Oleh:Normah Rosman (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Miris. Pemerintah memiliki utang subsidi pupuk pada PT. Pupuk Indonesia sebesar Rp12,5 triliun. Direktur Utama Pupuk Indonesia menyatakan jika utang tersebut merupakan tagihan berjalan April 2024 mencapai Rp2 triliun dan sisanya adalah tagihan subsidi pupuk pada tahun 2020, 2022, dan 2023 yang belum dilunasi oleh pemerintah. Pemerintah telah menyetujui anggaran sunsidi pupuk 2024 lebih besar dari tahun sebelumnya. Dari Rp26,7 triliun untuk 4,7 juta ton, menjadi Rp53,3 triliun untuk 9,55 juta ton. Dan hingga Juni 2024 penyaluran pupuk bersubsidi baru mencapai 9,55 juta ton atau 29% (ekonomi.bisnis.com, 20/6/2024).
Demi mendapatkan pupuk bersubsidi, Petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) harus menempuh jarak sekitar 80 kilometer. Hal ini terungkap ketika tim Satgassus Pencegahan Korupsi Polri memantau penyaluran pupuk bersubsidi di NTT pada 18-22 Juni 2024. Anggota Satgassus Pencegahan Korupsi Polri, Yudi Purnomo Harahap menyarankan agar Kementerian Pertanian (Kementan) mengatur petunjuk teknis (juknis) jarak maksimum keberadaan kios dari petani. Juga mempertimbangkan BUMDes dan koperasi unit desa (KUD) sehingga dekat dengan lokasi petani (beritasatu.com, 23/6/2024).
Pupuk Subsidi Masih Menjadi Problem Bagi Petani dan Pemerintah
Persoalan pupuk bersubsidi seakan tak pernah ada habisnya, mulai dari penyaluran yang tidak merata, terlambatnya penyaluran hingga sulitnya mendapatkan akses untuk membeli pupuk bersubsidi. Akibat dari persoalan ini yang tak kunjung ada penyelesaiannya, petanilah yang menjadi tumbal. Tentu saja permasalahan ini timbul dari hasil penerapan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan oleh negara. Di mana negara tidak punya kendali atas pengadaan dan pendistribusian pupuk, justru perusahaanlah yang memegang kendali penuh. Pemerintah hanya kebagian hutangnya saja dan petani mendapatkan kesulitan dalam mengakses pupuk bersubsidi.
Dengan dikelolanya pupuk bersubsidi oleh perusahaan, menimbulkan dampak negatif terhadap negara. Negara harus menelan pil pahit dengan memiliki hutang dalam jumlah besar kepada perusahaan yakni, PT. Pupuk Indonesia. Bahkan hutang beberapa tahun lalu saja belum lunas hingga saat ini, belum lagi beban hutang pupuk untuk tahun ini. Sungguh miris! Namun inilah realita yang ada, negara memiliki hutang kepada perusahaan yang sejatinya adalah BUMN sendiri. Semua realita ini menjadikan akses pupuk semakin jauh dan sulit. Cita-cita akan terwujudnya kedaulatan pangan dan juga ketahanan pangan, bagai api jauh dari panggang.
BUMN yang sejatinya adalah milik negara, seyogianya dibentuk dengan tujuan memudahkan rakyat termasuk petani dalam hal memperoleh pupuk bersubsidi. Tetapi sistem ekonomi kapitalisme yang dianut oleh negaralah yang membuat segala sesuatunya dipandang dengan berdasarkan manfaat. Sehingga pupuk yang merupakan kebutuhan pokok bagi pertanian juga turut dibisniskan. Akibatnya negara terbelit hutang pada perusahaannya sendiri dan petani kesulitan mengakses pupuk bersubsidi. Naudzu billah.
Nasib Petani Dalam Naungan Negara Islam
Pemerintah dalam sistem Islam atau Khalifah dan para pembantunya adalah orang-orang yang memiliki jiwa ri’ayah (pengurus). Sistem Islam yang diwujudkan secara praktis dalam sistem pemerintahan negara Khilafah akan melahirkan penguasa-penguasa raa’in, sebagaimana dalam hadis Nabi saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).
Dalam bidang pertanian, Khilafah memandang bidang pertanian adalah kebijakan strategis. Dalam kitab Muqaddimah ad Dustur pasar 159 dijelaskan bahwa, negara Islam (Khilafah) mengatur urusan pertanian berikut hasil-hasil produksinya sesuai dengan yang dituntut oleh kebijakan politik pertanian yang ditujukan untuk merealisasikan eksploitasi lahan pada level produksi tertinggi.” Dengan demikian kebijakan pertanian negara Islam diarahkan pada tujuan untuk memaksimalkan eksploitasi (pemanfaatan) tanah lahan. Hingga menghasilkan tingkat produksi pertanian yang paling tinggi.
Hal tersebut bisa dimengerti karena target pertanian adalah menghasilkan produk pertanian yang optimal. Semua ini untuk mencukupi kebutuhan pangan dan industri dalam negeri. Dengan meningkatnya volume pertanian sehingga hasilnya melimpah dan lebih dari cukup yang dibutuhkan di dalam negeri, maka akan di ekspor keluar negeri. Salah satu upaya untuk memaksimalkan hasil pertanian adalah penyediaan pupuk.
Dalam negara Islam, industri pupuk harus dikuasai oleh negara dengan paradigma me-ri’ayah petani dan bukan untuk bisnis sebagaimana kapitalisme. Industri pupuk ini tentunya adalah milik negara. Negara berperan dalam memproduksi pupuk, dan pendistribusian pupuk secara langsung kepada para petani sesuai kebutuhan. Konsep distribusi bisa diberikan secara gratis atau negara mamatok harga sesuai dengan biaya produksi pupuk. Mekanismenya harus mudah, cepat, dan profesional.
Selain memberi kemudahan dari segi akses pupuk, negara Islam juga mempermudah akses saprotan. Negara Islam akan memberikan bantuan kepada para petani dan keluarganya yang tidak memiliki modal, agar tetap menjadi petani yang sejahtera. Begitulah upaya negara Islam dalam menyediakan pupuk bersubsidi kepada petani. Wallahu a’lam bissawhab.
Views: 19
Comment here