Oleh Asyifa’un Nisa S.P., M.P (Pegiat literasi dan Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Sejak akhir tahun 2022, Indonesia mulai dihebohkan dengan wacana pemerintah yang akan menerapkan subsidi untuk setiap pembelian kendaraan listrik (electronic vehicle) baik mobil listrik maupun motor listrik. Pemerintah beranggapan bahwa Indonesia sudah saatnya untuk segera beralih pada penggunaan mobil listrik untuk menekan angka emisi karbon. Hal ini sejalan pula dengan kondisi Indonesia sebagai penyumbang emisi karbon terbesar ke-8 di dunia dan berbagai desakan global untuk mensolusikannya.
Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) atau Kementerian Investasi mencatat bahwa Indonesia sejak tahun 2021 berada pada peringkat ke-8 dalam menyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Pemerintah menilai dengan adanya peralihan bahan bakar kendaraan menjadi energi listrik juga mampu mengurangi tingkat ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. Dikutip dari tempo.co (23/12/22), nilai total anggaran yang akan digelontorkan oleh pemerintah mencapai Rp. 5 trilliun rupiah, dengan rincian setiap konsumen bakal mendapatkan subsidi Rp 80 juta dalam pembelian mobil listrik. Sedangkan untuk motor listrik insentifnya sebesar Rp 8 juta. Tak hanya itu, para pembeli mobil hybrid juga bisa mendapat potongan Rp 40 juta. Sementara konversi motor listrik bakal menerima subsidi sebesar Rp 5 juta.
Sayangnya wacana ini tidak seutuhnya mendapat respon positif dari masyarakat. Alokasi dana yang begitu besar dengan dalih ‘subsidi’ dinilai hanya untuk memanjakan kalangan elit tertentu, bukan masyarakat menengah apalagi bawah. Selain itu pemerintah juga sebelumnya telah memberikan berbagai pelumas untuk melancarkan masuknya industri mobil listrik dalam pasar Indonesia, seperti adanya tax holiday 20 tahun, super deduction hingga 300 persen atas biaya penelitian dan pengembangan pembangkit tenaga listrik, baterai, dan alat kelistrikan, hingga pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan baku pembuatan baterai. Pelumas ini tentu tidak memberikan dampak positif yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, yang ada hanyalah memberi celah para kapitalis untuk semakin memangsa pasar Indonesia.
Berbagai pendapat kontra juga dikeluarkan oleh para ahli, salah satunya Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyebut subsidi mobil dan motor listrik tidak terlalu penting. “Apalagi, angkanya cukup besar. Tidak peka terhadap menyempitnya ruang fiskal,” ujar Bhima dikutip dari CNNIndonesia.com, Kamis (15/12). Selain itu dikutip dari Antaranews.com, Pengamat transportasi Ki Darmaningtyas berharap pemerintah meninjau ulang rencana pemberian insentif melalui subsidi pembelian kendaraan listrik pribadi di Indonesia. “Subsidi kendaraan listrik (pribadi) itu sama saja akan menambah banyak jumlah kendaraan yang beredar di jalan sehingga selain menambah macet juga menimbulkan kesemrawutan lalu lintas dan menyumbang jumlah kecelakaan lalu lintas yang makin meningkat,” ujarnya. Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, dalam wawancara bersama CNBC Indonesia.
Selain itu berbagai ahli juga menyoroti perihal sumber primer dari pembangkit listrik di Indonesia yang masih sangat bergantung dengan batu bara. Hal ini dikarenakan penambangan batu bara sendiri menimbulkan berbagai masalah lingkungan yang tidak pernah bisa tersolusikan, dari mulai deforestasi lahan, erosi tanah, penurunan permukaan bumi (land subsidence), pencemaran air dan udara akibat limbah, hingga menjadi penyebab utama pemanasan global. Tentunya transisi energi tidak bisa dilakukan hanya dengan perubahan hilir, butuh komitmen yang besar ari pemerintah untuk melakukan perbaikan dari hulu. Belum lagi perihal akses listrik yang masih jauh dari kata ‘merata’ dan mahalnya biaya listrik, sehingga sangat banyak wilayah Indonesia yang tidak mendapat akses listrik 24 jam.
Padahal sudah seharusnya dana dari berbagai pelumas dan ‘subsidi’ tersebut dialokasikan untuk pemerataan akses listrik, subsidi listrik hingga perubahan sumber listrik yang lebih ramah lingkungan. Tentu menjadi hal yang wajar jika kebijakan ini disebut ilusi bukan lagi solusi, pasalnya pemerintah tidak lagi memperhatikan permasalah real yang ada ditengah masyarakat. Berbagai pelumas dan subsidi tersebut hanya akan menguntungkan para pelaku industri dan segelintir masyarakat menengah keatas. Beginilah dampak dari negara yang berjalan dengan dasar kapitalisme, pemerintah hanya hadir sebagai regulator yang mempersilahkan para pemilik modal untuk menjadikan negaranya sebagai ladang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan problematika yang ada ditengah masyarakat.
Sungguh miris, ketika negara tidak lagi hadir sebagai pengayom masyarakat dan yang paling bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat. Maka sudah sepantasnya masyarakat mencampakkan sistem bernegara ala kapitalis ini dan kembali pada keagungan sistem Islam. Karena Islam mengatur secara tegas peran negara dan pemimpin negara sebagai ra’in, yakni pihak yang meri’ayah masyarakatnya dengan sebaik-baik pengaturan dan kelak akan mempertanggunjawabkan atas kepemimpinannya. Sehingga mampu membawa kesejahteraan hakiki, bukan kesejahteraan semu sebagaimana hari ini.
Dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya…” (HR. Bukhari)
Hadanallah waiyyakum, wallahu a’lam bishawwab.
Views: 15
Comment here