Opini

Toleransi Beragama ala Sinkretisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Hanimatul Umah

Wacana-edukasi.com, OPINI– Baru-baru ini media telah ramai memberitakan kedatangan pemimpin Gereja Katolik dunia dari Roma yaitu Paus Fransiskus ke Indonesia pada tanggal 3-6 September 2024. Adapun beberapa agenda kunjungan dan acara di antaranya ke Masjid Iqtiqlal, GBK (Gelora Bung Karno) Jakarta untuk melakukan acara Misa agama Katolik dan di berbagai wilayah seperti Papua Nugini, Timor Leste sampai melawat ke Singapura 11-13 September 2024 dan berikutnya ke Asia Pasifik.

Kunjungan Uskup Roma tahun 2024 ini adalah kunjungan ke-3, yang sebelumnya dilaksanakan oleh Paus Paulus VI 3-4 Desember 1970 pertama kali mengunjungi Indonesia, dan pada 9-14 Oktober 1989 kunjungan kedua oleh Paus Yohanes II. Sementara itu Menteri Agama Yakut Kholil Qoumas, mengatakan kedatangan Paus Fransiskus membuktikan bahwa hubungan bilateral Indonesia dengan Vatikan terjalin erat dan sebagai cerminan kebersamaan dalam perbedaan dan pesan perdamaian, dilansir dari tempo.co (6-9-2024).

Tak kalah miris, di tengah karut marut cideranya demokrasi oleh tingkah para elite politik, dan dekadensi moral melanda bangsa ini, pun sedang maraknya protes mahasiswa di hampir seluruh wilayah Indonesia, mereka menyuarakan lantang menginginkan dan mendambakan pemerintahan yang memihak rakyat, bukan mementingkan keluarga. Maka kemudian sebagian besar masyarakat seolah teralihkan perhatian dan mengarah kepada seorang Uskup Gereja Katolik yang terlihat lembut dan penuh kedamaian. Umat muslim pun seperti kehilangan dan mendambakan kembali sosok pemimpin yang bermoral dan merindukan seorang pemimpin yang menyayangi rakyatnya.

Tampaknya, saat ini rakyat merindukan “Role Model” seperti Paus Fransiskus yang memiliki kesederhaan dan kesahajaan sebagai seorang pemimpin.
Mengapa masyarakat muslim begitu antusias menyambut kedatangan seorang tokoh Katolik? Di manakah bersandar keyakinan beragama Islam yang jumlah pemeluknya jauh lebih besar dibanding non muslim? Lalu bagaimana dengan keyakinannya sendiri dalam memeluk agama Islam? Ataukah ini wujud mengamalkan toleransi umat beragama bagi umat Islam?

Toleransi merupakan sikap yang memberikan kesempatan kepada orang lain dalam memeluk agama yang mereka yakini, tidak memaksakan suatu agama tertentu, sehingga tercipta kerukunan antar umat beragama, meskipun lain bahasa, suku, atau ras/warna kulit. Dan ini memang sudah diajarkan dalam agama Islam. Hal tersebut telah sejak lama dibuktikan dengan jumlah mayoritas umat di negara ini yang beragama Islam tidak menzalimi non muslim, mereka hidup rukun. Dari sinilah Sri Paus mengagumi masyarakat Indonesia yang bersikap toleran.

Toleransi Melampaui Batas

Sayangnya bentuk toleransi sering kali melampaui batas yang telah ditetapkan oleh hukum syarak. Seperti imbauan Kemenag agar azan maghrib saat proses acara Misa Kudus diganti dengan running text di Stasiun Televisi (Liputan6.com/ 5-9-2024). Dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nazarudin Umar, menyatakan bahwa Masjid Istiqlal bukan sekadar rumah ibadah bagi umat Islam, melainkan rumah besar bagi kemanusiaan (Tempo.co/ 5-9-2024). Ini jelas menunjukkan kebijakan yang kebablasan atas nama menjunjung tinggi toleransi beragama.

Hal tersebut berdampak pada pemahaman sebagian masyarakat muslim, dan beranggapan semua agama itu sama dan benar. Dan mereka cenderung bercermin kepada pemuka negeri terkait. Disebabkan pula pemikiran masyarakat yang kental dengan paham kebebasan (pluralisme liberal). Alhasil akidah Islam terkikis oleh kebebasan tingkah laku lebih jauh kepada paham sinkretisme yang bersumber dari sekularisme.

Islam Mengajarkan Toleransi

Sejatinya ajaran Islam telah lengkap untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan ini. Maka seharusnya sikap kaum muslim bijaksana dalam menjaga toleransi dengan tidak mengorbankan iman dan akidahnya. Sebagaimana di dalam Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya agama yang diridai di sisi Allah adalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang diberi Al-Kitab kecuali sudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat- ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya,” (Qs. Ali Imran: 19).

Sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW, sudah mempraktikkan toleransi. Tokoh kafir Quraisy bernama Al Walid Al Mughirah, Al Ash bin Wail, Aswad Ibnu Mutalib, dan Umayyah bin Khalaf menemui dan membujuk beliau agar bergantian menyembah Tuhan mereka dengan menawarkan harta kekayaan agar menjadi orang terkaya di Kota Madinah, dan boleh menikahi wanita yang Rasul inginkan, dengan syarat tidak menjelekkan agama mereka (orang kafir) atau menyembah Tuhan mereka selama setahun, namun Rasulullah menolak ajakan mereka.

Kemudian turunlah Surat Al-Kafirun ayat 1-6 sebagai jawaban atas permintaan orang-orang kafir dan inilah bentuk pelajaran toleransi yang sudah Allah dan Rasul ajarkan. Yakni tidak mengikuti dalam kegiatan agama selain agama yang diyakininya. Oleh karena itu, wajib bagi seluruh umat Islam mengamalkan ajaran agama Islam dalam sikap toleransi sesuai yang telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw dan sebagai suri teladan yang baik.

Jika negara ini menerapkan semua aturan dan syari’at yang telah diturunkan oleh Sang Pencipta kehidupan ini maka tentulah tercipta kehidupan yang selaras di segala bidang. Termasuk sikap saling menyayangi dan menghormati antara rakyat dan penguasa /Hukam, sehingga antara rakyat dan pemerintahnya sinkron dalam menyikapi toleransi antar umat beragama dalam bingkai ketakwaan bukan kelewatan.

Khatimah

Jelaslah bahwa toleransi dalam Islam adalah bentuk membiarkan aktifitas keagamaan namun tidak ikut mengikuti pelaksanaan acara keagamaan umat lain. Agenda apapun yang beraroma pluralisme dan moderasi agama merupakan bagian penyimpangan terhadap pengamalan Islam. Dan upaya tersebut untuk menjauhkan umat dari nilai-nilai Islam.

Maka dari itu sebagai umat Islam hendaknya berhati-hati dalam setiap langkah agar tidak tergelincir melakukan perbuatan yang menjerumus pada dosa /pelanggaran dan bertentangan dengan kitab suci Al-Qur’an. Untuk menyelamatkan itu semua dibutuhkan institusi negara yang melaksanakan hukum syarak secara kafah yaitu sistem Islam. Wallahu A’lam Bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here