wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA–Belum kering air mata kita atas duka bencana gempa Cianjur disusul erupsi Gunung Semeru. Sudah sepatutnya negeri ini dalam keadaan berkabung yang mendalam. Ditengah duka beberapa waktu lalu penguasa negeri ini masih sempat-sempatnya menggelar “pesta relawan” di GBK.
Yang terbaru kini perhelatan akbar yakni pernikahan anak orang nomor satu di RI digelar bak royal wedding. Pernikahan yang digelar pun tidak tanggung-tanggung dihelat dengan meriah Sabtu, 10 Desember 2022 lalu. Tak hanya yang memiliki hajat namun 5 menteri turut andil dalam kesibukan mempersiapkan pernikahan putra Presiden tersebut. Diantaranya Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Investasi Bahlil Lahadiala (Tribunnews.com, 6/12/2022)
Tak menjadi soalan siapa pihak yang terlibat, namun yang meninggalkan kesan adalah bagaimana negara ini begitu all out dalam mempersiapkan pesta meski menggunakan fasilitas negara. Bagaimana pengamanan acara tersebut melibatkan banyak personil kepolisian termasuk didalamnya abdi negara yang justru focus untuk memberikan pelayanan dan pengamanan terbaik untuk yang punya hajat.
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) II/Marsdya TNI Andyawan Martono, bersama Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Widi Prasetijono dan Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi, menerjunkan sekitar 10.800 personel gabungan TNI-Polri yang tersebar di Kota Solo dan Yogyakarta, dalam pengamanan pernikahan putra bungsu Presiden Jokowi tersebut (Okezone.com, 10/12/2022).
Tidak ada yang salah dalam membuat hajatan merayakan pernikahan, namun yang menjadi sorotan adalah bagaimana kondisi negeri ini yang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Bencana alam yang beruntun, kondisi ekonomi yang ambruk, ancaman PHK massal, utang negara tembus 7000 T dan masih banyak persoalan negeri ini cukuplah menjadikan sadar bahwa persoalan bangsa bukan sekedar mengurusi “hajatan nasional” sebagaimana yang diperlihatkan 5 menteri diatas.
Dalam kehidupan kapitalistik hari ini soalan hidup hingga hajatan pejabat tidaklah bisa diselenggarakan dengan biasa-biasa saja tentu status social menjadikan alasan besar untuk menggelar pesta mewah. Sudah barang tentu persiapannya harus all out meski dengan menggunakan fasilitas kenegaraan.
Yang menjadi ironi adalah pemimpin yang katanya “merakyat” justru sedang senang-senangnya dalam berpesta hingga mengabaikan kondisi negeri ini. Adakah pemimpin yang sederhana dengan gaji pas-pasan dan rela hidup menderita karena rakyatnya juga merasakan yang serupa? Jawabannya sangat tidak mungkin sebab pejabat saat ini memang doyan flexing ditengah penderitaan rakyatnya. Menggunakan outfit harga ratusan juta padahal rakyatnya hidup dibawah garis kemiskinan. Sungguh ironi!
Salah satu penguasa sederhana dan amanah dapat kita lihat napak tilas sejarah peradaban Islam adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Meski masa kekuasaannya singkat, ia mengukir banyak prestasi sebagai kepala negara. Kehidupannya jauh dari kemewahan. Ketika ia diamanahi menjadi pemimpin hampir tidak ada satupun rakyatnya yang mau menerima zakat karena semua sudah hidup dalam kecukupan.
Juga, Khalifah Umar bin Khaththab. Saking sederhananya, konon pakaian yang dikenakannya memiliki empat belas tambalan, padahal beliau menjabat sebagai khalifah (pemimpin) kaum muslim. Yang saat itu bisa saja menggunakan jabatannya untuk mendapatkan privilege berupa pakaian, rumah tinggal hingga kendaraan. Namun Umar tidak memanfaatkannya. Sungguh pemimpin idaman, merakyat tanpa menyusahkan rakyatnya.
Hingga kisah yang menyentuh hati, suatu hari, sang anak khalifah, Abdullah bin Umar, menangis di hadapannya. Sang putra bercerita ia diejek teman-temannya lantaran bajunya penuh dengan tambalan. Ia pun meminta dibelikan baju baru kepada sang ayah.
Khalifah Umar pun bergegas ke Baitul Mal untuk meminjam dana agar membelikan baju baru untuk anaknya. Hingga Umar menerima surat dari pejabat kas negara yang ditujukan kepadanya yang berbunyi “Wahai Amirulmukminin, adakah akhir bulan nanti ada jaminan Anda masih hidup untuk melunasinya?” Sontak, pertanyaan tersebut membuat Khalifah menangis dan mengurungkan niatnya.
Masya Allah, sungguh gambaran pemimpin seperti Umar Bin Abdul Azis dan Umar bin Khaththab tidak akan kita dapati di era saat ini. Sebab pada masa Islam dahulu berjaya kepemimpinan adalah satu hal yang menakutkan bagi para pejabatnya karena ketakutan mereka dalam mempertanggung jawabkan amanahnya
Ketika mereka terpilih mereka benar-benar menjalankan dengan tanggung jawab dan dilandaskan pada dasar keimanan serta rasa takut (khauf) kepada Allah ta’ala manakala melalaikan diri dalam Amanah mengurusi rakyatnya. Wallahu ‘alam bishowab[]
Nurhayati, S.ST.
Views: 22
Comment here