Oleh: Mita Octaviani S.Pd
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Melansir dari Katadata, berdasarkan laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. Jumlah ini naik 15,31% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus.
Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki kasus perceraian tertinggi nasional sepanjang 2022. Tercatat, kasus perceraian di Jawa Barat pada tahun lalu mencapai 113.643 kasus atau 22% dari total kasus perceraian nasional. Adapun sekitar 75,4% perceraian di provinsi ini terjadi karena cerai gugat (diajukan pihak istri), sedangkan 24,6% sisanya cerai talak (diajukan pihak suami).
Jawa Timur menempati peringkat kedua sebagai provinsi dengan kasus perceraian tertinggi, yakni 102.065 kasus sepanjang 2022. Selanjutnya, ada Jawa Tengah dengan 85.412 kasus.
Lalu, di posisi berikutnya ada Sumatera Utara dan DKI Jakarta, yang masing-masing mencatatkan 20.029 kasus dan 19.908 kasus perceraian. Di sisi lain, terdapat lima provinsi yang tidak memiliki kasus perceraian sama sekali sepanjang 2022. Di antaranya Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
Adapun laporan tersebut mencatat, terdapat 448.126 perceraian di Indonesia yang terjadi berdasarkan faktor penyebabnya pada 2022.
Perselisihan dan pertengkaran menjadi faktor utama penyebab perceraian nasional sepanjang tahun lalu. Jumlahnya mencapai 284.169 kasus, atau setara 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian di tanah air.
Penyebab perceraian terbanyak lainnya adalah karena faktor ekonomi, yakni sebanyak 110.939 kasus (24,75%). Lalu, diikuti karena faktor meninggalkan salah satu pihak sebanyak 39.359 kasus (8,78%), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 4.972 kasus (1,1%), dan mabuk 1.781 kasus (0,39%).
Budaya Patriarki
Disinyalir salah satu penyebab dari perceraian karena adanya budaya patriarki. Dikutip dari Media Indonesia, perempuan selalu dituntut untuk dapat melakukan berbagai macam pekerjaan rumah tangga yang masuk dalam pekerjaan domestik, mulai dari bersih-bersih hingga menyediakan makanan.
Apabila seorang perempuan tidak mampu melakukan tuntutan tersebut, maka ia bisa dikucilkan oleh orang-orang sekitar. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan laki-laki. Dalam budaya patriarki, laki-laki tidak dituntut untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Sehingga, ketika laki-laki melakukannya, mereka cenderung akan mendapatkan pujian seakan-akan melakukan hal yang luar biasa.
Selain budaya patriarki yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat, adapun beberapa faktor yang memicu menimbulkan problematika rumah tangga. Yakni sebagai berikut:
1. Sikap suami Istri saling menuntut tanpa saling mengetahui kewajiban masing-masing dalam keluarga yang sesuai dengan syariat.
2. Tidak digunakan aturan syariat Islam dalam kehidupan dan aktivitas rumah tangga. Sehingga begitu banyak masalah yang tidak terselesaikan dengan tuntas.
3. Salah satu pihak berjuang sendiri dan tidak mendapat support system dari pasangan, keluarga maupun orang terdekat ataupun lingkungannya.
4. Tidak adanya ruang diskusi yang nyaman sehingga bisa memicu permasalahan & tidak terkondisikan rasa aman bagi masing-masing pihak antara suami maupun istri.
5. Kebutuhan-kebutuhan anak dan keluarga yang belum terpenuhi dengan layak termasuk masalah ekonomi.
6. Adanya celah perselingkuhan, serta KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Sekularisme dan Kapitalisme penyebab dari berbagai masalah
Sekularisme adalah akar dari liberalisme, yang artinya tidak mau mencampuri urusan agama dengan aktivitas kehidupan. Jelas di sini timbul berbagai masalah karena tidak adanya ketaatan dengan aturan dari Sang Pencipta/ Sang Khaliq. Sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan menjadi di luar batas norma maupun agama. Tentu akan menyebabkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain. Begitupun dengan kapitalisme lahir dari idealisme yang mementingkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memandang halal haramnya suatu perbuatan.
Solusi dari Islam
Untuk dapat menciptakan keluarga yang dirahmati oleh Allah Swt, masing-masing anggota keluarga harus saling memberikan support system dan kalimat afirmasi positif untuk anggota keluarga seperti untuk suami, istri, dan anak-anak. Keluarga harus belajar tentang ilmu pernikahan yang samawa menurut syariat Islam. Tentu hal ini dilakukan oleh keduanya yaitu suami dan istri. Tujuannya agar terwujudnya impian keluarga yang samawa. Seperti dalam QS. Al Ahzab ayat 35:
اِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمٰتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ وَالْقٰنِتِيْنَ وَالْقٰنِتٰتِ وَالصّٰدِقِيْنَ وَالصّٰدِقٰتِ وَالصّٰبِرِيْنَ وَالصّٰبِرٰتِ وَالْخٰشِعِيْنَ وَالْخٰشِعٰتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقٰتِ وَالصَّاۤىِٕمِيْنَ وَالصّٰۤىِٕمٰتِ وَالْحٰفِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحٰفِظٰتِ وَالذَّاكِرِيْنَ اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّالذَّاكِرٰتِ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا
Artinya: Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S Al Ahzab:35).
Keberadaan keluarga juga didorong untuk memahami dengan belajar mengenai psikologi anak, belajar ilmu parenting tentang tumbuh kembang anak dalam tahapan usia.
Dalam Islam jelas sudah diatur aktivitas kehidupan manusia dari bangun tidur hingga tidur kembali. Juga termasuk aturan dengan sanksi tegas yang menjaga dan memberikan efek jera bagi siapapun yang melakukan tindak kekerasan dan kriminal.
Indahnya aturan Islam yang mengatur aktivitas rumah tangga dengan sangat sempurna agar menjadi keluarga yang sakinah artinya tenang atau tentram, mawaddah artinya cinta kasih, dan warahmah artinya rahmat.
Islam menjelaskan bagaimana kebutuhan istri yang selayaknya dipenuhi meliputi: 1. Kebutuhan keluarga seperti kebutuhan sehari-hari istrinya dan keluarga. 2. Kebutuhan pribadi istri. 3. Nafkah batinnya.
Begitu pula dengan kebutuhan suami yang juga harus dipenuhi meliputi: 1. Kebutuhan biologis. 2. Kebutuhan makan dan minum. 3. Pandangan (istri senantiasa harus indah di depan suami).
Dengan memaksimalkan peran sebagai suami dan juga istri, memahami mana hak dan kewajiban masing-masing, maka keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah niscaya bisa diwujudkan.
Abu Hurairah juga meriwayatkan pernah ditanyakan kepada Rasulullah, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya, sehingga membuat suami benci.” (HR An-Nasai no 3231 dan Ahmad 2: 251)
Kebutuhan anak pun harus mendapatkan perhatian khusus dari kedua orangtua, meliputi : 1. Mendapat kasih sayang. 2. Mendapatkan rasa aman. 3. Terpenuhi asupan gizi dan pendidikannya.
Negara juga punya peran sentral dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya. Mampu memberikan lapangan pekerjaan yang luas untuk setiap individu terkhusus kepala keluarga, memberikan perlindungan dan kesejahteraan yang layak dan sesuai porsinya sesuai dengan aturan Islam.
Dengan demikian, jika setiap insan mempunyai kesadaran akan perannya masing-masing, dan menerapkan aturan Islam dalam aktivitas kehidupan. Maka terciptanya keharmonisan, ketentraman dan rasa kasih sayang dalam keluarga yang dekat dengan penciptaNya bukan sekedar angan-angan tapi bisa diwujudkan dengan diterapkannya aturan Islam tak hanya dalam ranah individu tapi juga dalam institusi sebuah negara.
Wallahu A’lam bishawab
Views: 21
Comment here