Surat Pembaca

Tapera, Haruskah Dilanjutkan?

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Dalam dua hari terakhir, program Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat menjadi topik hangat di masyarakat. Salah satu yang menjadi sorotan atas aturan tersebut adalah adanya iuran simpanan peserta yang ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah. Aturan baru itu merevisi bahwa peserta iuran wajib Tapera kini bukan hanya untuk PNS atau ASN dan TNI-Polri, serta BUMN melainkan termasuk karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah. Besaran total iuran yang wajib diberikan yakni sebesar 3 persen, masing-masing 2,5 persen diambil dari pekerja dan 0,5 persennya dari pemberi kerja.

Dilansir dari laman kompas.com, yang paling mencengangkan mengenai gaji para Komite BP Tapera yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Honorarium, Insentif, dan Manfaat Tambahan lainnya untuk Komite Tapera. Disebutkan dalam Pasal 2 Perpres Nomor 9 Tahun 2023, Komite Tapera berhak mendapatkan honorarium, insentif, dan manfaat tambahan lainnya untuk meningkatkan kinerja. Insentif juga didapatkan oleh Komisioner Tapera. Dalam Pasal 3, besaran honorarium tertinggi adalah Komite Tapera unsur profesional sebesar Rp 43,34 juta. Lalu anggota dengan posisi Ketua Komite Tapera yang jabatannya ex efficio dari unsur menteri sebesar Rp 32,5 juta.

Para pekerja merasa keberatan dengan adanya potongan iuran Tapera, di tengah potongan lain seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dinilai sebagai kebijakan keliru di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang lesu. Penolakan terhadap rencana pemerintah memotong gaji setiap pekerja di sektor formal untuk pelaksanaan Tapera terus datang dari sejumlah kalangan. Seperti para pekerja swasta di Nusa Tenggara Barat menilai pemerintah terlalu terburu-buru dan tidak memikirkan beban masyarakat saat ini. Mereka juga khawatir, selain jadi beban baru, Tapera akan membuka peluang tindakan korupsi jika tidak ada jaminan keamanan dana masyarakat.

Islam telah memberikan tuntunan lengkap dalam mengelola urusan-urusan rakyat. Rasulullah saw. sendiri mencontohkan bahwa sumber pembiayaan pembangunan perumahan diambil dari kas negara atau baitulmal dan pembiayaan ini bersifat mutlak. Artinya, jika kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara boleh menarik pajak dari orang kaya. Namun, sifatnya temporer, yaitu pungutan dihentikan setelah persoalan ini selesai.

Sumber-sumber pemasukan negara dan pintu-pintu pengeluarannyapun di atur berdasarkan ketentuan syariat. Seluruh kebijakan dalam Islam bermuara kepada kemaslahatan umat, termasuk untuk terpenuhinya kebutuhan papan. Jika negara benar-benar berniat membantu masyarakat memperoleh hunian layak dengan mudah, negara harus beralih dari penerap kapitalisme kepada penerap Islam kafah yang sahih, yang memiliki visi riayah.

Karena dalam sistem kapitalisme yang di emban hari ini, segala sesuatu yang dapat menghasilkan keuntungan materi, pasti akan dikomersialkan. Begitu juga dengan perumahan, merupakan lahan subur untuk bisa meraup keuntungan materi karena perumahan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia dan merupakan kebutuhan pokok sehingga pasti ada pembelinya. Neoliberalisme menempatkan pemerintah hanya sebagai regulator atau fasilitator, bukan penanggung jawab terpenuhinya kebutuhan pokok bagi rakyatnya.

Yasyirah, S.P

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here