wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA — Ratusan mahasiswa di Bogor terjerat pinjaman online (online). Awalnya, mereka tergiur “iming-iming” mendapat untung besar jika menginvestasikan sejumlah uang untuk bisnis tertentu. Tanpa pengetahuan yang matang, mereka langsung melakukan pinjaman. Tak tahunya, hasilnya nihil. Bukannya untung, kenyataannya malah buntung. Parahnya, kini mereka dikejar-kejar tagihan dengan bunga yang fantastis. Akhirnya, karena merasa tertipu, mereka beramai-ramai membawa kasus tersebut ke jalur hukum.
Wakapolresta Bogor Kota, AKBP Ferdy Irawan, dikutip dari CNN Indonesia menyampaikan bahwa total uang dari 311 korban yang tertipu adalah sebesar Rp2,1 miliar (18/11/2022). Kemudian, Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L Yobing juga menyebutkan, “Kasus ini termasuk penipuan modus baru, yang melakukan penipuan berkedok toko online dengan penjualan barang fiktif yang ternyata para korban sepakat bahwa barang yang dibeli sudah sampai padahal tidak ada barangnya,” (financedetik.com, 17/11/2022).
Pada hakikatnya para mahasiswa merupakan kaum intelektual, yang seharusnya dengan kedalaman berpikirnya dapat berpikir secara matang sebelum berbuat suatu hal. Namun sayangnya, fakta di atas menunjukkan hal yang sebaliknya. Kejadian tersebut menunjukkan sikap pragmatis level akut. Dikarenakan dorongan materi, dari sejak awal mereka tidak berpikir secara logis dan kritis bahwa penawaran yang dilakukan oleh para pemberi pinjol itu hanyalah bisnis ‘bodong’ alias penipuan.
Selain itu, mahasiswa adalah orang-orang produktif di usia produktif. Mereka seharusnya dapat memanfaatkan peluang sebaik mungkin untuk melejitkan segenap potensinya dengan melakukan hal-hal yang positif. Namun, ini tidak terjadi. Mereka menginginkan kehidupan mapan tanpa disertai kerja keras. Cukup melakukan investasi, untung akan datang sendiri.
Perlu disadari bahwa yang namanya hutang tetaplah hutang dan harus dibayar. Maka dari itu, kembali lagi hal ini menuntut berpikir kritis. Seharusnya sudah ada pemikiran di dalam benak, jika tidak ada pemasukan, bagaimana bisa melakukan pembayaran? Jika bisnis gagal, mereka harus bagaimana? Bagaimana cara melakukan pembayaran?
Kemudian, perlu didudukkan bahwa menggantungkan hidup dari sesuatu yang tak pasti, hasilnya hanyalah kerugian belaka. Hal tersebut layaknya orang yang sedang berjudi. Bisa berhasil dengan menuai keuntungan besar dan bisa pula mendapat kerugian.
Itulah buah pendidikan kapitalisme, mencetak mahasiswa menjadi mahasiswa yang sekedar materi oriented. Hal ini sejalan dengan program universitas, yakni enterpreneur university. Mahasiswa diarahkan menjadi wirausahawan dengan target keuntungan yang fantastis. Ada uang, maka mudah untuk bergaya hidup mewah. Paling tidak, mereka dapat memiliki rumah dan mobil mewah.
Berbeda halnya dengan Sistem Pendidikan Islam (SPI). Dengan berlandaskan pada akidah Islam SPI memiliki konsep tujuan yang jelas, yakni mencetak generasi sebagai hamba yang ta’at kepada Allah Swt. sebagaimana dalam Surat Az-Zariyat ayat 56, yang artinya “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Selain itu, SPI juga menyiapkan generasi menjadi calon pemimpin umat atau khalifah fil ardl. Dengan berlandaskan akidah Islam, maka SPI dapat menempa generasi menjadi calon pemimpin yang amanah dan berakhlak mulia.
Saat pendidikan berbasis pada akidah Islam, maka output yang dihasilkan adalah menghasilkan generasi yang serius dalam menjalani kehidupan. Siap menghadapi badai kehidupan yang menerpanya sekaligus mampu menyelesaikannya dengan menjadikan Islam sebagai rujukan. Halal dan haram menjadi patokan. Mereka tidak berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam karena mereka memiliki kesadaran penuh bahwa kebahagiaan seorang hamba adalah tatkala ridho Allah bersama mereka.
Demikian gambaran output generasi di dalam Sistem Pendidikan Islam. Output ini jelas berbeda jauh dari output Sistem Pendidikan Kapitalisme. Perbedaannya sungguh nyata, lalu mengapa kita tidak beralih pada SPI saja?
Wallaahu’alam bish-showab.
Ummu Haneem
Views: 7
Comment here