Oleh : Supriyani, S.T.P (Muslimah Bekasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Siapa yang tidak butuh dengan energi? Apalagi jika dikaitkan dengan kebutuhan sehari-hari. Enargi merupakan kebutuhan pokok yang tak terpisahkan dari aktivitas manusia sehari-hari. Termasuk di dalamnya kebutuhan Liquefied Petroleum Gas (LPG). LPG sudah menjadi kebutuhan pokok dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Dilansir dari CNBC Indonesia (23/7/2024) kebijakan mengenai subsidi LPG sedang diusulkan akan mengalami perubahan. Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan adanya perubahan skema pemberian Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari yang saat ini berlaku subsidi pada produk, diubah menjadi subsidi langsung berupa uang tunai kepada warga yang berhak. Usulan tersebut dikatakan sudah dibahas bersama dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kelak, masyarakat Indonesia yang termasuk dalam kategori penerima subsidi LPG 3 kilogram (kg) bisa menerima bantuan berupa nominal uang hingga Rp 100 ribu per bulan.
Usulan perubahan subsidi tersebut menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno karena di dalam setiap tabung LPG 3 kg, ada subsidi pemerintah sebesar Rp 33 ribu, jika 1 tabung 3 kg harga Rp 20 ribu. Jadi kalau harganya sekarang adalah katakan saja Rp 20 ribu deh harganya, artinya kan keekonomiannya Rp 53 ribu kan? Kurang lebih kalau keekonomiannya seperti itu. (cnbcindonesia.com, 21/7/2024). Sehingga dapat diperkirakan nilai subsidi untuk LPG 3 kg akan membengkak kedepannya.
Dari paparan di atas, maka kita dapat memahami bahwa pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat namun tidak berdasarkan pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat. Alasannya tidak lain karena subsidi dianggap sebagai beban pengeluaran yang harus ditekan sekecil mungkin. Sehingga ketika dialihkan menjadi BLT, subsidi LPG 3 kg dapat ditekan. Menjadi hal yang wajar jika subsidi bagi masyarakat menjadi beban dalam sistem kapitalisme, karena hitung-hitungan dengan rakyat merupakan standarnya. Sistem ini menggunakan standar masalah ekonomi sebagai kebijakan yang paling diunggulkan (tidak ingin rugi). Negara akan mengambil keuntungan sebanyak mungkin dan melakukan apapun untuk mendapat keuntungan dari rakyatnya, sungguh miris. Di sisi lain, pengalihan kebijakan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang dapat mengurangi beban anggaran, namun tidak menjamin sepenuhnya tepat sasaran. Kebijakan tersebut, rentan akan kisruh dan menjadi celah untuk praktek korupsi, pungli, masalah administrasi yang rumit dan sebagainya. Bukan hanya itu, perubahan kebijakan tersebut juga berpotensi naiknya harga barang sehingga daya beli masyarakat pun ikut turun. Sehingga, apakah BLT bisa jadi solusi atau hanya akan menimbulkan masalah cabang lain yang lebih luas?
Peran negara dalam sistem kapitalisme harusnya dipertanyakan. Karena sistem ini membawa pada minimnya negara dalam mengurusi rakyat yakni hanya sebatas regulator (pembuat kebijakan) yang menguntungkan pada sebagian pihak. Negara sekadar membuat berbagai program dan skema namun didasarkan pada pertimbangan materi semata. Sehingga sangatlah wajar jika pengalihan kebijakan subsidi produk menjadi subsidi tunai adalah dengan pertimbangan bengkaknya anggaran.
Berbeda halnya dengan Islam, yang memiliki pandangan tertentu tentang LPG. Kebutuhan rumah tangga ini, merupakan bagian dari hasil Sumber Daya Alam yakni minyak bumi yang termasuk dalam kepemilikan umum. Dalam hadis diriwayatkan,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
LPG termasuk dalah kategori api adalah harta milik umum. Sehingga dengan pandangan ini, kebijakan praktis yang diterapkan adalah pengelolaannya tidak diserahkan kepada pribadi ataupun swasta apalagi asing melainkan akan dikelola oleh negara. hasil pengelolaan SDA termasuk LPG di dalamnya akan diberikan secara gratis kepada rakyatnya atau negara akan menjual dengan harga yang terjangkau sebagai pengganti biaya produksinya. Pada saat yang sama, negara juga akan melakukan pengawasan di hilir khususnya di pasar dalam rangka menjaga agar tidak terjadi penimbunan barang maupun kecurangan yang dapat menghambat proses distribusi dan menyebabkan kenaikan harga. Edukasi oleh negara juga akan dilalkukan kepada para pedagang dan pengusaha dalam fikih muamalah. Sedangkan di sektor hulu, negara melakukan upaya penuh dalam ketersedian LPG, selain itu negara akan melakukan berbagai penelitian dalam bidang teknologi untuk melakukan diversifikasi energi lain dalam memenuhi kebutuhan rakyat.
Selain itu, Islam juga mempunyai berbagai mekanisme dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan menjadikan negara sebagai pengurus (rain) yang memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Negara memiliki visi riayah yang jelas yang didasarkan pada Aqidah Islam yang diaplikasikan dengan aturan-aturanNya (Syariah Islam). Oleh karena itu LPG yang sejatinya sudah menjadi kebutuhan dasar, maka Islam akan memenuhinya tanpa ada hitung-hitungan. Islampun senantiasa melahirkan pemimpin yang amanah yang dapat menerapkan aturan-aturan di dalamnya. Sejalan dengan sabda Rasulullah saw. riwayat Imam Bukhari yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.”
Dari hadist di atas maka jelas, pemipin dalam Islam wajib bertangung jawab atas urusan rakyatnya salah satunya dalam prinsip pengelolaan SDA harus sesuai dengan prinsip pelayanan, bukan keuntungan maupun komersil. Dengan penerapan sistem Islam, maka kebijakan yang dilahirkan tentunya dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan mudah, pelayanan negara yang amanah, nyaman, dan murah. Wallahualam.
Views: 22
Comment here