Opini

Subsidi LPG jadi BLT, Akankah Solusi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com, OPINI-– Baru-baru ini komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan agar skema pemberian LPG diubah dari subsidi pada produk menjadi subsidi langsung berupa uang tunai kepada warga yang berhak. Masyarakat Indonesia yang termasuk dalam kategori penerima subsidi LPG 3 kg nantinya bisa menerima bantuan berupa nominal uang hingga Rp 100 ribu per bulan.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan, usulan itu tak lain untuk membuat penyaluran subsidi menjadi lebih tepat sasaran agar tidak membebani APBN.

Harga gas elpiji 3 kg akan naik tinggi bila dipasarkan tanpa subsidi dari pemerintah. Komisi VII DPR RI mengungkapkan, harga asli atau harga keekonomian dari tabung LPG tersebut. Di dalam setiap tabung LPG 3 kg ada subsidi pemerintah Rp 33 rb. Jadi kalau harga sekarang sekitar Rp 20 rb, keekonomiannya Rp 53 rb, (CNBCIndonesia.com, 19/7/2024).

Subsidi dalam bentuk BLT dianggap sebagai solusi agar tepat sasaran, sehingga mengurangi beban anggaran negara dalam menyediakan subsidi energi. Pengurangan subsidi terhadap gas yang menjadi kebutuhan umat, sejatinya merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme-demokrasi di negeri ini. Sistem ini menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat (raa’in). Penguasa hanya bertindak sebagai regulator untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu atau pemilik modal. Alhasil, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pun tidak memihak pada kepentingan rakyat.

Tidak bisa dipungkiri, mahalnya harga gas LPG di negeri ini adalah privatisasi atau swastanisasi SDA migas. Negara sendiri hanya berpikir memberi subsidi pada aspek distribusi, sehingga harga di pasar tidak mahal. Dan sudah menjadi watak negara kapitalis mengurangi subsidi energi untuk rakyat, padahal gas LPG bisa dijual dengan harga yang murah, sebab biaya produksinya tidaklah semahal hari ini.

Gas LPG seharga Rp 53.000 per kg sudah dihitung dengan keuntungan berkali-kali lipat yang diambil perusahaan migas. Hanya saja, murahnya harga gas ini tidak bisa terwujud selama liberalisasi migas sebagai konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme masih diterapkan. Meski negeri ini memiliki kekayaan migas, namun rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah bahkan gratis, karena liberalisasi migas menjadikan negara menyerahkan pengelolaan dan penjualannya kepada pihak swasta. Konsep pengelolaan ini tentu berorientasi bisnis. Inilah fakta pengelolaan migas di bawah sistem kapitalisme neoliberal.

Perubahan kebijakan apapun yang ditempuh pemerintah pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap SDA seperti migas yang sejatinya milik mereka.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam menetapkan negara berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok rakyat tanpa dibayangi dengan harga yang terus naik. Negara harus memudahkan rakyatnya mengakses berbagai kebutuhan layanan publik, berbagai fasilitas umum dan SDA yang menguasai hajat publik termasuk minyak dan gas (migas). Sistem ekonomi Islam meniscayakan ketersediaan migas yang merupakan sumber energi untuk semua rakyat dengan harga murah atau gratis, karena Islam mengharuskan pengelolaan SDA oleh negara.

Migas merupakan jenis harta milik umum (rakyat) dimana pendapatannya menjadi milik seluruh kaum muslim dan mereka berserikat di dalamnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud)

Oleh karena itu, setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya. Tidak ada perbedaan, apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, muslim atau non muslim. Adapun pengelolaannya, karena migas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung, melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya, serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, maka negara yang berhak mengambil alih penguasaan eksploitasi mewakili kaum Muslim.

Adapun pendapatan hasil migas disimpan di Baitul Maal kaum Muslim. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim, kepala negara sebagai pihak yang berwewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya, sesuai dengan ijtihad yang dijamin hukum-hukum syariat, memungkinkan untuk melakukan pembagian hasil barang tambang dan pendapatan milik umum dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

Pertama, untuk membiayai seluruh proses operasional produksi migas, pengadaan sarana dan infrastruktur, sejak riset, eksploitasi, pengolahan, hingga distribusi ke SPBU-SPBU, termasuk di dalamnya membayar seluruh kegiatan administrasi dan tenaga, yakni karyawan, tenaga ahli, direksi yang terlibat di dalamnya.

Kedua, dibagikan kepada individu-individu rakyat yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya. Khalifah tidak terkait oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini. Khalifah berhak membagikan migas kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka secara gratis. Boleh saja Khalifah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang murah atau dengan harga pasar. Khilafah juga berhak membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada rakyat, dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Sungguh, hanya dalam Khilafah pengelolaan migas akan menyejahterakan rakyat dan mengembalikan hak-hak mereka.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here