Opini

Tersirat Toxic Concept di Madrasatul ‘Ula

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Putri Dwi Kasih Anggraini

wacana-edukasi.com– Momen hari ibu sudah tidak asing bagi warga Indonesia. Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 315 Tahun 1959 menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini. Misi awal peringatan hari Ibu ditujukan untuk mengenang semangat dan perjuangan perempuan Indonesia dalam meningkatkan kualitas bangsa. Lalu misi tersebut bergeser menjadi momen untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu maupun sosok wanita berjasa lainnya (liputan6.com, 13/12/21)

Sosok mulia yakni seorang ibu tak pernah usai dari sorotan semua pihak. Kemuliaan dan penghargaan ibu begitu tinggi bukan hanya karena ia telah melahirkan manusia ke dunia tetapi memiliki peran mulia sebagai Madrasatul Ula. Ungkapan syair yang terkenal

لاُمّ مدرسة الأُولى اذا اعددتها اعددت شعبا طيّبا
“Ibu adalah sekolah utama, jika engkau mempersiapkannya maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik”

Pada hari ibu bagi sebagian pihak dijadikan sebagai momen untuk menanamkan toxic concept yang mampu mencabut fitrah ibu. Arus toxic concept berupa kesetaraan gender masih tetap eksis terlebih semakin maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Bukan hanya itu, toxic concept lainnya yang tak kalah rusak adalah moderasi agama sebagai bagian dari program pemerintah yang termaktub dalam RPJMN 2020-2024.

Team Leader CONVEY Indonesia, Prof. Jamhari Ma’ruf mengungkapkan dalam sebuah webinar Zoom Meeting dan Live Streaming di CONVEY Indonesia, pada Jumat (08/01) bahwa peran keluarga dalam moderasi beragama yakni menjadi benteng yang luar biasa untuk mencegah adanya ide radikal. Kemudian, imam di rumah harus menjadi benteng utama dalam moderasi beragama (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id, 10/01/2021)

Toxic concept atau konsep beracun yang dimaksud adalah sebuah konsep yang membahayakan manusia jika dikonsumsi (diadopsi) baik dengan penuh kesadaran maupun tidak. Bahaya dari racun konsep bersifat samar, tak terlihat jelas kecuali bagi yang melihat dengan jeli, dapat berdampak pada rusaknya kehidupan di dunia maupun di akhirat bagi kaum muslimin.

Beberapa tahun belakangan ini, seluruh elemen masyarakat tengah digerakkan oleh pemerintah untuk menguatkan program moderasi beragama termasuk melibatkan peran perempuan. Mengingat kondisi perempuan dianggap tidak lagi hanya sebagai korban tetapi juga telah menjadi pelaku kekerasan sehingga perempuan khususnya kaum ibu diharapkan mampu menjadi aktor utama yang efektif untuk menyemai benih moderasi dalam keluarga sebagai pencegahan dari munculnya sikap intoleran dan ekstrimisme.

Sejalan dengan itu, kaum pro feminisme juga melakukan beberapa langkah dalam mendukung dan memfasilitasi perempuan untuk mewujudkan moderasi yang beririsan dengan konsep kesetaraan gendernya. Diantara langkah tersebut yakni:

Pertama, adalah melibatkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan salah satunya dalam pengambilan keputusan baik diranah domestik maupun publik.

Kedua, menyediakan ruang aman dan privat untuk perempuan. Misalnya di bus kota dan tempat umum lainnya atau dengan cara lain pelaku pelecehan dan kekerasan ditindak lebih lanjut agar menimbulkan efek jera.

Ketiga, menyediakan kuota yang sama dengan laki-laki ketika melibatkan perempuan dalam berbagai bidang. Misalnya kuota polisi perempuan, prajurit perempuan, dan akses perempuan di pemerintahan serta bidang pelayanan publik lainnya (Mubadalah.id, 05/07/21)

Hubungan erat antara konsep racun moderasi dengan kesetaraan gender ibarat saudara kandung yang lahir dari rahim ibu yang satu yakni sekulerisme. Konsep racun moderasi dipandang sebagai solusi dalam mendapatkan hak-hak perempuan sekaligus upaya menghadang Islam ‘radikal’ dengan syariahnya yang dianggap kaku dan intoleran serta mengekang kebebasan perempuan dalam ruang domestik maupun publik.

Walhasil, kedua konsep racun tersebut jika diadopsi oleh ibu kaum muslimin akan menggeser peran mulianya sebagai madrasatul ula, menciptakan generasi dan keluarga moderat, serta melanggengkan peradaban sekulerisme yang menjadi biang kerusakan di seluruh lini kehidupan manusia. Belum lagi dalam kehidupan akhirat, akan dihadapi beratnya pertanggungjawaban atas setiap perbuatan hidup yang tidak sesuai dengan petunjuk berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah.

Oleh karena itu, dibalik serangan konsep beracun tersebut, maka seorang ibu pencetak generasi mewajibkan dirinya untuk memiliki pondasi yang kokoh berupa aqidah dan tsaqofah Islam. Dengan bekal utama tersebut ia akan mampu membentengi dirinya, anak-anaknya, keluarganya, dan umat dari berbagai macam pemikiran yang rusak dan merusak.
Dari visi mulia bersandar pada aqidah, adanya tsaqofah Islam, keteladanan serta seluruh perhatian dalam bentuk kasih sayang, curahan waktu dan tenaga dari ibu mampu menjadikan anak-anaknya memiliki kepribadian mulia (sholih) dan bermanfaat bagi umat serta agama.

Hanya saja, adanya sistem yang buruk tentu tidak mudah bagi ibu untuk menjadi ibu yang ideal dalam menjalankan kewajibannya. Maka dibutuhkan pula bagi seluruh kaum muslimin termasuk ibu untuk bersama-sama melakukan perubahan revolusioner. Menghapus segala konsep racun akibat penerapan sistem hidup yang berasas sekulerisme dengan menerapkan konsep mulia yakni Islam semata dalam naungan Negara khilafah.

Wallahu’alam bi ash shawwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 31

Comment here