Oleh Ninis
(Aktivis Muslimah Balikpapan)
Wacana-edukasi.com — Dengan dalih masih terpuruk akibat pandemi Covid-19, para pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) berencana akan mencicil THR. Hal itu berdasarkan riset Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pengusaha di sektor tersebut minta pembayaran tunjangan hari raya (THR) dicicil. Pihaknya mengklaim hal tersebut sama seperti tahun 2020 (Detik.com).
Terang saja kebijakan tersebut ditolak oleh serikat pekerja. Sebab menurut mereka keadaan perusahaan sekarang sudah berjalan normal, tidak seperti tahun 2020. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto mengatakan kebijakan tersebut pernah dikeluarkan pada 2020. Alhasil, banyak perusahaan memilih opsi itu, padahal kondisi saat ini sudah berbeda dari tahun lalu yaitu sudah beroperasi dengan normal (CNN Indonesia.com).
Pemerintah pun mengambil sikap seolah-olah bersikap netral, tidak memihak pekerja ataupun pengusaha. Menakertrans menjelaskan bahwa, “THR adalah kewajiban yang harus ditunaikan penguasa ke pekerja yang sudah kerja 12 bulan seterusnya,” jelasnya (CNBC Indonesia.com).
Namun, serikat pekerja pun menyangsikan bahwa pemerintah akan berpihak pada pekerja. Sebab seperti yang sebelumnya pemerintah menunjukkan kecenderungannya pada pengusaha dibandingkan pekerja dengan lahirnya UU Omnibus Law.
Meskipun aksi protes pun sering dilakukan oleh pekerja tetapi terkait sistem pengupahan, jam kerja belum juga menemukan titik terang. Lantas sejatinya di manakah letak permasalahan perburuhan ini?
THR Solusi Tambal Sulam Kapitalisme
Pekerja atau yang lebih dikenal buruh dalam sistem kapitalisme layaknya sapi perah. Kerap diperlakukan tidak adil dengan mengambil manfaat tenaga sebesar-besarnya dengan upah sekecil-kecilnya. Tak jarang kita temui keluhan para pekerja dibebani setumpuk pekerjaan tetapi diberi upah minimum. Apalagi tingginya kebutuhan hidup pun semakin membuat buruh merana. Apalagi jelang hari raya pemberian THR (Tunjangn Hari Raya) adalah momen yang ditunggu-tunggu setahun sekali, dengan harapan dari bonus itu dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan di hari raya. Wajar ketika ada wacana akan dicicil pemberiannya, itu menimbulkan kesedihan dan kekecewaan di kalangan buruh.
Negara pun kerap memberikan perlakuan istimewa terhadap para pengusaha dibandingkan kepentingan rakyat. Buktinya UU Omnibus Law pun disahkan untuk memfasilitasi kepentingan para kapitalis. Ditambah lagi negara lepas tangan terhadap pengurusan rakyatnya. Yakni rakyat diminta mandiri memenuhi kebutuhannya pokoknya seperti sandang, pangan, dan papan. Termasuk dalam memenuhi kebutuhan komunal yakni kesehatan, pendidikan, dan keamanan juga sendiri. Karut marut persoalan buruh adalah kezaliman dalam pengupahan akibat penerapan sistem kapitalisme. Sejatinya pemberian THR hanyalah solusi tambal sulam dari kebijakan pemerintah yakni adanya ketidaksejahteraan. Nyatalah kesejahteraan dalam sistem ini hanyalah ilusi.
Islam Menghilangkan Kezaliman
Kesejahteraan dalam sistem Islam wajib diwujudkan oleh negara, baik melalui mekanisme langsung dan dan tidak langsung. Pendanaan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat diambil dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Negara juga wajib menghilangkan kezaliman dan perselisihan antara pengusaha dan buruh dengan mekanisme:
1. Pemberian THR atau bonus pada pekerja, tergantung pada akad di awal apakah disebutkan atau tidak. Jika disebutkan dalam akad maka pengusaha wajib memberikannya.
2. Jika dalam akad perjanjian tidak ada disebutkan pemberian THR maka pekerja tidak boleh menuntut pada pengusaha untuk dibayarkan.
3. Jika terjadi perselisihan antara pengusaha dan buruh maka didatangkan khubaro (ahli) untuk memutuskan masalah pengupahan tersebut.
4. Negara juga harus memastikan akad dan sistem pengupahan sesuai dengan syariat Islam. Sehingga memberikan keadilan pada pengusaha ( musta’jir) dan pekerja ( ajir). Jika terjadi pelanggaran terhadap syariat Islam akan diberikan sanksi oleh negara.
Demikianlah Islam membuat mekanisme agar pengusaha dan pekerja tertunaikan hak-hak dan kewajibannya sesuai syariat. Sebenarnya kesejahteraan masyarakat hanya mampu diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam (khilafah) yang mengelola kepemilikan umum mandiri oleh negara, dan hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 4
Comment here