Oleh Novianti
wacana-edukasi.com, OPINI– Blackpink mengguncang Jakarta dan menarik perhatian para pemujanya pada 11-12 Maret lalu. Sederet artis hadir dalam konser yang merupakan bagian dari rangkaian tur dunia Blackpink yang diselenggarakan sejak Oktober 2022. Dari kalangan pejabat, Yanti Airlangga, istri Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memboyong keluarga besarnya menonton di kelas VIP. Tidak ketinggalan, Kahiyang Ayu – Erina Gudono, anak dan menantu Presiden Jokowi juga berada dalam barisan penonton. Penggemar Blackpink memang dari semua kalangan, muda sampai tua, rakyat biasa hingga pejabat negara.
Padahal harga tiket konser terbilang mahal. Kelas VIP dijual sebesar Rp3,8 juta sedang tiket Platinum sebesar Rp3,4 juta. Harga di bawahnya tersedia untuk CAT 1 Rp2,9 juta, CAT 2 Rp2,6 juta, CAT 3 Rp2,1 juta, dan CAT 4 Rp1,35 juta. Belum lagi jika dihitung dengan biaya perintilannya. Biaya transportasi, penginapan, light stick, makan minum, dan merchandise. Jangan heran, akhirnya total yang dikeluarkan bisa lebih dari lima juta rupiah.
Pengamanannya juga luar biasa. Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan ada 1022 personel pengamanan konser Blackpink. Tim keamanan merupakan gabungan dari berbagai unsur yang terdiri dari 932 personel Polda Metro Jaya dan Polres Metro Jakarta Pusat, 30 personel TNI serta 60 personel dari pemda. (Kompas.com, 12/03/2023)
Masjid vs Konser
Suasana konser berbanding terbalik dengan kondisi masjid khususnya di kampus-kampus. Sebagaimana diberitakan republika.co.id (14/03/2023), masjid kampus UI semakin sepi. Pemandangan yang terjadi pada masjid lainnya.
Menurut laporan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK), sebuah organisasi dakwah kampus, masjid-masjid kampus mengalami kelesuan. Tercatat sekitar 460 LDK mengalami penurunan kegiatan syiar Islam di Masjid kampus. Meski belum ada data akurat, secara kasat mata pun bisa dilihat masjid makin sepi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Yang meramaikan pun kebanyakan dari kalangan orang tua.
Sepinya kehadiran anak muda di masjid harus menjadi perhatian karena mereka menentukan wajah negara di masa depan. Jika anak-anak muda lebih banyak melingkar pada konser-konser K-Pop, gaya hidup liberal termasuk nilai-nilai LGBT, akan semakin kental mewarnai kehidupan mereka. Ini berimbas pada maraknya kemungkaran serta kerusakan pada berbagai lini kehidupan.
Satu demi satu pilar negara akan rubuh. Ketahanan keluarga rapuh, mental para pemudanya lemah, masyarakat bertambah rusak hingga akhirnya negara tinggal nama. Ada namun sudah dikuasai para penikmat dunia yang menjadikan manusia sebagai budak-budak hawa napsu semata.
Anak-anak muda dieksploiasi oleh perusahaan kapital demi kepentingan cuan. Mereka dibuat sibuk pada perkara dunia dan lalai terhadap persoalan agama serta umat, yang seharusnya menjadi agenda prioritas. Karena ilmu agama akan menuntun pada jalan kebenaran dan kondisi umat hari ini berada pada titik kulminasi terendah.
Ada Apa Anak Muda?
Dilihat dari timbangan manfaat, menonton konser K-Pop tidak memberikan keuntungan apapun kecuali untuk kesenangan sesaat. Namun, mengapa anak-anak menggandrunginya meski harus membayar mahal tetapi tidak tertarik hadir di masjid. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya.
Pertama, proses kaderisasi anak muda tidak dilakukan oleh orang tua di rumah. Ketika ke masjid, anaknya tidak dibiasakan diajak serta, tidak mengenalkan masjid sebagai tempat yang penting dikunjungi.
Kedua, masih ada masjid tidak ramah anak. Pengurusnya menerapkan aturan yang membuat anak merasa terancam. Akhirnya anak memandang masjid bukan tempat yang mengasyikan karena mereka dipandang sebagai gangguan yang dapat merusak ketenangan salat jamaahnya. Orang tua pun tidak mengajarkan anak terkait adab di masjid.
Ketiga, kurikulum di semua jenjang pendidikan termasuk perguruan tinggi telah menyedot energi anak muda sehingga interaksi sosial nyaris sedikit. Apalagi dengan penerapan pendidikan sekuler, anak-anak muda mengalami disorientasi. Kesuksesan dan kebahagiaan diukur dari materi lantas mereka fokus pada target selesai kuliah dan mencari uang. Masjid dipandang tidak memiliki andil bagi masa depan bahkan dapat mengurangi produktivitas.
Keempat, narasi yang dibangun oleh penguasa terkait isu radikalisme, membuat orang tua dan anak-anak muda khawatir datang ke masjid. Fachrul Razi, Menag sebelumnya pernah melontarkan pernyataan harus berhati-hati dengan adanya penyusupan radikalisme di masjid-masjid, anak-anak muda yang menguasai bahasa Arab dan good looking harus diwaspadai. Pernyataan semacam ini menyiutkan keinginan anak muda untuk aktif di masjid.
Beberapa kali kajian di masjid dibubarkan tanpa alasan yang jelas dan negara membiarkan. Tidak ada pengamanan negara sebagaimana yang dikerahkan untuk penyelenggaraan konser. Allah mengingatkan dalam surah Al Baqoroh ; 114 ,” Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.”
Kelima, kedudukan masjid telah dipinggirkan oleh negara. Masjid di down grade sebagai tempat ibadah ritual saja salah satunya melalui narasi berhenti bicara politik di masjid. Tak heran, anak-anak muda datang ke masjid hanya pada waktu-waktu salat karena peluang yang bisa mengasah potensi agar bisa berkontribusi luas bagi umat sangat sedikit.
Kembalikan Fungsi Masjid
Masjid menempati kedudukan penting terbukti bangunan inilah yang pertama kali Rasulullah dirikan ketika menegakkan Daulah Islamiyyah di Madinah yaitu Masjid Nabawi. Rasulullah menjadikan masjid sebagai pusat seluruh kegiatan termasuk urusan negara dalam rangka melayani rakyat.
Rasulullah menjadi imam salat, menyusun strategi perang, membagikan harta rampasan perang, mengumpulkan zakat, menerima utusan dari berbagai negara di masjid. Tak heran, dari masjid lahir sosok-sosok hebat pada beragam kemampuan.
Rasulullah tidak memisahkan masjid dari urusan negara. Justru masjid menjadi pusat dan sebagai basis kekuatan politik. Ini terus berlangsung pasca wafatnya Rasulullah saw.
Semakin luas wilayah Islam, jumlah masjid semakin banyak. Fungsinya tidak jauh berbeda dengan fungsi Masjid Nabawi. Masjid terkait dengan pergantian kepemimpinan di masa khulafaur rasyidin salah satunya sebagai tempat untuk membaiat. Rakyat menyampaikan kerelaannya untuk dipimpin dan siap mentaati pemimpin yang menerapkan syariah Islam.
Sekarang fungsi masjid tergerus karena penerapan sistem sekuler kapitalis yang secara otomatis memisahkan agama dari dinamika kehidupan masyarakat. Jika negara tidak berhenti menyebar ancaman dengan tuduhan tak berdasar seperti radikalisme, masjid akan makin ditinggalkan. Tiket konser akan terus diburu, sedang tiket surga tidak laku.
Masjid akan kembali berfungsi optimal ketika berada dalam sistem Islam. Masjid makmur karena memberikan ruang bagi siapapun untuk melejitkan potensinya dan berkontribusi untuk agama Allah. Bisa berlatih perang untuk berjihad, para ulama bisa mengajarkan keilmuannya, tempat bermusyawarah dan menyelesaikan persoalan umat. Inilah yang membuat masjid hidup dan menarik kehadiran jamaahnya, tua maupun muda, laki-laki dan perempuan.
Views: 39
Comment here