Opini

THR, Citra Filantropi Neokapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd (Pemerhati Sosial)

wacana-edukasi.com– Menteri ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2022 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Dalam edaran itu, Ida meminta para Gubernur di seluruh Indonesia ikut menyampaikan kepada pihak terkait dan mengawalnya. (Tempo, 12/04/2022)

Pemerintah juga akan memberi sanksi bagi pengusaha yang tidak melaksanakannya. Sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara, sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha. (Tirto, 03/04/2022)

Kebijakan ini tentu saja menjadi angin segar bagi pekerja/buruh apatah lagi ditengah-tengah kenaikan harga pangan hingga pajak yang bertambah sehingga barang-barang non pangan harganya juga naik. Sebagaimana beberapa tuntutan mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran pada 11 April meskipun dibulan Ramadan.

Selain itu, masyarakat masih sangsi. Apakah pemerintah akan benar-benar menindak tegas perusahaan yang bergeming untuk menunaikan THR Keagamaan secara penuh. Sebab disetiap tahun pemenuhan THR selalu menjadi polemik yang sulit diselesaikan pemerintah.

Kondisi kesangsian masyarakat ini bukanlah hal yang tak beralasan. Sebab gaya kebijakan pemerintah lebih pro kepada pengusaha. Kita semua menyaksikan bagaimana UU Omnibus Law Cipta Kerja yang banyak menuai kontra dari para pekerja/buruh, pemerintah justru mengesahkannya. Serta, baru-baru ini terjadi penurunan pajak (Pph) badan/perusahaan dari 25 persen menjadi 22 persen.

Carut-marut negeri ini yang tak berujung perlu untuk dimuhasabahi dengan serius oleh pemerintah. Apatah lagi pasca pandemi yang melanda menambah rapuhnya kesejahteraan negeri ini. Lebih khusus indikator kesejahteraan dari segi ketenagakerjaan masih belum tercapai.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (2019-2021), tingkat pengangguran terbuka Indonesia pada tahun 2020 tercatat sebesar 7,07 persen. Artinya dari 100 penduduk angkatan kerja, terdapat 7 orang yang menganggur.

Selain itu, pengangguran terdidik masih mendominasi. Angkatan kerja lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi pada 2021 mencapai 8,91 persen, naik dibandingkan Februari 2020 yang tercatat 6,94 persen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa di Indonesia Angkatan kerja dengan pendidikan yang rendah lebih mudah terserap dalam pasar tenaga kerja. Kesulitan mendapat pekerjaan bagi Angkatan kerja terdidik ditengarai lapangan kerja yang sedikit dan kecenderungan harapan memiliki upah yang lebih tinggi dibandingkan pencari kerja berpendidikan rendah.

Adapun dari segi upah buruh/pekerja juga menurun dan masih ada polarisasi. Upah buruh/pekerja meningkat seiring dengan tingkat pendidikan bukan dengan skillnya. Adapun penurunan upah yang paling siginifkan pada sektor pertambangan mengalami penurunan sebesar 22,12 persen dan 10,30 persen dibanding Februari 2020. Tak jarang juga perusahaan penambangan yang merumahkan pekerjanya hingga berujung PHK.

Disisi lain, pekerja anak meningkat. Menurut Sakernas Agustus 2020, anak yang bekerja di Indonesia mengalami kenaikan dari 6,32 persen pada Agustus 2019 menjadi 9,34 persen. Artinya, 9 dari 100 anak Indonesia bekerja. Sedangkan pada Februari 2021 mencapai 10,22 persen anak yang bekerja di Indonesia, naik 2,92 persen.

Anak laki-laki yang bekerja lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Pada Februari 2021, hampir 11 dari 100 anak laki-laki telah bekerja. Sedangkan pada periode yang sama, anak perempuan yang bekerja sebesar 9,66 persen.

Kondisi extraordinary krisis dunia kerja telah vis a vis pada pemerintah. Pemerintah seharusnya menyibukkan diri untuk menkodusifkan kesejahteraan pekerja bukan secara parsial saja. Dalam hal kesejahteraan ketenagakerjaan, sangat disayangkan tatkala negeri yang penduduk terpadat di dunia ranking ke-4 sebesar 276,4 juta dimana sebesar 41 persen merupakan kalangan pemuda yang tentunya pasar menggiurkan dibandingkan dengan negara Asean lainnya ternyata malang nian SDMnya tidak diberdayakan padahal potensi ekonomi secara geografis setiap provinsi negeri ini memiliki kekayaan alam yang melimpah yang seharusnya lahannya diolah negara.

Dalam kenyataannya SDA negeri ini lebih banyak dikelola oleh pihak swasta asing yang menganut ekonomi kapitalistik. Tentu saja berdasarkan logika untung-rugi semata, yang juga memiliki potensi dengan akad yang batil dan uslub yang haram. Sehingga memunculkan permasalahan turunan lainnya. Seperti, upah yang diberikan tidak seimbang dengan kebutuhan pokok pekerja/buruh serta perampasan hak milik umum serta transaksi ribawi.

Salah satu potretnya di Sulawesi Tenggara, pada tahun 2022 UMP hanya naik lima belas ribu yang sebelumnya Rp 2.552.014 menjadi Rp 2. 710. 595. Padahal, harga pangan meningkat. Hal ini disebabkan biaya produksi yang meningkat imbas kenaikan dan kelangkaan BBM Pertalite dan hilangnya BBM Premium/subsidi.

Bahkan Migor yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menjadi langka dan mahal juga turut mempengaruhi omzet UMKM. Disebabkan, kelalaian negara yang semakin menambah beban masyarakat yang lebih parah dari korupsi yaitu praktik monopoli dan kartel yang belum ditegasi. Praktik monopoli dan kartel menguras rakyat lewat harga yang harus dibayar menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.

Selain itu, bayang-bayangan PHK sepihak dari perusahaan swasta selalu menghantui pekerja/buruh. Sehingga tak jarang pencari nafkah lebih memilih pekerjaan serabutan.

Tahniah. Dengan angin segar THR yang hanya menyejukkan sejenak hiruk-pikuk kehidupan pekerja memang wajar. Namun, bagaimana dengan pasca hari raya? Tentu saja drama krisis kehidupan pekerja akan kembali terulang.

Konsekuensi Adopsi Sistem Ekonomi Neo-Kapitalisme

Meskipun sistem Ekonomi Kapitalisme masih berjaya sistem ekonomi ini tak terlepas dari kritikan para pemikir. Karl Marx, menkritik kapitalisme sebagai juragan yang tak humanis. Sehingga bapak Kapitalisme, Adam Smith mentransformasikan Kapitalisme dengan buah pikirnya menjadi juragan yang mencitrakan diri menjadi filantropis. Citra ini dengan membuat kebijakan seperti tunjangan-tunjangan anak dan istri. Termasuk tunjangan hari raya (THR) yang berlaku kini.

Dalam Neo-Kapitalisme juga menganggap manusia sebagai elemen faktor produksi seperti tanah, modal, dan SDA. Untuk menghasilkan cuan yang untung maka biaya produksi harus diminimalkan dengan menekan upah. Sehingga kenaikan upah yang signifikan akan sulit didapatkan dalam dunia kerja. Sebagaimana, UMP, UMK, UMR yang diberlakukan hari ini. Meski begitu penekanan upah juga tidak akan sangat rendah karena akan menghambat produktifitas pekerja/buruh.

Disisi lain, peran negara dalam system ekonomi Neo-Kapitalisme hanya menjadikan negara sebagai regulator bahkan rekan bisnis. Maka tak jarang perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha sudah menjadi hal yang tabu. Dengan modal penguasa seperti mengabulkan pesanan UU dari pihak pengusaha seperti UU Omnibus Law Ciptaker hingga penurunan pajak Pph badan/usaha, bahkan memerintahkan aparat/oknum TNI/POLRI untuk menghadapi massa.

Di Sultra, seringkali terjadi kasus pemaksaan tanah masyarakat untuk dijadikan lahan pertambangan. Diantara potretnya adalah kerusuhan antara aparat dengan mahasiswa dan masyarakat di Kab. Konawe Kepulauan, Kab. Konawe Utara, Kab. Konawe Selatan juga di pulau jawa sebut saja di bumi Wadas.

Perwujudan kesejahteraan rakyat dari segi ketegakerjaan apabila hanya setengah-setengah saja belum ampuh untuk membebaskan masyarakat dari lingkaran masalah perut. Lingkaran setan kemiskinan. Siklus krisis kesejahteraan ketenagakerjaan system Ekonomi Kapitalisme hanya akan melanggengkan kaum borjuis saja. Semakin memarginalkan masyarakat yang sulit bersaing dalam pasar. Pada akhirnya yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

Maka apabila diinsafi sesungguhnya kesulitan kesejahteraan dalam dunia kerja di Indonesia disebabkan secara sistemik. Konsekuensi dari kekeliruan negeri yang mengadopsi system ekonomi neo-kapitalisme yang menerapkan system ekonomi berbasis ribawi, system ekonomi non riil yang menyebabkan arus modal keluar masuk sulit dikontrol, system kebebasan pemilik modal menjadikan pemilik modal bisa menguasai aset-aset negeri, dan system kartel serta kebijakan impor yang terbuka lebar.

Mekanisme Jaminan Kesejahteraan Dalam Islam            

Sistem Islam mewujudkan kesejahteraan dan menciptakan keadilan bagi pengusaha dan pekerja. Sistem ekonomi Islam menerapkan aturan yang adil dari aturan kepemilikan harta hingga distribusi harta kepada rakyat. Dalam Islam tidak ada kebebasan kepemilikan. Islam membolehkan kepemilikan harta dengan menjadikan halal-haram sebagai standar.

Pengaturan harta terbagi dalam tiga aspek yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Islam tidak akan menilai standar kesejahteraan dengan kriteria pendapatan per kapita yang tidak menggambarkan taraf hidup masyarakat secara nyata. Islam memastikan setiap individu sejahtera dengan distribusi kekayaan yang adil merata. Tidak memandang kaya atau miskin, buruh atau pengusaha.

Dalam system Islam (negara Khilafah) tidak mengenal THR. Namun, dipastikan setiap rakyat mendapatkan jaminan setiap kebutuhannya setiap hari bukan sejahtera yang temporer saja. Jaminan kebutuhan dasar dan sekunder individu warga negara diwujudkan dengan bekerja bagi pria dewasa yang mampu.

Bagi anak-anak, perempuan, orang tua dan kalangan berkebutuhan khusus jaminan diberikan oleh pria dewasa yang mampu dan berkewajiban menafkahi mereka. Jika tidak mampu atau tidak ada keluarga yang bisa menanggungnya maka kerabat atau tetangga dekat berkewajian membantunya. Jika tidak ada maka negara berkewajiban untuk menanggungnya.

Jaminan tersebut bisa diwujudkan jika setiap warga negara yang mampu bekerja memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, negara khilafah mempunyai kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyat.

Jika ada yang mampu bekerja tapi tidak mempunyai modal usaha maka bisa mengadakan kerja sama sesame warga negara baik muslim maupun non-muslim. Bisa juga,  dengan mekanisme utang, hibah atau pemberian Cuma-Cuma maupun yang lain.

Dengan konsep pemilikan umum yang memenuhi hak rakyat, negara akan memenuhi kebutuhan Pendidikan dan Kesehatan secara langsung sehingga rakyat dapat menikmatinya dengan harga murah bahkan gratis tanpa membedakan kaya atau miskin, muslim atau non-muslim dengan model jaminan seperti inilah yang benar-benar mengentaskan umat dari jurang kemiskinan dan menghilangkan ketergantungan rakyat. System jaminan kebutuhan seperti ini pula yang akan mengantarkan kesejahteraan ditengah kehidupan kaum muslim bahkan umat manusia dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu ‘alam Bisshawab

 

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here