Opini

Tragedi Kanjuruhan : Fanatisme atau Represif?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Tyas Ummu Rufaidah

wacana-edukasi.com– 1 Oktober 2022 menjadi suatu hari yang kelam dalam sejarah persepakbolaan tanah air. Ratusan suporter tewas saat terjadi kericuhan lantaran tim kebanggaan Arema kalah dalam pertandingan melawan kesebelasan Persebaya, Surabaya.

Sejumlah 127 Aremania dinyatakan meninggal dunia dan lainnya mengalami luka-luka akibat kejadian ini. Jumlah tersebut terdiri atas 125 Aremania dan dua orang polisi berdasarkan data kepolisian setempat. Namun, jumlah tersebut belum final. Pemkab Malang beserta pihak terkait masih terus melakukan pendataan dan identifikasi terhadap korban yang telah dievakuasi ke sejumlah rumah sakit di Kabupaten Malang.
(Republika.co.id, 2/10/2022)

Jika dikulik lebih dalam, kerusuhan dalam pertandingan sepak bola kerap kali terjadi di hampir seluruh dunia. Apabila kita flashback kejadian ini sempat terjadi di belahan dunia lain. Dilansir dari Reuters, berikut adalah beberapa bencana besar di stadion sepak bola selama 40 tahun terakhir.

Pada bulan Januari 2022 di Kamerun, sedikitnya delapan orang tewas dan 38 lainnya cedera akibat kerusuhan di Stadion Yaounde Olembe di Kamerun sebelum pertandingan babak 16 besar Piala Afrika melawan Komoro.

Februari 2012 di Mesir, para suporter membuat kerusuhan di akhir pertandingan antara rival Al-Masry dan Al-Ahly di kota Port Said. Setidaknya 73 orang tewas dan lebih dari 1.000 terluka, dan liga Mesir ditangguhkan selama dua tahun.

Dari beberapa kasus kericuhan yang terjadi menggambarkan kepada khalayak, bahwa memang pertandingan sepak bola tak sedikit yang berakhir dengan berbagai konflik. Baik dari pihak pemain dengan lawannya, hingga para suporter yang tak mau tim kebanggaannya kalah. Dari sini, kecintaan kepada kelompok atau klub yang mereka sukai atau idolakan seakan harus menjadi terdepan dan tak terkalahkan. Sampai-sampai jiwa raga dipertaruhkan demi kelompok yang digandrunginya.

Dengan watak suporter yang begitu mencintai terhadap kelompoknya sehingga memicu sifat fanatik begitu kuat merasuk dalam jiwa. Seolah-olah fanatisme di dunia sepak bola sudah menjadi kultur di semua negeri. Hal yang sangat disayangkan adalah jatuhnya korban hingga hilangnya banyak nyawa hanya sekadar demi hal yang sepele atau mubah, yakni melihat pertandingan sepak bola.

Sungguh begitu besar efek yang ditimbulkan dari sifat fanatik ini. Berbagai aksi dilakukan demi membela kelompok yang disanjung-sanjungnya. Alhasil, yang terjadi ialah konflik dan perpecahan serta meruntuhkan persatuan umat. Hal ini menjadikan peradaban yang terbelakang, serta menghancurkan generasi masa depan.

Dalam tragedi Kanjuruhan, sikap fanatisme suporter yang diluapkan dengan protes ke tengah lapangan justru direspon secara represif oleh aparat keamanan. Ditambah lagi dengan penggunaan gas air mata yang menyebabkan kepanikan para suporter bahkan mereka yang tadinya bertahan di tribun pun kocar-kacir. Hal ini juga menyebabkan terjadinya penumpukan massa di pintu keluar hingga berdesakan dan banyak yang terinjak-injak. Tak ayal, korban pun semakin banyak berjatuhan. Jadi, tragedi Kanjuruhan bukan semata-mata akibat fanatisme, melainkan juga akibat respon represif dari pihak keamanan.

Dalam Islam, semangat membela atau menolong karena spirit golongan atau kesukuan biasa disebut dengan Ashabiyah. Secara bahasa, Ashabiyah adalah kata yang mengandung arti saling menjaga dan melindungi. Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul Arab ia berkata, makna fanatisme golongan adalah: “Ajakan seseorang untuk membela keluarga/kelompok dari siapa pun yang menyerang mereka. Tanpa peduli keluarganya melakukan kezaliman atau menjadi pihak yang terzalimi. (Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, I/606)

Sebelum Islam datang, bangsa Arab dikenal dengan bangsa yang membanggakan kelompok atau sukunya. Semangat membangun loyalitas sangat menonjol di setiap kabilah-kabilah. Rasa saling menyayangi , empati, dan membela kelompoknya menjadi hal yang wajib bagi mereka. Sebab, atas dasar kecintaannya atau loyalitas yang lebih tinggi di atas kesetiaan terhadap suku.

Di tengah tradisi fanatisme golongan dan kesukuan yang sudah membudaya, Islam datang menawarkan konsep ukhuwah yang mempersatukan semua golongan. Islam tidak membedakan antara satu kabilah dengan kabilah yang lain. Siapa yang menjadi muslim, maka ia saudara bagi muslim lainnya walaupun berbeda suku, bangsa, bahasa, dan negara. Tidak ada keutamaan seorang Arab atas non-Arab, tidak pula orang berkulit putih atas kulit hitam, semuanya sederajat dan yang membedakan hanya ketakwaan semata.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam As-Sa’di menjelaskan, “Ini merupakan ikatan yang Allah ikatkan di antara orang-orang mukmin. Bahwasanya seorang Muslim jika mendapati seseorang, siapa pun dia dan di mana pun dia (baik di timur maupun di barat), beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Para Rasul-Nya, serta meyakini tentang hari akhir maka dia adalah saudaranya. Persaudaraan ini wajib dijaga oleh setiap Mukmin, ia wajib mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, serta benci terhadap sesuatu yang menimpa saudaranya sebagaimana ia benci jika hal itu menimpa dirinya.” (Tafsir As-Sa’di, 8/1692)

Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya…” (HR. Muslim)

Dalam konteks ini, seharusnya negara hadir dalam menengahi serta memberikan edukasi kepada rakyatnya agar tidak memiliki sifat fanatik golongan. Sebab, jika masih terpelihara fanatisme ini akan menjadikan perpecahan di tengah-tengah umat.

Selain itu, negara juga harus mengutamakan penjagaan nyawa rakyatnya. Sebab, Islam memandang bahwa nyawa seorang manusia lebih berharga dari dunia dan seisinya.

Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Wallahu alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here