Oleh: Pri Afifah
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Sebut saja namanya Pak Amir, seorang petani dari Pemaluan, Kalimantan Timur. Tanah yang digarapnya selama puluhan tahun adalah sumber kehidupan bagi keluarganya. Di lahan itulah ia menanam padi dan sayur-mayur, berharap panen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya. Tanah ini bukan hanya tempat mencari nafkah bagi Pak Amir, tetapi juga tempat di mana mimpi-mimpinya tumbuh.
Namun, semua harapan itu seakan runtuh ketika surat peringatan penggusuran datang. Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) menganggap tanah mereka milik Badan Bank Tanah dan meminta mereka untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Pak Amir merasa bahwa dunia ini tidak adil. Bagaimana mungkin tanah yang telah digarap dengan keringat dan air mata selama bertahun-tahun, kini dianggap bukan miliknya?
Proyek pembangunan IKN juga membawa dampak yang merusak lingkungan sekitar. Teluk Balikpapan, yang selama ini menjadi rumah bagi ekosistem mangrove seluas 2.603,41 hektar, kini terancam rusak. Hutan mangrove ini bukan hanya sekadar hamparan pohon bagi masyarakat sekitar, tetapi juga habitat bagi berbagai satwa dan sumber penghidupan bagi para nelayan.
Bu Siti, seorang nelayan dari Kabupaten Penajam Paser Utara, setiap hari suaminya melaut untuk menangkap ikan, kepiting, dan udang yang hidup di sekitar mangrove. Hasil tangkapan itulah yang menjadi sumber utama pendapatan mereka. Dengan adanya proyek pembangunan IKN, hampir sepuluh ribu nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara dan berbagai kelurahan di Penajam Paser Utara, serta nelayan di Balikpapan, kini menghadapi masa depan yang tidak pasti. Kerusakan alam akibat proyek tersebut mengancam habitat ikan dan biota laut lainnya, sehingga hasil tangkapan semakin berkurang.
Pak Amir, Bu Siti, dan banyak keluarga lain di daerah terdampak pembangunan IKN khawatir akan masa depan mereka. Apakah mereka masih bisa menyekolahkan anak-anak mereka? Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari jika lahan dan rumah mereka digusur?
Mereka merasa diabaikan oleh negara yang lebih berpihak kepada investor asing, mengorbankan hak dan kesejahteraan rakyat kecil seperti mereka.
Kisah-kisah pilu mereka adalah cerminan dari dampak pembangunan IKN yang lebih besar. Ketika negara lebih berpihak kepada investor asing dengan mengorbankan hak dan kesejahteraan rakyat kecil, banyak keluarga yang harus menanggung beban berat. Mereka bukan hanya kehilangan lahan dan rumah, tetapi juga kehilangan harapan dan masa depan yang lebih baik.
Ini adalah bukti, aturan kapitalistik yang proinvestasi tidak bisa diharapkan untuk melindungi hak masyarakat dan kedaulatan negeri. Para pengusaha, terutama asing, justru diberi karpet merah untuk mengokohkan kedudukan mereka di negeri ini selama hampir dua abad.
Sebaliknya, kehidupan rakyat bukannya kian sejahtera. Mereka justru makin dipersulit oleh kebijakan yang mengancam lahan dan penghidupan mereka.
Apakah sistem kapitalisme yang rusak dan merusak ini akan terus dipertahankan? Padahal Allah SWT sudah menunjukkan jalan yang lurus dan menyelamatkan. Itulah Islam yang sempurna dengan seluruh hukumnya. Lalu mengapa kita berpaling?
Islam mengajarkan bahwa tanah termasuk ke dalam harta yang dapat dimiliki secara pribadi. Hukum Islam mengizinkan individu memiliki lahan baik untuk hunian, tempat usaha, sawah, ladang, maupun perikanan dan peternakan. Setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, berhak memiliki lahan baik secara zatnya maupun sekadar hak guna usahanya. Namun, dalam situasi saat ini, hak-hak mereka sebagai pemilik lahan seringkali diabaikan demi kepentingan investasi asing.
Islam juga mengajarkan bahwa negara memiliki otoritas untuk membagikan lahan kepada rakyat, baik menjadi hak milik pribadi maupun hanya berupa Hak Guna Usaha (HGU). Negara juga bertanggung jawab untuk mengawasi pengelolaan lahan yang dimiliki warga. Penelantaran lahan selama tiga tahun oleh pemiliknya secara otomatis membatalkan status kepemilikannya atas lahan tersebut. Dalam kasus Pak Amir dan warga lainnya, mereka tidak pernah menelantarkan lahan. Mereka selalu menggarapnya dengan penuh tanggung jawab.
Selain itu, Nabi Muhammad saw. telah melarang penyewaan lahan pertanian dengan sistem al-mukhâbarah, yang berarti mengambil bagian atau keuntungan dari hasil lahan tersebut. Ini menegaskan bahwa lahan harus dikelola dengan adil dan tidak membebani pemilik atau penggarapnya.
Lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat karena mengandung bahan tambang atau mata air berlimpah yang menjadi kebutuhan publik juga statusnya menjadi milik umum, dikelola oleh negara, dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta atau asing.
Views: 23
Comment here