Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI– Program pemerintah tabungan perumahan rakyat (Tapera) tengah menjadi perbincangan setelah pekerja swasta dipaksa untuk ikut menjadi peserta. Tapera dibentuk sejak 2016 melalui UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Sebelumnya, hanya PNS yang diwajibkan menjadi peserta program ini, tetapi kali ini pekerja swasta dan mandiri ikut dilibatkan.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera, pemerintah menetapkan iuran sebesar 3 persen yang dibayarkan secara gotong royong, yakni 2,5 persen oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja. (www.intelmediaupdate.com)
Sejumlah pekerja swasta dan pekerja mandiri atau informal menilai program Tapera akan menjadi beban baru dalam kehidupan mereka. Selama ini penghasilan mereka sudah sangat pas-pasan, khususnya pekerja mandiri yang berpenghasilan tak pasti. Pemerintah bakal mengoperasikan program Tapera untuk pekerja mandiri atau informal terlambat-lambatnya pada 2027. Itu artinya penarik ojek, pelaku UMKM hingga SATPAM di lembaga swasta turut diwajibkan dalam program tersebut. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai iuran Tapera akan merugikan para pemberi kerja dan juga penerima kerja. Eisha menyampaikan iuran Tapera dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Menurutnya, penurunan konsumsi masyarakat tentu memiliki implikasi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. (www.ekonomirepublika.co.id)
Harus diakui, bahwa kewajiban Tapera yang akan diberlakukan pemerintah ini akan menambah beban ekonomi masyarakat. Pasalnya, sebelum adanya tabungan wajib ini, sejumlah iuran seperti BPJS, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pajak dan potongan lain-lain telah banyak memotong penghasilan masyarakat. Kebijakan pemerintah ini sekilas tampak baik, karena bisa mengatasi persoalan hunian masyarakat negeri ini. Namun, dibatasinya peserta Tapera menunjukkan iuran wajib ini hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir masyarakat. Selain itu, waktu pencairan dana sangat panjang, hal ini tentu menjadikan pemilik tabungan sulit memanfaatkan rumah yang merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat.
Kehidupan dalam sistem Kapitalisme memang cukup sulit, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja rakyat harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Apalagi sistem ekonomi Kapitalisme, meniscayakan mahalnya harga kebutuhan pokok, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Negara sendiri abai terhadap peran utamanya sebagai pengurus rakyat. Sebagaimana kebijakan Tapera ini, sungguh negara menunjukkan jati dirinya hanya sebagai pihak penyedia tanpa mempedulikan apakah rakyat mampu mengakses rumah yang layak atau tidak.
Sementara proyek pembangunan KPR negara selalu mengandalkan pihak swasta yang tentu akan memberikan keuntungan yang cukup besar bagi para pengembang, karena itu kebijakan Tapera yang dipaksakan ini diduga kuat merupakan regulasi yang pro kepada korporasi, karena dana yang terkumpul pada akhirnya akan diserahkan kepada korporasi. Inilah buah penerapan sistem Kapitalisme yang menjadikan negara sebagai pelayan korporasi, bukan pelayan rakyatnya.
Berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam negara Islam, yakni Khilafah yang menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat yang hidup di bawah sistem ini. Dalam Islam, pemimpin diposisikan sebagai pengurus (raa’in) dan pelayan rakyatnya. Tugasnya mengurus seluruh urusan rakyat, bukan mengeruk keuntungan dari rakyat. Khilafah menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap warga negara Islam secara menyeluruh, mulai dari sandang, pangan dan papan, dengan mekanisme yang telah ditetapkan syariat. Sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, maka semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara, tanpa kompensasi berupa iuran wajib untuk memampukan rakyat memiliki rumah.
Khilafah memastikan terbukanya lapangan kerja yang luas bagi rakyatnya. Hanya saja, tingkat pendapatan rakyat tentu berbeda-beda sesuai kapasitasnya. Karena itu, jika ada rakyat miskin yang sulit membeli rumah, maka Khilafah akan hadir sebagai penjamin pemenuhan pokok ini. Dalam menjalankan tanggung jawabnya ini, Khalifah tidak dibenarkan berperan sebagai regulator, apalagi hingga mengalihkan tanggung jawab ini kepada pihak swasta atau korporasi. Untuk pembiayaan pembangunan perumahan rakyat miskin, diambil dari Baitul Maal yang bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran Baitul Maal sepenuhnya berdasarkan ketentuan syariat, artinya pemerintah tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja, apapun alasannya, apalagi sampai mengkomersialkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok perumahan.
Bagi rakyat miskin yang memiliki rumah, namun tidak layak huni serta mengharuskan renovasi, maka Khilafah harus melakukan renovasi langsung dan segera, sehingga hasilnya bisa langsung dirasakan oleh rakyat miskin. Khilafah tidak boleh menyerahkan dana pembangunan rumah rakyat miskin kepada operator properti, sehingga dengan leluasa mengomersilkan hunian yang dibangun dari dana tersebut untuk mencari keuntungan. Khilafah juga bisa langsung membangunkan rumah untuk rakyat miskin di lahan-lahan milik negara. Khilafah juga boleh memberikan tanah miliknya kepada rakyat miskin secara gratis untuk dibangun rumah selama bertujuan untuk kemaslahatan kaum muslim. Demikianlah jaminan terpenuhinya perumahan bagi rakyat hanya akan terwujud dalam Khilafah Islam.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 34
Comment here