga terlibat dalam aktivitas lembaga pendanaan terorisme JI yaitu LAZ BM ABA (Tempo.co, Jumat, 19/11/2021)
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafly Amar menyampaikan di dalam rapat bersama Komisi III DPR RI pada bulan Mei 2021 lalu, bahwa ada 216 orang yang terlibat dalam aksi terorisme sepanjang bulan Januari sampai Mei 2021. Rinciannya adalah 71 orang berasal dari jaringan Jamaah Al Islamiah, 144 orang berasal dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah, dan satu orang terkait deportan. Yang menjadi pembahasan pada rapat tersebut adalah mekanisme permintaan bantuan densus 88 Anti-teror dan SOP dalam melakukan tindakan terhadap terduga terorisme serta ancaman terorisme lintas batas (Kompas.com, 27/5/2021).
Fakta terorisme yang terjadi di sepanjang tahun 2021 ini menggambarkan bahwa pelaku terorisme adalah sosok muslim dan kelompok Islam yang ingin menerapkan Islam. Mereka melakukan tindakan terorisme untuk mewujudkan keinginannya. Seolah penerapan Islam dilakukan dengan metode kekerasan.
Isu terorisme ini terus saja digaungkan. Upaya pencegahan dan penindakan pun sudah dilakukan oleh Densus 88. Akankah masalah terorisme ini berakhir?
Isu Terorisme Belum Berakhir
Ibarat sinetron streaming, isu terorisme terus dimainkan. Ceritanya menarik perhatian kalangan yang sarat akan kepentingan. Lihat saja, jika berurusan dengan kasus terorisme, petugas keamanan begitu mudahnya menemukan pelakunya, apalagi dari kalangan umat Islam. Namun jika kasus tersebut berkaitan dengan kelompok bersenjata yang jelas-jelas memakan korban jiwa baik dari kalangan sipil maupun TNI, penanganan kasusnya berjalan sangat lambat, bahkan tak pernah terdengar sedikitpun disebut sebagai kelompok teroris. Padahal kasus yang dilakukan juga terkategori tindakan terorisme.
Menurut Black’s Law Dictionary, terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan .
Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakikat perbuatan terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain (Wikipedia.org).
Istilah terorisme sendiri sudah sangat familiar kita dengar sejak peristiwa 11 September 2001. Amerika Serikat mengagendakan “War on Terrorism” ke seluruh dunia. Pemimpin negeri-negeri muslim mendukung agenda global ini dengan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan. Misalnya, Indonesia telah membuat regulasi-regulasi dalam rangka mencegah terjadinya tindakan terorisme. Sebut saja UU Intelijen Negara, UU Ormas, UU Terorisme dan Perpres no.7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme, serta kebijakan deradikalisasi lainnya.
Namun jika kita telisik, isu terorisme merupakan salah satu upaya untuk membendung gerakan kebangkitan Islam. Pasalnya selama ini orang-orang kafir barat terus berupaya mempropagandakan Islam sebagai agama kekerasan, agama intoleran, agama teroris, dan agama yang terbelakang. Namun upaya tersebut tak mampu menghalangi bersinarnya cahaya kebenaran Islam. Semakin Islam disudutkan, semakin banyak yang ingin mempelajari Islam lebih dalam. Pada akhirnya, jumlah pemeluk Islam semakin bertambah.
Begitu juga dengan organisasi yang mendakwahkan Islam kaffah. Upaya mencerdaskan umat akan pentingnya menegakkan institusi pelaksana syariah terus bergema. Kesadaran umat semakin tumbuh untuk hidup dengan aturan Islam baik secara politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pemerintahan, dan lain sebagainya.
Barat sebagai pemilik sistem kapitalisme memahami arus perubahan ini. Mereka terus melakukan berbagai cara untuk membendung kebangkitan Islam. Salah satunya adalah dengan terus mengaitkan Islam dengan tindakan terorisme. Sehingga mereka berharap masyarakat akan takut jika syariah Islam diterapkan oleh negara. Walhasil, ini akan menghambat perjuangan dakwah dan memperlambat berdirinya negara Khilafah yang sangat ditakuti oleh Barat dan sekutu-sekutunya.
Aksi Terorisme dan Kekerasan Bukan Ajaran Islam
Sebagaimana kita ketahui, salah satu ajaran Islam adalah berperang di jalan Allah atau jihad fisabilillah. Aktivitas jihad merupakan aktivitas yang agung dalam rangka meninggikan kalimat Ilahi dan mengusir penjajah dari tanah kaum muslimin. Maka dari itu, Islam telah memberikan seperangkat aturan tentang tata cara berjihad dan beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan disaat jihad.
Aturan jihad ofensif (menyerang) adalah pertama, harusnya diperintahkan oleh penguasa yang menerapkan hukum Islam. Kedua, harusnya ditujukan kepada orang kafir dengan didahului dengan mendakwahkan Islam dan mengajak masuk Islam. Ketiga, jihad hanya dilakukan di medan peperangan di antara dua pasukan yang berhadapan.
Larangan disaat berjihad misalnya, tidak boleh membunuh anak-anak, perempuan, orang yang sudah tua, dan rahib di tempat ibadahnya (HR Muslim, Sunan Abu Dawud, dan At Tirmidzi).
Begitu juga dilarang menghancurkan desa dan kota, serta merusak ladang dan kebun (HR Bukhari, Sunan Abu Dawud).
Adapun pada umumnya, pelaku teror menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah karena perintah Allah, untuk jihad fi sabilillah yaitu berperang di jalan Allah (lihat QS Al Hajj 78; Al Baqarah 216, At Taubah 41 dll). Namun, sangat disayangkan mereka tidak menggunakan aturan jihad, bahkan mereka melakukan apa yang dilarang dalam berjihad. Dari sini saja kita bisa melihat dengan jelas, berbagai teror bom dan sejenisnya tidak sesuai dengan syariat Islam dan itu bukanlah jihad. Sehingga, aksi terorisme dan segala bentuk kekerasan lainnya bukanlah ajaran Islam.
Lantas, upaya apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam membendung isu miring tentang terorisme?
Pertama, Mendakwahkan seluruh ajaran Islam (termasuk tentang Khilafah) dan menjelaskan bahwa Allah SWT menurunkan syariah karena kasih sayang kepada hamba- hambaNya. Islam itu disampaikan melalui pemikiran, dengan cara yang ahsan, dan tidak dengan kekerasan. Maka, tidak boleh dilakukan dengan jalan meneror (membuat orang takut) dan segala bentuk tindakan terorisme ataupun sejenisnya.
Kedua, Umat harus dipahamkan bahwa segala penyebab kerusakan di segala bidang kehidupan itu karena diterapkannya sistem Kapitalisme-liberalisme. Sistem buatan manusia ini hanya menimbulkan kesengsaraan dan kekacauan serta menjerumuskan manusia pada kezaliman.
Ketiga, Membangun kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat. Apabila ada kepedulian yang serius untuk merubah keadaan, maka kita harus memilih sebuah sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan segala persoalan manusia. Sistem sempurna dan paripurna, hanya bersumber dari Allah SWT yang Maha Sempurna. Jika menerapkan sistem Allah secara kaffah, maka dapat dipastikan membawa berkah dan rahmat bagi seluruh alam semesta.
Wallahu a’lam bisshowab.
Views: 15
Comment here