Surat Pembaca

Tradisi Brandu, Potret Buram Acuhnya Penguasa

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Zamrud Khatulistiwa dengan beragam tradisi dan budayanya, menawarkan keelokan Kepulauan Nusantara. Indonesia juga dikenal karena keunikan tradisi dan budayanya. Akan tetapi, tak selamanya tradisi harus diamini, bahkan dipertahankan. Apalagi, jika dalam tradisi itu nyawa bisa menjadi taruhan.

Baru-baru ini, Kabupaten Gunungkidul tengah menjadi sorotan. Brandu, sebuah tradisi di Padukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, DIY, dilaporkan menyebabkan 87 warga terpapar antraks.

Brandu adalah sebuah tradisi ‘patungan’ warga sekitar untuk membeli ternak yang sakit, kemudian disembelih dan dikonsumsi. Parahnya, ternak mati pun turut menjadi obyek dari praktik ini. Hal tersebut bertujuan untuk membantu meringankan beban peternak sapi yang mengalami kerugian. Sejumlah hewan sakit (kambing dan sapi) akan disembelih, kemudian dikonsumsi oleh warga sekitar.

Kepala Dukuh (Dusun) Jati, Sugeng, mengatakan tradisi ini sudah dilakukan dari nenek moyang, namun tidak pernah terjadi masalah kesehatan ataupun menelan korban. Sebanyak 87 jiwa dilaporkan terpapar antraks, dengan satu diantaranya meninggal dunia (news.republika.co.id, 7/7/2023).

Dilansir dari bbc.com pada 07 Juli 2023, antraks adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri _baciluus anthracis_ yang menyerang hewan. Iman Pambudi, selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa bakteri antraks dapat bertahan puluhan tahun di dalam tanah, sehingga sangat beresiko mengalami penularan, terlebih jika dikonsumsi. Kementerian Kesehatan menegaskan, hewan ternak yang sakit atau terjangkit antraks harus dibakar atau dikubur, dan tidak boleh disembelih terlebih dikonsumsi.

Budaya Brandu ibarat sebuah pisau bermata dua. Satu sisi sebagai bentuk solidaritas warga, guna menekan terjadinya kerugian peternak. Namun, sisi lainnya mengancam kesehatan jiwa dan raga.

Klaim memiliki ‘tujuan’ baik dari tradisi ini, sebatas mengacu agar peternak tidak rugi secara materi. Cara berpikir seperti ini, dalam sistem kapitalis lumrah terjadi. Padahal, di balik keuntungan yang diraup, ada bahaya yang mengintai masyarakat yang memanfaatkan ternak sakit tersebut.

Kebiasaan konsumsi daging dari hewan yang sakit sekaligus menjadi potret kemiskinan masyarakat. Harga bahan pangan yang melonjak, membuat warga seolah merasakan ‘berkah’ mendapatkan daging murah.

Dampak buruk akibat konsumsi hewan sakit, sedikit banyak juga mencerminkan rendahnya tingkat literasi masyarakat. Sungguh miris, di zaman serba canggih, masih ada yang enggan mencari informasi. Literasi yang rendah membuat masyarakat dengan mudah, bahkan terbiasa mengonsumsi hewan mati akibat terpapar penyakit, lalu disembelih.

Islam memandang praktik Brandu sebagai tindakan haram, karena dianalogikan seperti mengonsumsi bangkai.

Allah SWT berfirman dalam Q.S Al Maidah ayat 3 yang artinya: _”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih.”_

Miris, kejadian ini bukan kali pertama, hingga Gunungkidul dijuluki kawasan endemis antraks. Kelalaian penguasa dalam mengurusi rakyat menjadi catatan buruk, karena kejadian yang terus berulang. Tradisi membahayakan ini masih tetap berlangsung hingga sekarang. Tak ayal, kondisi ini memperlihatkan negara belum bisa menjamin kesejahteraan rakyat. Kemiskinan menggurita berujung pada pengonsumsian daging secara berbahaya.

Realitas ini tidak sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh syariat. Allah SWT mewajibkan adanya penguasa yang bertindak sebagai ” _ra’in_” atau pemelihara urusan rakyat. Salah satu bentuknya adalah menjaga rakyat dari hal-hal yang bisa membahayakan mereka.

Tak hanya itu, pemenuhan kebutuhan dasar menjadi perhatian bagi penguasa dalam sistem Islam, termasuk asupan gizi dari rakyatnya.
Meski berlindung di bawah tradisi, tetap saja sebuah praktik yang menyelisihi syariat tidak akan dibiarkan apalagi dilanggengkan, terlebih jika ada potensi bahaya di dalamnya.

Tambahan lagi, penguasa dalam sistem Islam akan menerapkan tata kelola pendidikan bercorak mabdai islami atau dengan landasan ideologi Islam. Darinya akan dihasilkan pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan literasi, serta prinsip hidup “halal-haram”. Dengan begitu, akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang terjaga, dan menjaga dirinya dari hal-hal yang Allah haramkan.

Hanya sistem Islam lah yang mampu memperbaiki kondisi memprihatinkan saat ini. Penguasa dan sistem Islam yang dijalankannya, akan menjamin kemakmuran dan kesejahteraan, juga keselamatan rakyat. Ini akan menjadikan kehidupan rakyatnya cerdas dan terdidik, sehingga mampu memahami aturan agama dalam mengatur hidupnya, termasuk di dalamnya kesehatan tubuhnya.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Ufairoh Maliha Shofwah

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 13

Comment here