Opini

Tarik Ulur Kebijakan, Nasib Rakyat Dipertaruhkan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Neti Ernawati (Aktivis Dakwah)

Wacana-edukasi.com, OPINI– PPN 12% yang awalnya dinarasikan tidak bisa ditangguhkan lantaran untuk menyokong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ternyata bagaikan gertakan semata. Rakyat yang ternyata masih memiliki kepercayaan sepenuhnya pada penguasa, berhasil dibuat resah oleh rencana penerapan kebijakan tersebut.

Bagaimana tidak, setelah cukup mantap dibahas berulang kali di berbagai platform media, bahkan aksi masyarakat yang meminta penangguhan kenaikan PPN seolah tidak didengarkan, pada akhirnya kenaikan PPN 12% dinyatakan batal sehari sebelum pelaksanaannya. Ibarat pesta pernikahan, panggung, dekorasi hingga katering sudah disiapkan, tiba-tiba sehari sebelum hari H diumumkan pembatalan. Pastinya, banyak pihak menjadi dirugikan.

Pemerintah menyampaikan bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah. Namun, tidak demikian dengan fakta yang terjadi di lapangan. Sejumlah barang dan jasa yang tidak tergolong mewah tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen (kompas.id, 03/01/25). Sebagian besar pengusaha maupun ritel telah mempersiapkan perhitungan transaksi yang disesuaikan PPN baru. Harga-harga sudah terlanjur naik menyesuaikan PPN 12%.

Bahkan per tanggal 1 Januari 2025 telah ada sejumlah transaksi yang dikenai PPN 12% pada hampir semua barang termasuk air mineral. Sayangnya perubahan harga tidak dapat serta-merta dilakukan. Ini terkait ketidakjelasan sejak awal mengenai imbauan pemberlakuan kenaikan PPN sehingga penjual memasukan PPN 12% pada semua jenis barang.

Sebagai bentuk klarifikasi mengenai kebutuhan mendesak terhadap pungutan pajak, baru-baru ini Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati membeberkan alokasi uang negara dari mulai hutang-hutang negara hingga uang yang dipungut dari masyarakat. Sri Mulyani mengatakan dana yang dipakai untuk sektor pendidikan dalam negeri, mencapai hingga 20% dari (APBN) khususnya sepanjang tahun 2024. Realisasi anggaran pendidikan tersebut telah mencapai Rp 519,8 triliun hingga 24 Desember 2024 lalu. Hal itu dilakukan sebagai upaya pemerintah agar tidak ada anak-anak Indonesia yang tertinggal (cnbcindonesia.com, 04/01/25)

Negara nampak berusaha untuk cuci tangan dan tak mau disalahkan dalam persoalan pungutan pajak serta segala carut-marutnya. Di satu sisi, negara seolah menunjukkan bahwa pajak yang dipungut dari rakyat selama ini diperuntukkan bagi keperluan rakyat. Negara menjadi pihak yang bekerja keras mengalokasikan dana pajak tersebut secara maksimal demi kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat makin dapat dicapai jika pemasukan pajak semakin besar.
Padahal disisi lain, rakyat sudah sangat menderita dengan tuntutan pajak yang tinggi. Belum lagi keresahan yang timbul akibat kebijakan pajak yang berubah-ubah.

Sesungguhnya, inilah dampak dari kepemimpinan populis otoriter. Kepemimpinan yang seolah-olah bekerja untuk rakyat namun sebenarnya memaksakan kebijakan dengan sewenang-wenang. Negara membuat narasi seolah negara perduli pada rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Berbagai pungutan pajak dan hutang negara diklaim untuk meringankan hidup rakyat, melalui berbagai program bantuan baik di bidang pendidikan, ketahanan pangan, kesehatan, dan yang lainnya. Negara hanya berperan sebagai regulator saja dengan menghimpun dana pajak dari rakyat dan menyalurkannya kepada rakyat lagi. Mirisnya, dengan kebijakan PPN, semua rakyat terkena pembebanan, baik rakyat miskin atau pun kaya.

Naik atau tidaknya PPN, kesejahteraan hidup rakyat tidak akan mampu tercapai jika pemerintahan tetap berjalan dengan sistem kapitalis. Sistem dimana pajak justru dijadikan sumber pemasukan yang utama untuk negara. Sistem yang menggunakan mekanisme pungutan pajak pada rakyat sebagai penggerak roda kehidupan bangsa adalah sistem yang batil, karena menyengsarakan rakyat.

Sistem kapitalisme mengambil tata aturan yang berasal dari pemikiran manusia yang lemah. Sekularisme atau pemikiran manusia yang memisahkan agama dari kehidupan tidak mampu memberikan kontrol diri. Kelemahan tata aturan dan kelemahan personal ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, permasalahan yang batil, ketidakadilan, bahkan kedzaliman.

Islam Mensejahterakan Rakyat Tanpa Pajak

Islam mewajibkan penguasa sebagai raa’in yang mengurus rakyat sesuai dengan aturan Islam, dan tidak menimbulkan rasa abai pada rakyat dan kebutuhannya. Sistem Islam tidak akan membuat rakyat menderita, karena Islam memprioritaskan pemenuhan kebutuhan rakyat. Melalui pengelolaan kekayaan milik umum dan kekayaan negara, negara dengan sistem Islam akan mampu membiayai semua kebutuhan rakyat tanpa perlu memungut pajak. Karena pajak hanya akan dipungut pada saat kondisi tertentu saja.

Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam saja. Allah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah. Syech Taqiyuddin an Nabhani, dalam bukunya syakhsyiyah al Islamiyah juz 2 halaman 158, menerangkan tanggung jawab pemimpin haruslah berkepribadian islam, agar mampu mengambil keputusan layaknya pemimpin, kemudian, pemimpin haruslah bertakwa, dengan ketaqwaan , seorang pemimpin akan mampu mengontrol dirinya untuk tidak berbuat dzolim, seorang pemimpin juga harus memiliki sifat welas asih dan tidak anti pati terhadap kondisi rakyatnya.

Kesejahteraan rakyat tanpa pungutan pajak akan mampu terwujud dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Karena hanya Islam lah agama sempurna yang memiliki solusi atas segala permasalahan kehidupan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here