By : Endah Susilawati
Wacana-edukasi.com — Hentakan suara ban pesawat yang keras tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan yang panjang. Ku alihkan pandangan mata ke jendela. Pesawat yang aku naiki telah mendarat, menandakan perjalananku telah sampai tujuan.
Kenangan itu masih nampak jelas dalam ingatan. Saat pertama kali kaki ini menyentuh bumi Allah yang begitu indah. Sejauh mata memandang nampak gunung-gunung berdiri dengan kokohnya. Seakan-akan memberi isyarat selamat datang dewi di bumi Allah.
Disinilah kumulai menapaki jejak langkah baru perjalanan hidup yang harus kulalui. Belum selesai kekagumanku tiba-tiba aku tersadarkan oleh panggilan seseorang agar aku segera naik ke dalam mobil. Kulalui perjalanan berikutnya hingga sampai ke tempat tinggalku di kota ini.
Lagi-lagi aku dibuat kagum. Bagaimana aku tak terkesima. Selama perjalanan yang nampak pemandangan yang luar biasa indahnya. Luasnya danau nan indah dengan gunung-gunung yang menambah kesempurnaan ciptaan Rabbku.
Belum usai kekagumanku adanya danau yang luas . Kini nampak didepan mata lautan lepas yang begitu memukau sepanjang perjalanan ini. Maa syaa Allah seindah inikah tempat tinggalku kini.
Takdir yang membawa aku harus sampai di tempat yang luar biasa ini. Hingga aku bisa menikmati alam yang begitu indah. Tak terasa perjalanan akhirnya sampai di tempat tujuan.
Disinilah aku dan keluarga memulai hidup baru. Daerah kecil di tengah hutan dengan penduduk yang belum begitu banyak. Walaupun tidak jauh dari pusat kota, namun belum banyak fasilitas umum yang bisa kami gunakan untuk menuju kota. Maka setiap kali ingin pergi, kemana-mana kami selalu jalan kaki dengan jarak berkilo-kilo meter. belum lagi kalau hujan, jalan kaki terasa berat karena licin. Ditempat tinggalku juga belum ada listrik, benar-benar sebuah perjuangan.
Saat hendak menuju kota untuk memenuhi berbagai keperluan, Terkadang kita ikut truk angkutan proyek yang lewat. Atau bahkan truk milik tentara yang biasa melintas. Atau bisa juga Kami memesan mobil dua hari sebelum pergi. Karena untuk bisa menyewanya, kami harus bergilir dengan penumpang-penumpang lain.
================
Terkadang ada penyesalan mengapa takdir ini harus kujalani?
Hidup berpindah-pindah disebabkan sikap ayah yang selalu mengalah untuk menghindar agar tidak terjadi konflik keluarga yang berkepanjangan. Meninggalkan semua haknya dan pergi menjauh mencari kehidupan yang jauh lebih tenang di bumi Allah walau harus tinggal di hutan daerah terpencil.
Semua ini demi keluarga kecilnya. Karena yakin dimana saja kita tinggal ini bumi milik Allah dan Allah pasti akan memberi penghidupan. Sebab Allah lah pemilik rejeki walau harus terseok-seok dalam menjalani kehidupan. Karena bagi ayah, yang terpenting adalah ketenangan dan kenyamanan untuk keluarga kecilnya.
Pengalaman pertama ada rasa takut ketika bertemu dengan warga asli disini. Butuh waktu agar bisa membaur dengan mereka. Ternyata dugaan ku salah. Mereka semua baik-baik tidak melihat ada perbedaan antara kita. Aku pun mulai nyaman dengan kehidupan yang baru baik di sekolah atau di lingkungan.
Banyak peristiwa terjadi disini. Disebabkan propokator dari orang yang tidak suka adanya kedamaian. Saat itu terjadi peristiwa pembunuhan. Aku melihat secara langsung korban pembunuhan. Saat aku dan teman-teman pulang sekolah melihat dua orang korban tergeletak di bak belakang mobil terbuka dengan beberapa jubi dan panah menembus tubuh kekarnya.
Saat itu aku bertanya pada pak tentara. “Om napa tra cabut dong pu jubi-jubi k ?”¹
Pak tentara menjawab. “nona tong tra bisa cabut barang-barang ini ?”¹
“Emang napa Om?” Tanyaku lagi
“Kasihan biar su mati kalau tong cabut barang ini. Dong pu jasad terkoyak-koyak. Sebab anak panah deng jubi bercabang. Nanti team medis yang cabut.”¹
“oh… gitu ya Om” kucoba memahami penjelasan bapak tersebut.
“Makasih Om”
“iya sama-sama. Sudah kalian berteduh di kios-kios dan jangan kemana-mana kondisi masih belum aman. Kalau kalian lapar makan kue-kue dulu sampai mobil pasukan datang antar kalian pulang”
“Oke siap Om.”
Suasana masih tegang dan sunyi hanya para tentara yang sibuk berjaga jaga. Tiba-tiba dari kejauhan ada seorang lelaki tua mengayun sepeda tuanya. Pak tentara siap dengan senjata masing-masing menjaga kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah mendekat pak tentara bertanya
“maaf apa bapak tidak tahu kalau ada pembunuhan?”
“Justru saya tahu makanya saya kesini jemput anak saya. Kasihan anak-anak sudah mau sore belum juga pulang para orang tua khawatir.” Jawab lelaki tua itu.
Pak tentara datang menyebut namaku.
“Yang namanya Dewi mana?”
“saya om, ada apa?” Jawabku.
“oh, pantas kamu to?. Bapak kamu jemput. Yang tinggal sama dewi siap-siap pulang sama bapaknya nanti ditemani pak tentara.”
================
Tak terasa aku lulus dari SMP dan ingin melanjutkan sekolah dijenjang berikutnya. Namun di daerah ku belum ada sekolah SMA atau sederajat, mau tidak mau aku harus pergi ke kota agar bisa sekolah. Padahal saat itu di kota aku tidak mengenal satu orang pun dan tidak tau juga mau tinggal dimana. Akupun belum tau kondisi di kota.
Singkat cerita, diantara kita yang ingin melanjutkan sekolah di kota, maka akan dititipkan ke sanak famili para guru yang mau menampung untuk sekolah sekaligus juga kadang untuk membiayai sekolah. Termasuk aku karena tidak memiliki sanak saudara dan kita tidak diperbolehkan untuk tinggal di kos-kosan.
Waktu pun berlalu. Akhirnya aku lulus SMA. Ada keinginan untuk melanjutkan kuliah tapi melihat kondisi ekonomi orang tua yang masih mempunyai beban adik-adik. Maka aku putuskan untuk mencari kerja agar bisa membantu beban ekonomi orang tua dan adik-adikku agar bisa tetap sekolah. Kehidupan keluargaku berjalan berkecukupan walau kadang terseok-seok dalam ekonomi.
Kadang muncul rasa sakit hati bahkan bibit-bibit dendam atas apa yang aku alami di masalalu. Namun semua sedikit terlupakan karena kesibukan pekerjaan. Dan Akupun merasa hanya membuang-buang waktu jika terus memikirkan masa-masa itu.
Beberapa tahun kemudian. Adik-adikku pun sudah lulus sekolah. Kini mereka mempunyai kehidupan yang sukses. Diantara mereka ada yang jadi aparat negara dan Pegawai Negeri.
Rasa bahagia nampak dari raut wajah Bundaku melihat kesuksesan anak-anaknya. Namun entah mengapa, kadang aku merasa ada kegelisahan dari tatapan matanya ketika menatapku. Apa yang masih beliau khawatirkan? Kelihatan ada terselip sesuatu dihatinya entah apa itu karena aku pun tak tau.
Bundaku berpenampilan sederhana. Beliau terlihat teduh dalam kesehariannya. Suatu saat aku terbayang wajah yang begitu teduh nan indah itu berbalut dengan kerudung. Keinginan dan harapan dalam jiwa meronta. Bertanya-tanya jika suatu hari aku dan bunda mengenakan kerudung penutup kepala.
Kutarik nafas panjang dan berdoa di dalam hati. ‘Ya Allah..berikanlah kami hidayah’
Bayangan-bayangan wajah bunda semakin menguatkan keinginanku mengenakan kerudung. Bayangan itu terus menari-nari seakan-akan memberi isyarat. Agar segera aku memakai kerudung dan menutup tubuhku agar aurat tak nampak.
Aku mulai mencoba memakai kerudung walau terasa aneh karena coba-coba.
Melihat penampilanku, teman kerjaku mulai nampak keheranan dengan keputusanku yang tiba-tiba .
================
Waktu berjalan terus tak terasa tiga tahun sudah aku memakai kerudung. Namun hati tetap gelisah ada sesuatu yang tak nyaman. Aku mulai merenung tentang keyakinan yang aku imani. Karena walaupun sudah berkerudung, aku belum tahu apa-apa tentang agama ini.
Ku putuskan untuk refreshing ke pantai melihat deburan ombak. Pandanganku jauh memandang lautan lepas. Tiba-tiba sesak didada merasakan beban yang berat. Perasaan sedih dan kasihan muncul dalam benakku. Teringat sosok yang begitu tegar, sabar dan lembut.
Oh bunda…
Bagaimana cara aku membalas kasihmu padaku Bunda.
Harta aku tak punya. Hanya untaian do’a yang selalu kupanjatkan agar Allah selalu memberkahi setiap langkahmu… Bunda….
Bunda sosok yang luar biasa bagiku. Karena dari Bunda aku banyak belajar tentang kehidupan. Tak terasa bulir-bulir mengalir deras karena bahagia memiliki Bunda. Aku putuskan untuk segera hijrah sebagai hadiah terindah dan baktiku juga rasa sayangku padanya.
Aku ingin memutus mata rantai dosa yang Bunda lakukan. Karena kelalaian dan ketidaktahuan yang tak mengajariku tentang agama. Sebab Bunda pun tak diajari oleh kakek dan nenek. Hingga Bunda pun melakukan hal yang sama padaku. Tidak mengajari aku tentang agama yang aku imani.
Aku mulai memantapkan hati untuk hijrah yang sesungguhnya bukan sebatas berkerudung. Belajar tak mengenal usia, walau kini usia mulai senja untuk mengkaji islam kaffah. Dari awal semua amatlah berat. Dengan tertatih-tatih membaca al-Qur’an. Belajar kitab gundul juga fiqih dan lainnya. Perlahan tapi pasti, Aku mengajarkan Islam yang aku pelajari dengan perilaku dan kasih sayang kepada Bunda. Perlahan akhirnya Bunda menutup aurat walau diusia senjanya. Bunda juga memperbaiki ibadahnya setelah mendapat ilmu sedikit tentang Islam.
Waktu berjalan terus. Kadang ada rasa lelah menghampiri. Aku memohon kepada Allah ‘Azza wa zalla selalu membimbingku agar istiqomah dalam hijrah. Kini baru aku sadari betapa sayangnya Allah padaku. Memberi kehidupan yang indah dan takdir terindah juga nikmat terbesar dalam hidupku bisa mengenal lebih siapa Rabbku dengan takdir ini. Maa syaa Allah takdir Allah pasti terindah.
================
Selesai
Keterangan:
1. Dialek Papua
Dong : mereka
Tong : kita
Tra : tidak
Su : sudah
Pu : punya
Jubi : semacam
tombak
Views: 15
Comment here