wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah masih satu tahun lagi, namun riuh-riuh pesta demokrasi telah mulai terasa di Kabupaten Bandung. Di Kabupaten Bandung sendiri seiring dengan waktu menuju pemilu 2024, mulai muncul tagar #2024pituin atau #pituin2024.
Pituin sendiri dalam bahasa Sunda dapat diartikan sebagai asli. Kata asli yang dimaksud adalah identik dengan putra daerah. Sehingga tagar 2024pituin itu, berarti 2024 asli Kabupaten Bandung.
Dilansir dari laman media massa, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengungkapkan, itu sebagai wujud keinginan dan harapan masyarakat, bagi wakilnya nanti yang duduk di eksekutif atau legislatif, baik di DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi, DPR RI, maupun Pilkada.
Demokrasi, kata Dadang, memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih. “Jadi, adanya #2024pituin sedikit berseberangan dengan demokrasi, ” kata Dadang.
Seperti itulah sistem demokrasi, karena aturannya berasal dari manusia. Manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Sehingga ketika dalam pembuatan aturan pun akan mengalami perubahan. Maka, sangat wajar adanya ketidakkonsistenan dalam aturannya. Berbeda dengan hukum Allah SWT yang tidak akan pernah berubah hingga hari kiamat nanti.
Terkait tagar #2024pituin atau asli putra daerah sebenarnya sudah menyalahi demokrasi itu sendiri, padahal itu untuk pesta demokrasi. Karena dalam demokrasi membolehkan siapapun menjadi kepala daerah yang penting warga Indonesia dan tidak dicabut hak politiknya. Dengan adanya #2924 pituin memberikan peluang bagi putra daerah yang memiliki potensi. Sebab, putra daerah mengetahui kondisi daerahnya.
Dalam sistem Islam pemilihan calon pemimpin bukan berdasarkan dia seorang putra daerah dikarenakan tahu kondisi daerahnya sendiri. Tetapi seorang pemimpin dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat.
Syarat seorang pemimpin dalam Islam diantaranya:
pertama, Muslim. Sama sekali tidak sah kepemimpinan diserahkan kepada orang kafir dan tidak wajib pula menaatinya, karena Allah SWT telah berfirman:
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin.” (TQS. An-Nisa'[4]: 141).
Karena pemerintahan (kekuasaan) merupakan jalan yang paling kuat untuk menguasai orang-orang yang diperintah. Maka, pemimpin disyaratkan harus seorang Muslim.
Kedua, Laki-laki. Pemimpin tidak boleh seorang perempuan, artinya ia harus laki-laki. Hal ini berdasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Abu Bakrah yang berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau bersabda:
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.” (HR al-Bukhari)..
Ketiga, Baligh. Pemimpin tidak boleh orang yang belum balig. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib Ra., Bahwa Rasul saw. bersabda:
“Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan: dari anak-anak hingga ia balig, dan orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang rusak akalnya hingga ia sembuh.” (HR. Abu Dawud).
Keempat, berakal. Orang gila tidak sah menjadi seorang pemimpin.
Kelima, Adil. Orang fasik tidak sah diangkat sebagai pemimpin. Adil merupakan syarat yang harus dipenuhi demi keabsahan kepemimpinan dan keberlangsungannya.
Keenam, Merdeka. Sebab, hamba sahaya milik tuannya sehingga dia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri.
Ketujuh, Mampu. Seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki kemampuan. Orang yang lemah tidak akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, yang berdasarkan keduanyalah ia di baiat.
Tujuh syarat tersebut harus dipenuhi oleh calon pemimpin, tidak boleh kurang satu pun. Seandainya satu syarat saja tidak terpenuhi maka akad kepemimpinannya tidak sah.
Seperti itulah suatu kepemimpinan dalam Islam tidak dilihat apakah dia seorang putra daerah atau bukan, yang terpenting ketujuh syarat itu terpenuhi.
Sumiati
Views: 8
Comment here