Oleh: Nurmawati Ummu Alim (Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com– Permasalahan miras di negeri- negeri Kapitalis masih belum selesai. Kendati penduduk negaranya mayoritas beragama Islam, namun jual beli miras masih tetap diperbolehkan. Bisnis minuman haram ini memang menggiurkan dari sisi pendapatan individu maupun negara, tak terkecuali di Indonesia.
Di beberapa wilayah di Indonesia penjualan miras masih dianggap tabu karena bertentangan dengan agama. Namun penjualan miras menjadi hal yang biasa dilakukan di wilayah pariwisata yang kerap dikunjungi wisatawan asing, seperti Bali misalnya.
Wisatawan asing yang datang ke Indonesia membawa minuman beralkohol sendiri. Pada perubahan pasal 27 permendag tahun 2014 yang menyatakan bahwa pengecualian bawaan minuman beralkohol boleh dibawah 1000 ml menjadi longgar di permendag No. 20 tahun 2021 bahwa minol bawaan asing boleh 2500 ml.
Menurut Ketua MUI Cholil Nafis dalam keterangannya, Minggu (7/11), Permendag RI No. 20 tahun 2021 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor ini memang memihak kepentingan wisatawan asing agar datang ke Indonesia, tetapi merugikan anak bangsa dan pendapatan negara. Kebijakan ini pastinya menurunkan pendapatan Negara. Berdasarkan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) periode agustus 2020, Kementerian Keuangan menyampaikan, perlambatan pertumbuhan produksi MMEA dalam negeri disebabkan penurunan produksi sejak bulan april 2020, dan penutupan kawasan pariwisata sehingga menekan konsumsi MMEA dalam negeri.
Adapun secara umum, penerimaan cukai per 31 juni 2020 adalah Rp 88,82 triliun atau 51,35 persen dari targetnya.
Sementara itu merujuk laporan berjudul “Urgensi Lahirnya UU Larangan Minuman Beralkohol dalam Kehidupan Bernegara” yang diusulkan oleh 3 fraksi DPR menyebutkan dalam aspek perdagangan, pendapatan miras bagi negara diklaim tidaklah sebanding dengan risiko yang ditimbulkan dari minuman beralkohol.
RUU tentang larangan minol ini pernah dibahas oleh DPR pada periode 2014- 2019, namun tidak sampai pada kesepakatan. Kemudian dimasukkan lagi dalam Program Legislasi Nasional Prioritas untuk dibahas kembali oleh DPR periode 2019-2024.
Tujuan dibentuknya RUU ini untuk menciptakan lingkungan kehidupan yang baik dan sehat bagi masyarakat dari dampak minol , baik dari sisi fisik maupun psikis
Dalam perspektif hukum positif Indonesia yang merupakan negara hukum sehingga segala sesuatunya berdasarkan pada hukum dalam pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk dapat merealisasikannya negara mewujudkan lewat aturan-aturan yang dibuat nya seperti aturan tentang larangan minol.
RUU ini sudah cukup komprehensif karena subjek hukum nya mulai dari yang memproduksi, menyimpan maupun yang mengonsumsinya dapat dikenakan sanksi (pasal 5, 6 dan 7) RUU minol.
Namun, aturan dalam pasal tersebut masih dikecualikan untuk keperluan tertentu. Dengan demikian RUU ini dibutuhkan untuk mengisi kekosongan dan kepastian hukum.
Dalam perspektif hukum Islam minuman beralkohol diharamkan karena dosanya lebih besar daripada manfaatnya, sehingga akan menimbulkan kerugian bagi peminumnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran Al Karim yang artinya “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,” (Al Baqarah(2):219)
Sementara di lain pihak, dilansir dari JAKARTA, Kompas.com, Perwakilan Pengurus Besar (PB) ikatan dokter Indonesia (IdI) Gerald Mario Semen berpendapat, RUU tentang larangan minuman beralkohol tidak memiliki urgensi yang tinggi jika dibandingkan UU lainnya.
Menurut Gerald penggunaan alkohol itu sangat jauh lebih kecil, hanya sekitar hampir 10% dari penggunaan rokok atau tembakau. Sehingga kalau kita berbicara urgensi RUU tentang larangan minuman beralkohol ini tidak memiliki urgensi yang tinggi, ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat umum (RDPU)
dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu (14/7/2021).
Dalam sistem kapitalis saat ini perbedaan pendapat, pertentangan, dan perselisihan kerap terjadi. Pertimbangan kemaslahatan dan pemikiran manusia yang dangkal tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
Kondisi ini tentu sangat jauh berbeda dengan sistem Islam ketika ada permasalahan yang muncul ditengah masyarakat.
Dalam permasalahan minuman keras, Islam sudah pasti akan melarang bagi siapa saja yang memproduksi, mengedarkan, dan mengonsumsinya, baik dalam takaran yang kecil maupun yang besar.
Salah satu fungsi diterapkan nya syariat Islam adalah menjaga akal. Minuman keras akan berdampak buruk terhadap akal manusia.
Selain itu, negara juga akan memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya.
Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawabir dan zawazir yaitu pencegah dan penebus dosa.
Seperti itulah fungsi negara dalam sistem Islam, negara berperan sebagai penjaga peraturan Islam serta menjaga akal manusia sehingga akan menjalankan hukum sesuai dengan Syariat Islam. Hanya penerapan syariat Islam secara kaffah yang mampu memberikan solusi tuntas terhadap peredaran Miras. Waallohualam bishowab.
Views: 49
Comment here