Surat Pembaca

Subsidi, Antara Hak dan Kewajiban

blank
Bagikan di media sosialmu

Ns. Ainal Mardhiah, S. Kep. 

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Subsidi yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dianggap sebagai beban dan bentuk kebaikan dari pemerintah. Hal ini terjadi karena adanya pengaburan makna terhadap istilah subsidi. Subsidi merupakan kewajiban dan tugas negara untuk meringankan beban rakyat bukan sebaliknya mencari keuntungan dari rakyat.

Baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berdasarkan PMK Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024 menganggarkan dana senilai Rp 966 juta untuk setiap unit mobil listrik Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan motor listrik dipatok Rp 28 juta per unit.

Anggaran pengadaan kendaraan dinas listrik berbasis baterai untuk PNS eselon I dan II. Adapun rincian harga mobil listrik untuk pejabat eselon I adalah Rp 966 juta dan Rp746 juta untuk eselon II. Nominal tersebut belum termasuk biaya kirim dan pemasangan instalasi daya (CNN Indonesia, 12/05/23).

Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengkritik kebijakan pemerintah terkait subsidi untuk mobil listrik. Menurut Anies, mereka yang membeli mobil listrik berasal dari kalangan mampu sehingga tak perlu disubsidi. Tak cuma itu, Anies juga menilai bahwa mobil listrik justru menambah macet khususnya jalanan di Ibu Kota (detikoto, 09/05/2023).

Sungguh ironi, ditengah kesempitan hidup yang dirasakan oleh rakyat, beban hidup yang semakin berat pemerintah bukannya meringankan beban yang sedang dirasakan oleh rakyat tetapi justru mengambil kebijakan yang tidak tepat sasaran dengan memberikan subsidi kepada mereka yang mampu bukan kepada rakyat yang tidak mampu. Selain itu, subsidi juga oleh pemerintah dianggap membebani negara, membuat rakyat tidak mandiri, mematikan persaingan ekonomi dan sebagainya.

Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme yang menganggap pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, menggunakan prinsip untung-rugi dengan rakyat dalam penyelenggaraan bisnis publik. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap pemborosan dan tidak efisien.

Berbeda dengan sistem Islam, Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap subsidi. Dalam Islam subsidi merupakan salah satu cara (uslub) yang dilakukan negara sebagai pemberian harta kepada individu rakyat yang menjadi kewajiban negara. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab yang memberikan harta dari Baitul Mal kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan pertanian mereka.

Selain itu, negara juga bisa memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen dalam hal kebutuhan seperti subsidi pangan (sembako) atau subsidi minyak goreng dan kebutuhan mendasar lainnya.

Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi. Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu.
Sebagaimana firma Allah SWT:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS al-Hasyr [59] : 7).

Wallahu alam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here