Oleh: Yulyanty Amir
Wacana-edukasi.com — Sungguh ironis. Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan lumbung energi dan lumbung pangan, masuk 3 besar provinsi miskin se-Sumatera dan peringkat 10 provinsi miskin se-Indonesia.
Hal ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia yang menyatakan kemiskinan di Sumatera Selatan terus meningkat hingga mencapai 12,98 persen pada 2020 (Kompas.com 19/2/2021).
Padahal, Sumatera Selatan merupakan wilayah yang subur dan kaya akan sumber daya alam. Sumsel mempunyai cadangan batubara yang banyak, Sumsel juga punya emas, minyak, hasil pertanian dan perkebunan yang berlimpah. Jika menjadi provinsi miskin, semua kekayaannya ke mana?
Kenyataan ini menunjukkan, pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan sepenuhnya kepada swasta, telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Alih-alih investasi berdampak positif bagi ekonomi rakyat, justru perusahaan pengelola tersebut dengan sangat rakusnya merampas semua hasil bumi.
Berharap dengan dilibatkannya swasta dalam pengelolaan SDA ini akan mendapat hasil yang maksimal, nyatanya nol besar. Hasil yang didapat malah dikorupsi juga oleh pejabat negara. Rakyat hanya jadi penonton atas kelakukan buruk mereka.
Pada dasarnya hal ini karena negara yang diwakili pejabat pemerintahan tidak serius dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Negara tidak mampu mengelola sendiri SDA tapi hanya mampu menjadi fasilisator dan regulator. Seolah-olah hanya ingin duduk manis mengharapkan fee dari pihak swasta. Padahal, sudah jadi rahasia umum, swasta kapitalis punya prinsip: “dengan modal yang sekecil-kecilnya, mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya”.
Kenyataan ini juga membuktikan jargon demokrasi yang mengatakan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah angan-angan semu. Terbukti provinsi yang kaya raya, rakyatnya banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Anehnya, rakyat masih banyak yang terpedaya dengan angan-angan ini.
Ditambah lagi bila dilihat dari sisi pembangunan, pemerintah tampaknya hanya fokus membangun infrastruktur megah. Padahal, manfaatnya tidak begitu banyak dirasakan rakyat kecil. Salah satu contoh pembangunan infrastruktur yang menghabiskan dana miliaran rupiah, adalah Light Rail Transit (LRT) Palembang, transportasi mewah dengan biaya perawatan yang tinggi dan menggunakan listrik yang besar pula. Padahal, rakyat tidak banyak yang menggunakan layanan transportasi ini. Malah, masih banyak rakyat yang belum pernah naik LRT. Selain berbayar, stasiun LRT jauh dari jangkauan.
Jika dilihat menurut sudut pandang Islam, sumber daya alam tidak boleh diprivatisasi dan diserahkan pengelolaan sepenuhnya kepada pihak swasta. Negara yang wajib mengelola sumber daya alam dan hasilnya akan masuk ke kas negara (baitul mal). Dari kas ini akan dikeluarkan untuk memenuhui kebutuhan pokok rakyat, membangun sarana umum yang berkualitas seperti sekolah, rumah sakit, pasar, transportasi, dan lain-lain.
Untuk sekolah dan rumah sakit, negara akan memberikan gratis kepada masyarakat, dengan fasilitas yang terbaik dan sama untuk semua masyarakat. Tidak dibedakan berdasarkan kelas. Semua masyarakat menikmati fasilitas yang sama.
Negara juga akan membuka kesempatan kerja yang seluas-luasnya untuk kaum laki-laki agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan bagi para janda, lansia, maupun anak yatim piatu, yang tidak mempunyai kerabat lagi, maka negara akan memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi masyarakat miskin. Namun, semua ini akan terwujud jika negara telah menerapkan sistem Islam kaffah. Peraturan hidup yang diterapkan sesuai dengan syariat Islam serta hukum yang ditegakkan adalah hukum buatan dari Allah Yang Mahapembuat hukum, Yang Maha adil.
Wallahua’lam bishowab.
Views: 1
Comment here