Opini

Tebang Pilih Hukum dalam Kasus Karhutla, Islam Kaffah Solusinya

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Umi Kalsum

wacana-edukasi.com, OPINI– Peristiwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali terjadi. Fenomena tahunan ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Ada yang mengatakan bahwa penyebab karhutla adalah karena faktor alam, namun kenyataannya itu bukanlah faktor utama. Penyebab dominan karhutla adalah akibat ulah tangan-tangan manusia yang dengan kesengajaan melakukan pembakaran. Hal ini bisa dilakukan oleh individu atau sebuah perusahaan.

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Dandi, seorang remaja berusia 19 tahun, warga Ogan Komering Ilir (OKI). Dandi melakukan pembakaran lahan bersama temannya Agus (yang masih buron) di tanah milik kakek Dandi seluas 5 hektar untuk dijadikan persawahan. Akibat perbuatannya, Dandi harus menerima putusan Pengadilan Negeri Kayuagung, kabupaten OKI. Dia divonis bersalah karena terkategori melakukan pelanggaran tindak pidana pasal 108 juncto pasal 69 ayat (1) huruf H UU RI nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tanpa menunggu waktu lama, sanksi hukum bagi Dandi pun ditetapkan. Jaksa penuntut umum membacakan tuntutan bagi Dandi yaitu hukuman penjara selama 3 tahun dan denda Rp 5 miliar. (Tribunsumsel.com, 06/10/23)

Di sisi lain, Polda Sumatera Selatan (Sumsel) sedang menyelidiki enam perusahaan yang diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), yaitu PT RAJ, PT TS, PT MBJ, PT BKI, PT SA, dan PT WAJ. Keenamnya berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Musi Banyuasin (medcom.id, 08/10/23).

Pihak Polda Sumsel yang diwakili oleh AKBP Tito Dani mengatakan bahwa mereka masih melakukan koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengetahui data real jumlah kawasan yang terbakar. Dengan kata lain, enam perusahaan tersebut sama sekali tidak diberikan sanksi tegas oleh pihak berwenang. Padahal, mereka telah nyata-nyata membakar hutan dengan cakupan wilayah yang luas dan menimbulkan polusi udara.

Dari dua realita diatas, nampak jelas bahwa hukum di negeri ini berat sebelah. Ibarat pepatah mengatakan “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Ungkapan ini menggambarkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang bisa dipermainkan sesuai dengan kepentingan.
Bahkan proses hukum pun bisa dimanipulasi sebagaimana yang sering kita saksikan.

Jika rakyat biasa yang melakukan perbuatan kriminal, maka proses hukum begitu sigap dan cepat. Tapi jika pelaku kriminal adalah sebuah perusahaan, maka banyak cara untuk memperlambat proses hukum ditetapkan.

Atas nama konsesi, negara memberikan izin bagi perusahaan untuk mengkapitalisasi dan mengeksploitasi hutan maupun lahan. Hal itu terjadi sejak disahkannya UU nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan. Dari sinilah cikal bakal adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha (konglomerat) yang menentukan izin pengelolaan hutan.

Pada awalnya, UU ini dibuat untuk mendongkrak roda perekonomian Indonesia melalui sektor kehutanan beserta hasil hutan. Namun ujung-ujungnya menjadi lahan basah bagi para korporasi untuk mengkapitalisasi hutan sebebas-bebasnya. Inilah konsekuensi dari pemberian konsesi penguasaan hutan kepada para kapital.

Puluhan tahun berlalu sejak UU ini diterbitkan, ekploitasi besar-besaran dan serampangan terus dilakukan oleh banyak perusahaan. Salah satunya ketika membuka lahan baru, dengan prinsip menghemat biaya alias modal yang sekecil-kecilnya, para korporat melakukan pembakaran hutan. Mereka tak memedulikan dampak ekologis dan sosial yang berimbas pada kehidupan manusia. Perlahan namun pasti, kerusakan lingkungan dan kepulan asap tak bisa dihindari.

Pasca reformasi 1998, luasan hutan semakin berkurang. Ibaratnya, setiap 6 detik sekali terjadi pengurangan luasan hutan sebesar lapangan sepak bola. Artinya dalam waktu 1 menit, luasan hutan berkurang sebesar 10 kali lapangan sepak bola.

Menurut Center for Internasional Forestry Research (CIFOR), hal ini diakibatkan oleh kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1982, 1987, 1991, 1992, dan 1994. Berdasarkan catatan Bank Dunia, kerugian akibat kebakaran per tahun adalah sebesar 72 triliun rupiah. Itu belum termasuk kerugian lingkungan, hidrologi, air, dan kesehatan.

Inilah cara pandang sistem sekuler kapitalisme liberal yang membolehkan penyerahan pengelolaan hutan dan lahan kepada perusahaan-perusahaan pemilik konsesi. Sekalipun pemerintah telah membuat berbagai regulasi, namun itu hanya sekedar formalitas belaka tanpa aksi nyata di lapangan.

Penegakan hukum bagi perusahaan yang melakukan karhutla nampak tumpul dan lemah. Seandainya terkena hukuman pun, perusahaan hanya didenda karena melakukan kerusakan. Izin konsensi tetap diberikan dan tidak dicabut. Pada akhirnya, karhutla akan kembali terjadi seolah negara membiarkan begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa.

Terlebih lagi atmosfer politik demokrasi membuat penguasa dan pengusaha saling kebergantungan. Jika ada yang berani ‘menyentuh’ dan menyeret perusahaan ke meja hijau, maka dukungan dana untuk biaya politik calon kontestan akan dihentikan.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam perspektif Islam, hutan adalah sumber daya alam milik umum dan negara lah yang harus mengelolanya, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebuah kemaksiatan besar jika negara menyerahkan pengelolaan hutan kepada individu maupun pihak swasta. Hal ini akan menimbulkan kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan cara-cara yang merusak lingkungan, seperti membakar hutan untuk membuka lahan, menebang pohon secara sembarangan, membabat hutan secara liar, dan lain sebagainya.

Kemajuan IPTEK di bidang kehutanan akan dikembangkan oleh negara, dimana pengelolaan hutan dan lahan bisa berjalan dengan optimal. Hal ini dilakukan agar pembukaan lahan baru tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.

Bagaimana jika individu rakyat ingin memiliki sebidang tanah? Jawabannya adalah boleh, selama dibenarkan oleh syariat Islam. Misalnya, pemilik lahan harus mengelolanya secara produktif dan tidak boleh menelantarkan tanah selama tiga tahun. Apabila penelantaran ini terjadi, tanah tersebut menjadi tanah mati, maka negara akan mengambil tanah yang ditelantarkan tersebut untuk diberikan kepada orang yang mau menggarap dan menghidupkannya.

Terkait penerapan hukum, negara Islam akan memberikan sanksi tegas yang berefek jera kepada siapapun yang telah melakukan kerusakan lingkungan dan ekosistem. Tentu saja ini bisa diwujudkan apabila asas bernegara saat ini diganti dengan asas Islam yang mengutamakan ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Sehingga sumber daya alam yang dikaruniakan kepada negeri ini, bisa membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bisshowab.Tebang Pilih Hukum Dalam Kasus Karhutla, Islam Kaffah Solusinya

Oleh: Umi Kalsum

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali terjadi. Fenomena tahunan ini menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Ada yang mengatakan bahwa penyebab karhutla adalah karena faktor alam, namun kenyataannya itu bukanlah faktor utama. Penyebab dominan karhutla adalah akibat ulah tangan-tangan manusia yang dengan kesengajaan melakukan pembakaran. Hal ini bisa dilakukan oleh individu atau sebuah perusahaan.

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Dandi, seorang remaja berusia 19 tahun, warga Ogan Komering Ilir (OKI). Dandi melakukan pembakaran lahan bersama temannya Agus (yang masih buron) di tanah milik kakek Dandi seluas 5 hektar untuk dijadikan persawahan. Akibat perbuatannya, Dandi harus menerima putusan Pengadilan Negeri Kayuagung, kabupaten OKI. Dia divonis bersalah karena terkategori melakukan pelanggaran tindak pidana pasal 108 juncto pasal 69 ayat (1) huruf H UU RI nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tanpa menunggu waktu lama, sanksi hukum bagi Dandi pun ditetapkan. Jaksa penuntut umum membacakan tuntutan bagi Dandi yaitu hukuman penjara selama 3 tahun dan denda Rp 5 miliar. (Tribunsumsel.com, 06/10/23)

Di sisi lain, Polda Sumatera Selatan (Sumsel) sedang menyelidiki enam perusahaan yang diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), yaitu PT RAJ, PT TS, PT MBJ, PT BKI, PT SA, dan PT WAJ. Keenamnya berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Musi Banyuasin (medcom.id, 08/10/23).

Pihak Polda Sumsel yang diwakili oleh AKBP Tito Dani mengatakan bahwa mereka masih melakukan koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengetahui data real jumlah kawasan yang terbakar. Dengan kata lain, enam perusahaan tersebut sama sekali tidak diberikan sanksi tegas oleh pihak berwenang. Padahal, mereka telah nyata-nyata membakar hutan dengan cakupan wilayah yang luas dan menimbulkan polusi udara.

Dari dua realita diatas, nampak jelas bahwa hukum di negeri ini berat sebelah. Ibarat pepatah mengatakan “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Ungkapan ini menggambarkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang bisa dipermainkan sesuai dengan kepentingan.
Bahkan proses hukum pun bisa dimanipulasi sebagaimana yang sering kita saksikan.

Jika rakyat biasa yang melakukan perbuatan kriminal, maka proses hukum begitu sigap dan cepat. Tapi jika pelaku kriminal adalah sebuah perusahaan, maka banyak cara untuk memperlambat proses hukum ditetapkan.

Atas nama konsesi, negara memberikan izin bagi perusahaan untuk mengkapitalisasi dan mengeksploitasi hutan maupun lahan. Hal itu terjadi sejak disahkannya UU nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan. Dari sinilah cikal bakal adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha (konglomerat) yang menentukan izin pengelolaan hutan.

Pada awalnya, UU ini dibuat untuk mendongkrak roda perekonomian Indonesia melalui sektor kehutanan beserta hasil hutan. Namun ujung-ujungnya menjadi lahan basah bagi para korporasi untuk mengkapitalisasi hutan sebebas-bebasnya. Inilah konsekuensi dari pemberian konsesi penguasaan hutan kepada para kapital.

Puluhan tahun berlalu sejak UU ini diterbitkan, ekploitasi besar-besaran dan serampangan terus dilakukan oleh banyak perusahaan. Salah satunya ketika membuka lahan baru, dengan prinsip menghemat biaya alias modal yang sekecil-kecilnya, para korporat melakukan pembakaran hutan. Mereka tak memedulikan dampak ekologis dan sosial yang berimbas pada kehidupan manusia. Perlahan namun pasti, kerusakan lingkungan dan kepulan asap tak bisa dihindari.

Pasca reformasi 1998, luasan hutan semakin berkurang. Ibaratnya, setiap 6 detik sekali terjadi pengurangan luasan hutan sebesar lapangan sepak bola. Artinya dalam waktu 1 menit, luasan hutan berkurang sebesar 10 kali lapangan sepak bola.

Menurut Center for Internasional Forestry Research (CIFOR), hal ini diakibatkan oleh kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1982, 1987, 1991, 1992, dan 1994. Berdasarkan catatan Bank Dunia, kerugian akibat kebakaran per tahun adalah sebesar 72 triliun rupiah. Itu belum termasuk kerugian lingkungan, hidrologi, air, dan kesehatan.

Inilah cara pandang sistem sekuler kapitalisme liberal yang membolehkan penyerahan pengelolaan hutan dan lahan kepada perusahaan-perusahaan pemilik konsesi. Sekalipun pemerintah telah membuat berbagai regulasi, namun itu hanya sekedar formalitas belaka tanpa aksi nyata di lapangan.

Penegakan hukum bagi perusahaan yang melakukan karhutla nampak tumpul dan lemah. Seandainya terkena hukuman pun, perusahaan hanya didenda karena melakukan kerusakan. Izin konsensi tetap diberikan dan tidak dicabut. Pada akhirnya, karhutla akan kembali terjadi seolah negara membiarkan begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa.

Terlebih lagi atmosfer politik demokrasi membuat penguasa dan pengusaha saling kebergantungan. Jika ada yang berani ‘menyentuh’ dan menyeret perusahaan ke meja hijau, maka dukungan dana untuk biaya politik calon kontestan akan dihentikan.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam perspektif Islam, hutan adalah sumber daya alam milik umum dan negara lah yang harus mengelolanya, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebuah kemaksiatan besar jika negara menyerahkan pengelolaan hutan kepada individu maupun pihak swasta. Hal ini akan menimbulkan kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan cara-cara yang merusak lingkungan, seperti membakar hutan untuk membuka lahan, menebang pohon secara sembarangan, membabat hutan secara liar, dan lain sebagainya.

Kemajuan IPTEK di bidang kehutanan akan dikembangkan oleh negara, dimana pengelolaan hutan dan lahan bisa berjalan dengan optimal. Hal ini dilakukan agar pembukaan lahan baru tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.

Bagaimana jika individu rakyat ingin memiliki sebidang tanah? Jawabannya adalah boleh, selama dibenarkan oleh syariat Islam. Misalnya, pemilik lahan harus mengelolanya secara produktif dan tidak boleh menelantarkan tanah selama tiga tahun. Apabila penelantaran ini terjadi, tanah tersebut menjadi tanah mati, maka negara akan mengambil tanah yang ditelantarkan tersebut untuk diberikan kepada orang yang mau menggarap dan menghidupkannya.

Terkait penerapan hukum, negara Islam akan memberikan sanksi tegas yang berefek jera kepada siapapun yang telah melakukan kerusakan lingkungan dan ekosistem. Tentu saja ini bisa diwujudkan apabila asas bernegara saat ini diganti dengan asas Islam yang mengutamakan ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Sehingga sumber daya alam yang dikaruniakan kepada negeri ini, bisa membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bisshowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here