Oleh : Erdiya Indrarini (Pemerhati publik)
wacana-edukasi.com–Bagai petir yang menyambar. Berita penghapusan pegawai honorer membuat harapan menjadi ASN, buyar. Mencari pemenuhan kebutuhan hidup, nyatanya tak semudah tangan bertelangkup. Lalu, mampukah negara menyejahterakan rakyat pencari kerja ?
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo mengeluarkan surat bernomor B/185/M.SM.02.03/2022. Surat tentang penghapusan pegawai honorer itu diundangkan pada 31 Mei 2022, dan mulai berlaku sejak 28 November 2023. Dalam surat itu dinyatakan bahwa ASN (Aparatur Sipil Negara) yang diakui hanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Berkenaan dengan hal tersebut, untuk menjadi ASN para honorer harus mengikuti tes dengan memenuhi berbagai persyaratan. Bagi honorer yang tidak lulus CPNS atau PPPK, semua dialihkan ke perusahaan alih daya menjadi pekerja Outsourcing. (liputan6.com, 2/06/2022)
Apa dan Bagaimana Outsourcing ?
Perusahaan Alih Daya atau Outsourcing adalah badan usaha yang menjadi perantara antara pekerja dengan perusahaan. Ia bertugas menyediakan pekerja yang dibutuhkan oleh perusahaan selaku pihak ketiga. Pekerja Outsourcing yang siap untuk dipekerjakan akan terikat dengan perjanjian kerja antara pekerja (pihak pertama), perusahaan Outsourcing (pihak kedua), dan perusahaan tempat bekerja (pihak ketiga).
Perjanjian kerja ini berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Posisi pekerja dalam konsep outsourcing ini menjadi sesuatu yang menakutkan bagi honorer yang belum berhasil lulus CPNS atau PPPK. Hal ini karena terdapat banyak kerugian jika menjadi pekerja Outsourcing, di antaranya adalah :
Pertama, pekerja Outsourcing tidak akan memiliki jenjang karir yang jelas. Ke dua, pekerja Outsourcing tidak akan mendapat tunjangan seperti pekerja tetap di perusahaan pihak ketiga. Ke tiga, penghasilan yang didapat oleh pekerja Outsourcing akan dipotong terlebih dahulu oleh perusahaan Outsourcing. Ke empat, tidak ada kesejahteraan bagi pekerja Outsourcing. Ke lima, pekerja Outsourcing akan terikat perjanjian kerja dengan periode waktu yang tidak jelas. Ke enam, pekerja Outsourcing rentan mendapat pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sewaktu-waktu.
Dari ketentuan-ketentuan dalam outsourching, tergambar jelas betapa peraturan ini sangat menzalimi rakyat selaku pekerja. Semua peraturan yang ada, sangat berpihak pada perusahaan outsourching. Pekerja yang harus memenuhi kebutuhan keluarganya, hanya dianggap sebagai budak. Layaknya mesin bagi perusahaan. Sementara, negara sama sekali tidak peduli.
Perlakuan Pemerintah Terhadap Tenaga Honorer
Pada mulanya, rekrutmen tenaga honorer diberlakukan untuk mengurangi besarnya jumlah pengangguran. Di samping itu, pemerintah juga diuntungkan dengan mendapat tenaga yang mau dibayar degan gaji rendah. Dengan keuntungan yang didapat, pemerintah pun tak segan mengiming-imingi akan diangkat sebagai PNS/ASN. Namun, pada awal tahun ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo, justru menyatakan bahwa keberadaan pekerja honorer dianggap membebani anggaran negara.
Pernyataan menteri ini sangat melukai hati rakyat. Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Negara berlepas tangan terhadap nasib rakyatnya. Sementara, rakyat di bebani dengan berbagai tuntutan, seperti mahalnya biaya kesehatan, juga tingginya biaya pendidikan, dan sebagainya.
Pemerintah seolah justru memosisikan sebagai pedagang, sedangkan rakyat dianggap sebagai konsumen yang dipaksa untuk membeli semua barang dagangannya. Tidak lagi terlihat tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat yang wajib dilayani kebutuhan dasar hidupnya. Rakyat dipaksa bertarung sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lapangan kerja yang ada, malah justru dibuka lebar untuk tenaga asing.
Nasib Pekerja dalam Sistem Kapitalisme Demokrasi
Itulah kenyataan hidup dalam pemerintahan yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi. Sistem ini meniscayakan adanya paham sekularisme. Yaitu menjauhkan agama dari kehidupan, termasuk dalam bidang hukum, dan peraturan. Dalam sistem kapitalisme demokrasi ini, hukum dan undang-undang dibuat sendiri oleh manusia. Yaitu oleh para pejabat pemerintah yang mengatasnamakan wakil rakyat. Sehingga, pemerintah akan anti pati terhadap hukum maupun peraturan yang sudah ditetapkan Tuhan, Allah Swt. Alhasil, pejabat bebas membuat hukum, lalu terkadang menghapus atau mengganti. Bahkan hukum acap kali direvisi sesuka hati sesuai dengan kepentingan mereka sendiri
Padahal, manusia adalah makhluk. Ia punya kepentingan dan perasaan yang berubah-ubah. Tak pantas seorang makhluk membuat aturan atau hukum sendiri, karena hanya akan menimbulkan berbagai kerusakan. Manusia adalah ciptaan, dan keberadaan ciptaan, haruslah dijalankan sesuai aturan penciptanya, bukan membuat aturan hukum sendiri dalam menjalankan suruh kehidupannya.
Dengan demikian, tak heran jika pemerintahan dengan sistem kapitalisme demokrasi ini, gemar merubah aturan sesuai kepentingan mereka. Sebagaimana dalam bidang ketenagakerjaan. Tenaga honorer yang pada mulanya dianggap solusi dan menguntungkan negara, namun direvisi lagi karena sudah dinilai membebani negara. Pemerintah bersistem kapitalisme demokrasi memang selalu menunjukkan watak yang materialistik. Semua kebijakan berdasarkan untung dan rugi semata. Tidak bisa amanah dalam meriayah rakyatnya. Ketika rakyat tak lagi menguntungkan, mereka akan dicampakkan.
Tenaga Kerja Dalam Sistem Islam
Akan beda jika pemerintah menerapkan sistem Islam. Dalam sistem Islam, pemimpin akan dipilih yang terbaik, bukan yang terbanyak seperti dalam demokrasi. Pemimpin wajib bertakwa pada Tuhan, Allah Swt. juga syariatnya. Sehingga, ia akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban mengurus rakyatnya, agar hidup sejahtera dan selamat dunia akhirat. Ia pun akan takut jika tidak amanah dan membiarkan rakyatnya susah. Karena, semua akan dipertanggungjawabkan ke hadapan Tuhannya, Allah Swt. Sebagaimana dalam sebuah Hadits yang artinya :
Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Dalam menjalankan kewajiban mengurus rakyatnya ini, pemerintah akan menciptakan dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya juga memberikan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan baik muslim maupun non muslim. Hal ini agar setiap kepala keluarga memperoleh pekerjaan dan bisa memenuhi segala kebutuhan hidup keluarganya. Tak ada pengelompokan seperti kelompok honorer dan kelompok PNS dalam Islam. Karena, semua kepala keluarga akan diberikan pekerjaan dengan gaji yang memadai dan adil sesuai porsi.
Gaji pegawai dalam sistem Islam tidak diambil dari hasil pungutan pajak, ataupun dari utang luar negeri seperti yang terjadi selama ini. Namun dari Kas negara yang bernama Baitul mal. Baitul mal sendiri memiliki setidaknya 12 sumber pendapatan. Dengan banyaknya sumber itu, pemerintah tak akan kekurangan untuk sekadar menggaji seluruh tenaga kerja yang ada. Dari beberapa sumber itu, yang paling diandalkan adalah pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), baik yang ada di permukaan bumi dan lautan, maupun yang ada di dalamnya.
Sehubungan dengan itu, Islam mengharamkan SDA yang melimpah ruah seperti di Nusantara ini dikuasai oleh individu, swasta, apalagi oleh asing. Pun dilarang menyewakannya. SDA akan dikelola oleh negara dengan mengoptimalkan tenaga dan keahlian para generasi bangsa, hingga tak ada lagi pengangguran. Kemudian hasilnya, untuk memenuhi kebutuhan rakyat, baik kebutuhan ekonomi, kesehatan, pendidikan, juga keamanan. Semua akan didapat dengan mudah bahkan gratis.
Demikian itu adalah sebagian gambaran nasib para tenaga kerja jika negara menerapkan sistem Islam. Tidakkan kita ingin mewujudkannya?
Wallahua’lam bisshowab
Views: 13
Comment here