Opini

Tebar Pesona Politisi dalam Situasi Pandemi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Siti Alfina, S. Pd.

(Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com — Keseruan tersendiri dapat dirasakan ketika jalan-jalan sore keliling kota melihat aneka pemandangan yang ada. Tentu dengan kebisingan jalan raya yang tak dapat dielakkan. Menarik sekali ditambah dengan banyaknya pedagang yang berjualan di sepanjang jalan. Terlebih jika banyak pedagang menjual buah-buahan tertentu yang pertanda musim buah tersebut sudah tiba. Namun, beda hal nya sepanjang jalan yang dilihat baliho para elite politikus, itu juga menandakan musim kampanye mungkin akan segera tiba.

Beberapa minggu terakhir ini ramai menjadi perbincangan para pengamat politik pada khususnya dan masyarakat secara umumnya. Ada satu gambar menarik yang meramaikan media sosial, seorang pemuda berfoto di bawah baliho berukuran besar milik seorang politikus partai dengan membawa spanduk kecil-kecilan yang isinya ‘pandemi belum usai, 2024 sudah dimulai’.

Ternyata benar, di berbagai daerah Indonesia sudah marak dengan adanya pemasangan baliho para politikus negeri ini. Mulai dari Ketua DPR RI Puan Maharani, Ketum Golkar Airlangga Hartanto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, serta Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dilansir dari detiknews, (5/8/2021). Langkah ini dinilai curi start para kandidat dalam perang mengikuti kontestasi pemilihan presiden (Pilpres 2024) tiga tahun mendatang. Lantas apakah efektif pemasangan baliho terlalu dini ini?

Strategi Politik Menuai Kritik

Dewasa ini, baliho memang masih menjadi andalam untuk digunakan dalam media periklanan. Sebagai media promosi yang familiar, beberapa kalangan bisa menggunakannya. Baik orang perorangan, perusahaan ataupun instansi-instansi. Tentu saja dengan beberapa kepentingan dari penggunanya.

Pemasangan baliho para politisi ini alih-alih ingin mendapatkan apresiasi dan simpati masyarakat justru mendapat cibiran dan sindiran. Wajar saja mendapatkan makian, karena melukai hati rakyat dengan mempertanyakan kemana hati nurani mereka yang tidak peka dan empati terhadap penderitaan rakyat. Apalagi negeri ini masih berjibaku menghadapi pandemi yang belum tuntas, aspek kehidupan semakin amblas, rakyat terhambat melakukan aktivitas, serta segala bentuk kebijakan yang semakin bablas.

Pro kontra bermunculan menambah keriuhan perbincangan yang memang layak untuk dikuliti pengamat politik dan masyarakat kebanyakan. Pihak pro dimulai dari Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang mengakui pemasangan baliho Puan Maharani di kota yang ia pimpinan memang atas instruksi dari PDIP sebagai partai yang mengusungnya pada Pilkada Kota Solo tahun 2020 lalu. (cnnindonesia.com, 5/8/2021)

Hal serupa juga dikomentari seorang pengamat politik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Cahyo Seftyono. Ia mengatakan strategi politik dengan memakai baliho sebagai metode kampanye sah-sah saja dilakukan, tapi harus tepat. Jika didesain lebih edukatif dan inovatif akan jadi elegan dan menarik perhatian, tapi jika tidak tepat justru akan memunculkan antipati kepada tokoh tersebut. Ini merupakan dukungan secara tak langsung yang diutarakannya. (Kompas.com, 14/8/2021)

Dari beberapa yang pro, tak sedikit juga yang kontra dan geram. Mulai dari ustadz gaul Babe Haikal yang menilai pemasangan baliho kandidat ini sangat tidak etis dilakukan sekarang saat wabah masih menjadi-jadi hanya untuk mencari popularitas. Ditambah dana yang fantastis untuk satu baliho yang mencapai harga 2 miliar rupiah. Sarannya dana sebesar ini bisa dialihkan dengan membuka lapangan pekerjaan, membagikan gerobak gratis untuk masyarakat ataupun membeli vitamin untuk orang yang terpapar covid ujarnya. Sama halnya dengan pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Ujang Komarudin mengatakan pemasangan baliho itu sangat tidak tepat dari segi timing karena hanya untuk kepentingan menaikkan popularitas dan elektabilitas kandidat (Tribunnews.com, 12/8/2021).

Selain itu, dari Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno juga ikut nimbrung, ia menilai adanya baliho bertebaran di jalanan menjadi paradoks ‘benda mati’ yang tak memahami kondisi rakyat di tengah pandemi, ujarnya. (Pikiran rakyat.com, 10/8/2021)

Bahkan sindiran pedas muncul dari seorang senior dan pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), Abdillah Toha. Melalui cuitannya di akun twitter pribadinya, beliau berujar kepada calon kandidat “apa tidak malu dan risih memajang gambar diri sendiri besar-besar diseluruh Indonesia bersaing untuk Pilpres yang masih 3 tahun lagi” dilansir dari Republika.co.id, (7/8/2021).

Sebagai bagian dari masyarakat kita juga berhak memiliki penilaian tersendiri terhadap fenomena politik seperti ini. Memberikan gambaran nyata sifat dan karakter pemimpin masa depan yang diharapkan. Apakah urgensitas menaikkan popularitas lebih penting ketimbang menghentikan penularan covid yang semakin mengganas? Apakah tebar pesona lebih baik dibandingkan membiarkan rakyat meregang nyawa? Bisa dibayangkan kualitas pemimpin seperti apa yang terbentuk dari cetakan begitu.

Ambisi Politisi Meraih Kursi

Model kampanye yang terlalu dini ini dinilai sebagai strategi politik partai yang terlalu licik. Politisi yang menawarkan diri menjadi pemimpin adalah sosok yang tak punya kepekaan terhadap kondisi rakyat dan hanya bertarung demi mendapatkan kursi. Seharusnya tunjukkan bukti dan sosialisasi supaya rakyat bisa diurusi. Berharap suara rakyat namun setelah berkuasa rakyat ditinggalkan melarat. Sanggup menghabiskan dana miliaran supaya dikenal tapi enggan membantu rakyat yang hidupnya hampir terjungkal. Mereka masih sempat memikirkan eksistensi diri di masa depan, sementara rakyat saja masih kewalahan memikirkan hari ini apakah bisa makan. Mereka sibuk bercita-cita memenuhi _
baqa’ ingin berkuasa, sedangkan rakyat lumpuh seperti digigit ular berbisa.

Benar saja apa yang pernah dituliskan oleh Ustadz Dwi Condro dalam buku karyanya yang berjudul “Ilmu Retorika Untuk Mengguncang Dunia (2014)”. Beliau mengatakan apabila seorang penguasa telah mendapatkan kekuasaan, maka penguasa tersebut akan terjebak dalam ‘lima rutinitas tahunan’, yaitu Tahun pertama, berupaya untuk mengembalikan modal kampanye; Tahun kedua, berupaya untuk menambah modal baru; Tahun ketiga, mempersiapkan program kampanye; Tahun keempat, menjalankan kampanye; serta Tahun kelima, akan terpilih kembali. Kemudian muncul pertanyaan retoris, “kapan waktu untuk mengurusi rakyatnya? Ungkapnya”.

Ketidakpekaan politisi maupun terhadap penderitaan rakyat sudah seringkali dipertontonkan belakangan ini. Sewaktu diberlakukannya PPKM darurat Jawa-Bali pada waktu lalu, seorang Menteri pernah berkomentar saat PPKM ini beliau dapat menonton sinetron di televisi. Bahkan ada juga penguasa yang sempat-sempatnya bersiar ke luar negeri. Jelas saja adanya kejadian terbaru ini semakin menambah kegeraman rakyat terhadap penguasa.

Semestinya kejadian ini menjadi cambuk dan alarm pengingat bagi rakyat untuk sadar akan keburukan kebobrokan sistem demokrasi yang masih dipuja, padahal hasilnya hanya penguasa bermental rendah haus kuasa.

Pemimpin Islam Tidak Haus Jabatan

Dalam sistem demokrasi kekuasaan adalah sesuatu yang diperebutkan. Orientasi penguasa apapun dapat diraih melalui kekuasaan. Kebaikan, kesenangan, kedudukan mudah diraih, sebaliknya keburukan, penderitaan dan pertanggung jawaban ketika telah berpisah akan dibawa di akhirat kelak. Intinya kekuasaan bukanlah tiket gratis tanpa penghisaban.

Hakikat kepemimpinan dalam Islam telah dijelaskan secara gamblang yang tercermin dalam sabda Rasulullah SAW : “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka”. (HR Abu Nu’aim).

Ini menunjukkan kekuasaan adalah amanah dalam jabatan, bukanlah tempat empuk untuk meraup keuntungan dan ketenaran. Dengan kata lain, jabatan adalah sesungguhnya beban.

Sekelas Umar bin Khattab saja menolak untuk menerima jabatan khalifah yang diusulkan Abu Bakar untuk mengganti dirinya yang sudah sakit-sakitan. Walaupun para Sahabat terkemuka setuju dengan usulan ini karena menganggap Umarlah figur yang pantas menjadi khalifah berikutnya, tapi tidak serta merta diterima dengan bahagia oleh Umar. Justru ia malah keras menentang dan menolak usulan tersebut dan menilai seolah mereka semua ingin menjerumuskan dirinya ke dalam neraka karena memberikan beban yang sangat berat pada dirinya. Bukankah mental pejabat seperti inilah patut kita dambakan?

Rasulullah SAW juga bersabda :
Tidaklah seorang penguasa yang mengurusi rakyat dari kaum Muslim lalu ia mati dalam keadaan menipu (ghasy) mereka kecuali Allah mengharamkan baginya surga“.(HR al-Bukhari dan Muslim)

Dari sini sangat jelas bahwa pertanggung jawaban jabatan nantinya akan terkait dua hal, yaitu untuk apa jabatan itu diemban dan bagimana jabatan itu didapat dan dilaksanakan. Jika dua hal ini dipenuhi sesuai dengan pelaksanaan syariah maka akan membawa keberkahan bagi pemimpin dan yang dipimpin. Tapi jika tak sesuai syariah jabatan itu justru akan membawa petaka di dunia dan akhirat.

Dalam keriuhan gejolak politik seperti ini, penting sekali untuk kita merenung dan menyadari agar tetap berada dalam arah yang benar dan tidak kehilangan kendali sebagaimana teladan yang dituntun oleh Nabi SAW dan para Sahabat yang wajib ditaati.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here