Opini

Tarif Tes Covid Masih Tinggi, Pelayanan Kesehatan Berorientasi pada Materi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ahida Tamanni, S.KM (Penulis, Pemerhati Kesehatan)

wacana-edukasi.com — Memasuki tahun ke dua, pandemi Covid 19 di Indonesia terus memakan korban. Sejak varian baru Covid 19 muncul, gelombang kedua pandemi akhirnya tak terelakkan. Angka kematian harian meningkat tajam, diatas angka 1000 setiap harinya. Bak kapas yang diterbangkan angin, begitulah gambaran mudahnya nyawa melayang karena pandemi. Mengganasnya pandemi, tak ayal menjadikan kehidupan rakyat yang sulit semakin sulit. Pun semakin tingginya kasus kejahatan karena desakan ekonomi.

Kondisi pandemi semakin memprihatinkan karena banyak pihak yang tak bertanggung jawab justru menjadikannya lahan bisnis ilegal. Seperti kasus yang terjadi di Samarinda, dikutip dari KOMPAS.com (04/08/2021), Polisi menangkap tiga pelaku pemalsu hasil polymerase chain reaction (PCR) Covid-19 tanpa tes di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (1/8/2021).

Tak hanya itu, sebagian masyarakat juga mengeluhkan lamanya hasil tes keluar dan mahalnya harga yang harus dibayarkan untuk sekali tes usap tersebut. Di beberapa klinik dan penyelenggara tes usap mandiri, dibandrol 800 ribu hingga 2,5 juta harga untuk sekali tes. Angka yang cukup tinggi.

Hal ini membuat sebagian pelaku perjalanan memilih jalan pintas demi mendapatkan surat Covid dengan harga yang murah juga cepat tanpa tes. Tentu hal ini akan menimbulkan masalah baru, yang dikhawatirkan dapat memicu munculnya kluster Covid yang tak terdeteksi.

Mahalnya tes Covid juga menjadi sorotan berbagai pihak, “Harga PCR atau swab harus semurah-murahnya!!! Negara harus hadir memastikan ini. Kenapa negara lain bisa lebih murah dari kita saat ini? Bukankah beli bayam 100 selalu lebih murah dari beli bayam 10. Ayolah Bisa! Mohon kendalinya Pak @Jokowi,” tulis Tompi di akun Twitternya.

Miris! Memasuki tahun kedua pandemi, pemerintah masih saja bergelut dengan hal-hal utama yang belum tuntas, yang seharusnya menjadi tonggak awal kebijakan ketika pandemi muncul, semisal terkait penetapan harga tes Covid ini. Setelah banyaknya kritik masyarakat atas mahalnya biaya tes PCR dan antigen mandiri, yang tidak semua masyarakat mampu menjangkaunya, pemerintah memutuskan akan menurunkan harganya.

Dilansir dari news.detik.com (15/08/2021) Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar harga tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan. Jokowi meminta agar biaya tes PCR di kisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu.

“Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000,” kata Jokowi dalam keterangannya melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/8/2021). Selain untuk menurunkan harga, Jokowi memerintahkan agar hasil tes PCR dipercepat. Dia meminta agar hasil tes PCR keluar dalam waktu maksimal 1×24 jam.

Namun pemerintah juga akan tetap mengevaluasi atau mengaudit lembaga-lembaga penyelenggara tes agar tetap memberi pemasukan bagi negara. Agar harga tes tak kemahalan meski lembaga boleh mengambil keuntungan. Wow! Ditengah pandemi masih saja berbicara keuntungan, layakkah? Komersialisasi ditengah bencana, wajarkah?

Inilah watak negara kapitalistik. Negara selalu bertransaksi dan melakukan perhitungan secara ekonomi serta materi dengan rakyat, tak peduli situasi segenting apapun. Layanan kesehatan yang murah, mudah dan berkualitas telah menjadi kemewahan yang hanya mampu dimiliki segelintir orang. Pandemi semakin membuka topeng kapitalisme bahwa memiliki uang adalah tiket untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih lama.

Adakah solusi layanan kesehatan yang terjamin ditengah pandemi? Tentu ada! Islam lah jawabannya. Misi pelayanan kesehatan di dalam Islam tidaklah berorientasi pada materi. Hal ini tercermin pada motivasi ahli medisnya maupun para Khalifah yang mengambil kebijakan terhadap pelayanan kesehatan bagi rakyatnya. Pengobatan yang mudah diakses oleh semua kalangan dan biaya pengobatan yang tidak boleh dibebankan kepada masyarakat adalah ciri utama pelayanan kesehatan dalam Islam.

Dalam Islam, bila testing termasuk bagian dari upaya memisahkan antara orang sakit dan sehat serta merupakan satu rangkaian dari penanganan pandemi, maka semestinya bebas biaya. Bahkan ini harus dilakukan kepada semua orang, dengan tempo yang singkat. Haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan yang wajib diberikan Negara.

Perhatian para Khalifah dalam pelayanan kesehatan sangatlah tinggi, ini sebagai bentuk tanggungjawab yang besar bahwa seorang Khalifah adalah perisai yang melindungi seluruh rakyatnya. Di masa bani Abassiyah, kebijakan Khalifah terhadap pelayanan kesehatan telah meliputi seluruh wilayah Islam, hingga ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Di era itu, sudah ada rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Khilafah Islam saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi. Bahkan Khalifah dan penguasa kaum Muslim di masa lalu tak segan-segan menginfakkan sebagian besar harta dan pendapatan mereka untuk membiayai rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya. Mereka tak hanya mengandalkan anggaran negara, namun mereka juga ingin mendapatkan pahala yang terus mengalir dengan mewakafkan hartanya untuk kemaslahatan ummat.
Wallahu ‘allam bisshawaab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here