Oleh : Eva Liana (Novelis)
Wacana-edukasi.com— Siang itu terasa berbeda di ruang perawatan KIA puskesmas kecamatan. Di tengah terpaan hawa panas bercampur debu musim kemarau. Saat lelah letih mencapai puncaknya, ditambah puasa bulan Ramadhan.
Ya, saat itu. Bidan Rianti hanya mampu tergugu. Mendekap status register dengan tubuh seolah membeku. Rekan-rekannya sesama bidan ikut terpaku. Menatap bayi mungil yang tergolek di matras perawatan puskesmas.
Usia bayi itu baru empat bulan. Besar tubuhnya tak sebanding dengan umurnya. Terlalu kecil dan kurus, dengan timbangan dua setengah kilo. Seusia itu, seharusnya berat badannya lima atau enam kilo. Bibir, ujung-ujung jari tangan dan kakinya kebiru-biruan. Sama sekali tidak merah menawan seperti lazimnya bayi. Bayi yang malang. Penyakit jantung tetralogi fallot telah merenggut aura moleknya.
Sungguh kondisi yang menyedot rasa iba. Hal yang membuat Rianti dan rekannya kian tergugu adalah sistem paket yang dikenakan BPJS untuk pengobatan penyakit jantung bawaan itu. Ternyata BPJS hanya mau menggelontorkan dana seperempat saja dari biaya realnya. Itu pun tak dapat dilaksanakan di rumah sakit daerah. Harus dirujuk ke rumah sakit pusat. Padahal untuk menjangkau tempat tersebut pun, butuh biaya yang tidak sedikit.
Ibu bayi itu, Timah, duduk di bangku panjang. Tersandar lemas di dinding. Wajahnya kuyu tanpa cahaya.
Saat bayinya mengiak lemah. Ia bergegas menggendong, lalu menyusui. Setetes bening jatuh ke atas wajah si bayi. Airmata ibunya.
“Duh, bagaimana nasibmu, Nak …?” keluhnya sambil mengusap bening di sudut mata. Menahan tangis.
Maman, ayah si bayi tampak pasrah. Berdiri termangu-mangu. Tak sanggup berpikir lagi. Jangankan menambah biaya berobat dan ongkos, untuk makan tiap hari saja, mereka harus kerja keras mengais rezeki. Pekerjaannya sebagai tukang parkir pasar, hanya cukup untuk biaya hidup dan bayar sewa rumah. Membayar iuran kartu BPJS pun, harus berhutang dulu ke sana ke mari. Mereka tak mendapat fasilitas kartu sehat untuk keluarga miskin. Entah mengapa. Tampaknya luput dari pendataan keluarga miskin. Ada juga yang bilang bahwa jatahnya sudah habis, sedang data mereka terlambat masuk.
Maman tak protes juga ketika melihat keluarga pambakal di kampungnya yang sebenarnya orang berduit, ternyata malah prioritas dapat kartu miskin. Tidak. Dia tak mampu memprotes ketidakadilan ini. Sungguh di luar kemampuannya. Ia terlalu lelah untuk protes.
Kondisi bayi pertamanya yang kemudian memaksanya untuk mengurus kartu BPJS. Seluruh pengorbanan ini demi harapan agar bayi mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan prima.
Namun, ternyata ketentuan BPJS sungguh menerbangkan asa.
“Jadi harus ke Banjarmasin, Bu? Sungguh tak bisa ditangani di sini?” Maman bertanya sekali lagi dengan nada mengiba.
“Benar, Pak. Fasilitas kita belum tersedia untuk penanganan penyakit yang diidap bayi Bapak. Bapak mesti mengurus surat rujukan dulu dari puskesmas, lalu ke rumah sakit Kandangan, setelah itu baru terus ke Banjarmasin. Itu namanya rujukan berjenjang. Prosedur itu yang harus dilewati,” jelas Bidan Rahmi, kepala Poli KIA puskesmas kecamatan.
Maman terdiam sebentar. Kepalanya tambah ruwet.
“Apa tidak ada keringanan dana, Bu? Kabarnya kan kalau pake BPJS bisa gratis semua. Tapi kok kenyataannya kita mesti nambah ….”
“Memang begitu prosedurnya, Pak. Sabar, ya, Pak … kita di sini hanya pelaksana saja. Itu kebijakan dari pusat.” Hanya itu yang mampu diungkapkan Bidan Rahmi. Tenggorokannya mulai tercekat oleh keharuan.
Maman menitikkan air mata. Menatap pilu bayi dalam gendongan istrinya. Bayi yang mereka damba-dambakan setelah lima tahun berkeluarga. Bagaimanapun sengsaranya kehidupan mereka, anak tetaplah permata hati yang selalu dinanti. Sebagai penyambung keturunan dan qurrata ‘ayun, yang dapat diharapkan doa-doanya.
Tak dinyana, sang buah hati lahir tanpa menangis dengan tubuh membiru. Tumbuh dengan susah payah selama empat bulan tanpa perkembangan yang berarti. Bahkan kian lama, tubuhnya bertambah lemah dan payah.
“Kami harus bagaimana, ya, Bu …? Mendengar biaya segitu, ditambah mesti ke Banjarmasin. Ibunya tak mungkin berangkat dan merawat bayi sendirian. Kami tak punya keluarga yang bisa diharap untuk mendampingi. Saya tak mungkin meninggalkan pekerjaan. Dari mana kami dapat biaya hidup dan ongkos berobat kalau saya harus menemani istri …?” tutur Maman, curhat setengah meratap.
Sesak dada Bidan Rianti. Bidan Rahmi dan Bidan Susi bahkan sudah berderai airmata. Beberapa rekan medis mereka di rumah sakit daerah ini juga tampak menunjukkan empati.
Akan tetapi, apalah yang mampu mereka lakukan? Mereka juga tak terbayang bagaimana solusinya. Sudah mafhum, tidak ada perikemanusiaan dalam sistem ini. Sama sekali tidak ada. Istilah gratis dan subsidi silang atas nama gotong royong cuma lips service.
Timah tak kuasa menahan isak tangis. Bayinya didekap erat. Ah, seandainya penyakit ini bisa dialihkan, maka ia rela menanggung penderitaan bayinya. Ya Allah mengapa harus bayi kecil ini yang menderita? Mengapa bukan kami saja? Dia belum tahu apa-apa, Ya Allah. Belum punya dosa. Batinnya perih.
“Pak Maman, kami hanya mampu mendoakan, semoga Allah luaskan rizki Bapak. Semoga Allah memberikan jalan keluar seluas-luasnya bagi Bapak, untuk memperjuangkan kesembuhan bayi. Kami turut prihatin, Pak ….” kata Bidan Rahmi sambil menyeka matanya yang basah. Ia lalu mengeluarkan sebuah amplop putih berukuran cukup besar.
“Ini ada sedikit sumbangan dari kami semua. Semoga bermanfaat untuk menambah-nambah ongkos, ya, Pak ….” Bidan Rahmi mengulurkan amplop tersebut ke hadapan Maman.
Tukang parkir pasar itu menyambutnya dengan tangan bergetar dan sepasang mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Bu.”
“Iya, sama-sama, Pak. Mohon maaf tidak bisa membantu banyak, Ya, Pak ….”
“Iya, Bu. Saya paham ….” Maman mengangguk. Lalu mengajak istrinya berdiri.
“Kami pamit dulu, ya, Bu. Mohon doanya … assalamualaykum,” kata Maman sopan.
“Wa’alaykum salaam ….” Para bidan serempak menjawab salam.
Maman dan Timah berlalu bersama bayi mereka yang lemah. Langkah mereka gontai dan kepala tertunduk lesu. Sesekali tampak Timah membelai sayang kepala mungil bayinya.
Seminggu kemudian.
Maman datang lagi. Kali ini sendirian.
“Eh, Pak Maman …,” sapa Bidan Rianti ramah.
Maman menatap kosong sosok bidan yang berkerudung dan berjilbab itu. Wajah tukang parkir muda ini agak pucat. Matanya sembab.
“Bagaimana kabar bayinya, Pak? Jadikah dibawa ke Banjarmasin?”
Maman menggeleng lemah.
Rianti paham dan prihatin. Tampaknya biaya itu masih jadi masalah.
Bidan Rianti telah menyaksikan, korban-korban berjatuhan sejak ketok palu BPJS diberlakukan dua tahun silam. Mereka yang tak mampu membayar iuran, mereka yang tak mampu melanjutkan perawatan ke rumah sakit karena tak sanggup menanggung biaya tambahan, mereka yang dikeluarkan dengan paksa dari rawat inap rumah tangga sakit karena melebihi batas paket BPJS. Bahkan ada yang meninggal di tempat karena administrasi BPJS belum beres. Dan masih banyak kasus lainnya.
“Anu …, Bu, saya kemari mau ngurus kartu,” kata Maman lemah, memutus renungan Rianti.
“Oh, ya, boleh … Mau setor iuran, ya?”
“Bukan, Bu. Saya mau membatalkan kartu, dan menarik dananya yang terlanjur dibayar tiga bulan, kalau boleh.”
“Oh, tak bisa ditarik itu, Pak. Hanya bisa dikembalikan dalam bentuk pelayanan kesehatan.”
“Kalau begitu, saya mau berhenti saja karena tak sanggup bayar iuran lagi. Daripada saya nanti didenda karena telat, mending saya lapor cabut kartu saja.”
“Lho, Pak, kartunya kan bermanfaat buat berobat si kecil?”
“Tak perlu lagi, Bu. Bayi saya sudah meninggal tiga hari yang lalu. Saya ke sini sekaligus juga mau ngurus surat kematiannya ….”
Tenggorokan Bidan Rianti mendadak kering. Lidahnya kelu. Sepasang matanya langsung mengembun. Lalu pecah berlinangan.
“Innalillaahi wa inna ilaihi rojiuun … semoga bayinya nanti jadi syafaat di yaumil akhir, ya, Pak …,” kata Rianti dengan suara parau.
Maman hanya mengangguk lunglai. Rianti mengantarkannya ke kantor tata usaha puskesmas dengan sekujur tubuh bergetar sedih. Membayangkan bayi mungil kebiruan yang seminggu lalu masih mengiak lemah di puskesmas mereka.
Kejadian yang sungguh menyakitkan dada. Menyengat emosi, membuncahkan dendam. Siapa pun yang masih memiliki fitrah, pasti tak tega bila dihadapkan realitas yang sama. Rasa bersalah menggigit hatinya. Apakah benar-benar tidak ada lagi yang bisa dilakukan lebih dari sekedar empati?
Duhai, sampai kapan penderitaan ini berakhir? Kepedihan ini menjelmakan kemarahan. Bidan Rianti serasa ingin berdiri menantang sistem. BPJS absurd. Ia menggeram dalam hati.
Sudah saatnya, petugas medis bangkit. Mencari solusi. Memperjuangkannya. Menyatukan langkah untuk menderaskan arus tuntutan perubahan.
Rianti pernah berdiskusi dengan seorang temannya yang aktivis dakwah mengenai sistem pelayanan kesehatan dalam Islam. Ia masih ingat betul penjelasan sang teman.
“Dalam Islam itu, Kak, pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab negara, bukan rakyat. Gambaran pengurusan itu dicontohkan oleh teladan kita, Rasulullah SAW. beserta para khalifah sesudahnya.”
“Tapi ‘kan, BPJS sebenarnya sudah menjalankan fungsi itu?”
“BPJS itu berbentuk asuransi yang dananya bersumber dari iuran rakyat, Kak. Hakikatnya, rakyatlah yang disuruh membiayai pelayanan kesehatannya sendiri, meski dibungkus manis dengan jargon gotong royong. Di sinilah pertentangannya dengan Islam. Islam menetapkan bahwa pembiayaan tersebut wajib dari kas negara, bukan dari rakyat. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Dana kas negara sendiri berasal dari pengelolaan sumber-sumber daya alam.”
Sampai di sini, penjelasan Salma, sang teman, cukup masuk akal bagi Rianti. Sejak saat itu, ia rutin berdiskusi dengan Salma, hingga memperoleh pemahaman yang mendalam.
Bidan Rianti meng-azzam-kan tekad sebagai pioner. Mungkin ia akan menjadi tumbal di hadapan monster BPJS yang berperisai neoliberal. Mungkin pula ia akan dijegal. Tapi ia tidak takut atau merasa rugi. Pilihan telah ditetapkan. Dengan jalan ini, jiwanya terbebas dari tekanan rasa bersalah.
Ia sudah siap berkorban. Memperjuangkan penghapusan sistem pelayanan kesehatan yang belum berpihak pada rakyat, termasuk tenaga medis. Atas nama kemanusiaan. Atas nama kode etik profesional. Atas nama Tuhan.
*
Views: 1
Comment here