Oleh : Yuni Setyarsih (Pendidik Generasi, member AMK)
Wacana-edukasi.com — “Kalian bisa merusak bunga yang sedang mekar, tapi kalian tak bisa menghadang musim semi tiba. Kalian bisa menghambat perjuangan dakwah kami, tapi kalian tak bisa menghadang kemenangan Islam yang dijanjikan Allah”.
Ungkapan ini menjadi salah satu yang selalu memotivasi pejuang-pejuang Islam saat ini. Saat di mana rezim semakin beringas menghadang kebangkitan Islam. Baik di dunia internasional ataupun di Nusantara.
Seperti halnya yang terjadi di Swedia baru-baru ini ada pembakaran Alquran oleh demonstran anti Islam. Aktivitas mereka dipicu oleh politisasi Denmark Rasmus Palude, Jumat 28/08/20. Kemudian disusul oleh Majalah Charlie Hebdo di Perancis yang menerbitkan karikatur Nabi Muhammad SAW(02/09/20, Kompas). Mereka mengklaim bahwa yang menjadi pelopor perang global terhadap terorisme adalah peristiwa WTC 11 September silam.
Sementara itu di Perancis tahun 2011 mulai diberlakukan Undang – Undang yang melarang wanita muslim menutup wajahnya dengan niqob atau burqo ketika di
tempat umum. Hal itu menjadikan Perancis sebagai negara Eropa yang pertama yang melarang pemakaian baju muslim meski hal itu bagian dari agama. Menyusul negara Chad (2015), Denmark (2018),Tunisia (negara bekas jajahan Perancis) yang notabene mayoritas penduduknya beragama Islam. Sementara Turki sudah sejak dipimpin oleh Mustafa Kemal melarang pemakaian atribut Islam dan baru di tahun 2013 dibawah Presiden Recep Tayyip Erdogan membolehkan pemakain jilbab di institusi pemerintahan, kecuali pengadilan, militer serta kepolisian. Dan pada tahun 2016 baru diperbolehkan polwan menggunakan hijab (VOA, 01/02/2019) .
Fakta tersebut membuktikan bahwa Islamofobia Barat terhadap Islam dan kaum muslim begitu kuat dan mengakar sehingga sulit untuk dihapuskan .
Sementara di dalam negeri, seperti yang kita lihat belakangan ini narasi radikalisme, anti Pancasila, anti toleransi kembali digaungkan oleh pejabat-pejabat rezim. Terlebih setelah diangkatnya Menteri Agama yang baru, Fachrul Razi. Belum lama dilantik, Menag sudah memberikan statemen bahwa radikalisme berkembang melalui Pendidikan Anak Usia Dini (Republika.co.id, 11/09/2019)
Pemakaian cadar, celana cingkrang juga dijadikan polemik. Akhir-akhir ini setelah penayangan film Jejak Khilafah di Nusantara, bahkan saat penayangan sempat di blokir dan tertunda meski akhirnya dapat dinikmati masyarakat juga, stigmatisasi terhadap dakwah Islam Kafah semakin garang.
Disusul kemudian persekusi seorang ustaz di Jawa Timur oleh organisasi yang dikenal pengayom NKRI dan menuntut sekolah tersebut ditutup. Dan yang masih hangat adalah sertifikasi da’i.
Bahkan Menteri Dalam Negripun tak mau kalah. Melalui kerjasama yang dituju oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kemenag, Kemendikbud, BNPT, BKN dan kepala daerah, membuat aplikasi yang dikelola Tim Aduan ASN berfungsi menampung aduan terkait radikalisme, anti Pancasila, anti toleransi dan anti NKRI. Menurut Mendagri hal itu dilakukan untuk membersihkan ASN dari paham radikalisme(CNN, 15/11/2019). Termasuk didalamnya penghapusan konten jihad dan khilafah dari matpel fikih ke matpel Sejarah Kebudayaan Islam.
Padahal jika kita telusuri radikal dalam KBBI berarti paham atau aliran yang menginginkan perubahan pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan . Sementara itu pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harist Abu Ulya menilai bahwa pemerintah perlu membuat definisi yang jelas tentang radikalisme terlebih dahulu sebelum mengeksekusi, sehingga misinya tepat sasaran. Sehingga hal itu dapat meyakinkan publik tentang bahaya radikalisme (CNN, 15/11/2019).
Dari sini terlihat bahwasanya narasi radikalisme adalah narasi yang tidak jelas dan tak terarah. Ketidak jelasan di sini dari sisi obyeknya, bahkan hanya mengungkapkan siapa saja yang terlibat dalam dakwah Islam kafah. Hal ini membuktikan juga bahwa rezim sudah meletakkan Islam sebagai pihak tertuduh sekaligus ancaman bagi bangsa dan negara. Bahkan kepala negara secara langsung menginstruksikan kepada para pembantunya untuk melawan radikalisme sesuai dengan pemahaman yang dikehendaki.
Hal ini akibat sistem sekuler yang diterapkan di negeri ini yang menghasilkan liberalisasi di segala lini kehidupan. Kita bisa lihat dari beberapa menteri yang menyebarkan pernyataan-pernyataan yang melukai rakyat. Seperti halnya di atas telah disebutkan, mereka juga menyebutkan radikalisme juga terbentuk dari anak-anak yang good looking dan mengerti agama, serta berdakwah dimasjid-masjid dan lembaga pemerintahan (Bisnis.com7/09/2020).
Tentunya statemen ini akan berdampak timbulnya kecurigaan antar anggota masyarakat, membenci fakta-fakta keber-agamaan, bahkan alih-alih membela agamanya yang ada mereka malu terhadap agamanya sendiri. Karena masyarakat kita masih mempercayai kebenaran jika yang mengucapkan pejabat, menteri, para tokoh umat, tanpa melihat fakta kebenaran itu sendiri.
Namun, seiring dengan majunya teknologi dan terbuka lebarnya dunia informasi menjadikan masyarakat sekarang adalah lebih cerdas, sudah mulai paham bahwa narasi radikalisme sengaja dihembuskan di negeri ini merupakan proyek global yang di danai oleh para musuh Islam. Mereka bertujuan untuk memerangi Islam. Mereka panik dan belum siap menghadapi kebangkitan Islam yang tadinya mereka anggap utopis, justru faktanya semakin dekat.
Para pembenci Islam menempatkan radikalisme sebagai strategi usang sejak dulu, artinya ini bukan hal baru bagi kaum muslimin. Setelah sebelumnya menempatkan antek-antek mereka dengan tujuan untuk menjaga ideologi demokrasi liberalisme. Mereka juga memecah kekuatan kaum muslimin dengan menggolongkan umat Islam menjadi empat golongan yaitu Islam fundamentalis, Islam tradisional, Islam modernis dan Islam sekularis (strategi RAND Corp).
Salahsatunya menyebarkan propaganda-propaganda tanpa fakta terhadap Islam, monsterisasi ajaran-ajaran Islam adalah langkah berikutnya yang mereka jalankan.
Namun, hal ini tersebut membuat masyarakat Islam sudah tidak percaya lagi dengan apa yang diberitakan oleh media-media yang menjadi corong pemerintah. Mereka tak mau tertipu lagi .
Semua ini berkat peran para aktivis dakwah di negeri ini yang tiada lelah menyampaikan ajaran Islam kafah.
Islam adalah ajaran yang berasal dari Allah Swt, yang dibawa melalui Muhammad Rosulullah saw. Dan tentunya ada campur tangan Allah untuk menjaganya. Islam bukan agama teroris, tuduhan itu tak terbukti sama sekali. Juga bukan radikal sebagaimana yang Barat sematkan. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam QS. Ali Imron : 54
“ Orang kafir itu membuat tipudaya, dan Allah membalas tipudaya merka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” .
Sikap kita sebagai bagian dari umat Islam itu sendiri hendaknya bersama pemerintah merombak sistem yang ada di negeri ini. Namun, sepertinya itu mustahil dilakukan di sistem demokrasi. Mengingat justru pemerintah itu sendiri yang menjadi kaki tangan Barat. Mereka jualah yang menjadi pasukan terdepan untuk memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Maka jalan yang bisa kita tempuh adalah bersama ormas Islam, tokoh-tokoh Islam mempunyai sikap yang jelas untuk mendorong masyarakat menuju perubahan. Perubahan yang mendasar bukan radikalisme tapi yang terpenting adalah pengamalan kita sebagai umat yang beragama. Terkhusus bagi pentutur kebaikan adalah memperbanyak kontak-kontak dengan tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh intelektual dan birokrasi karena melalui merekalah ide-ide kita bisa tersampaikan ke masyarakat luas. Terus membina masyarakat sehingga terwujud kesadaran umum masyarakat, sehingga mereka menginginkan hidupnya diatur oleh aturan Islam.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 12
Comment here