Oleh: Riena Enjang
Wacana-edukasi.com, OPINI– Dilansir dari viva.co.id (1/3/25) pemerintah mengadakan program transportasi mudik gratis untuk 100.000 orang pada Lebaran 2025, bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN. Selain itu, pemerintah juga memberikan diskon tarif tol hingga 20% dan diskon tiket pesawat ekonomi 13-14% untuk membantu pemudik.
Program ini disebut sebagai arahan dari Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan perjalanan mudik lebih aman, nyaman, dan terjangkau. Pendaftaran mudik gratis bisa dilakukan melalui aplikasi Mitra Darat dari Kemenhub, termasuk bagi pemudik dengan sepeda motor.
Mudik Murah, Sampai Kapan?
Kebijakan mudik gratis dan diskon tarif transportasi ini merupakan langkah populis yang memberikan manfaat langsung tertama bagi masyarakat yang kurang mampu. Dengan adanya subsidi ini, pemudik bisa menghemat biaya perjalanan dan melakukan perjalanan dengan lebih nyaman. Selain itu, inisiatif ini dapat mengurangi jumlah pengguna sepeda motor yang sering menyebabkan angka kecelakaan meningkat saat musim mudik.
Namun, kebijakan ini masih bersifat musiman dan tidak menyelesaikan akar masalah transportasi di Indonesia. Harga tiket transportasi dan tarif tol tetap tinggi di luar musim Lebaran. Hal ini terjadi karena transportasi masih dikendalikan oleh pihak swasta, dan negara lebih berperan sebagai regulator dari pada penyedia layanan publik secara langsung.
Untuk solusi jangka panjang, pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan subsidi musiman, tetapi memperbaiki sistem transportasi nasional, seperti meningkatkan kualitas dan kapasitas transportasi publik, menekan biaya operasional, serta memastikan harga tiket tetap terjangkau sepanjang tahun, bahkan gratis. Jika tidak, kebijakan ini bisa dianggap hanya sebagai strategi politik yang bersifat sementara, tanpa ada upaya nyata untuk membangun transportasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kapitalisasi Transportasi Publik
Subsidi transportasi, seperti program mudik gratis dan diskon tarif tol, merupakan kebijakan jangka pendek yang bertujuan meringankan beban masyarakat, terutama saat momen tertentu seperti Lebaran. Kebijakan ini memang memberikan manfaat langsung, seperti menekan biaya perjalanan dan mengurangi kepadatan lalu lintas roda dua yang rawan kecelakaan. Namun, kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan transportasi di Indonesia yang bersifat sistemis.
Infrastruktur transportasi nasional masih dikelola dengan orientasi bisnis, bukan pelayanan publik. Banyak proyek, seperti bandara dan terminal, dibangun tanpa perencanaan matang sehingga kurang dimanfaatkan, sementara jalan-jalan rusak yang lebih mendesak justru diabaikan. Selain itu, pemerintah cenderung hanya berperan sebagai regulator, sementara pengelolaan transportasi lebih banyak diserahkan kepada pihak swasta yang berorientasi profit, menyebabkan tarif tetap tinggi di luar musim tertentu dan membebani masyarakat.
Untuk solusi jangka panjang, pemerintah perlu lebih dari sekadar memberikan subsidi musiman. Saat ini, pembangunan infrastruktur lebih mengutamakan keuntungan bisnis daripada kepentingan rakyat, dengan banyak proyek yang tidak tepat sasaran serta minimnya perhatian terhadap perbaikan jalan dan sistem transportasi yang aman.
Akibatnya, masyarakat masih harus mengalokasikan 25-30% pendapatannya untuk transportasi. Berdasarkan Travel and Tourism Competitiveness 2019, Indonesia hanya menempati peringkat ke-66 dari 140 negara dalam hal transportasi publik, mencerminkan rendahnya kualitas layanan. Jika sistem transportasi nasional terus didominasi paradigma kapitalisme, harapan akan transportasi yang murah, aman, dan berkualitas hanya akan menjadi angan-angan.
Infrastruktur Transportasi Dalam Islam
Dalam sistem Islam, pembangunan infrastruktur transportasi bukan sekadar proyek ekonomi atau bisnis, tetapi bagian dari tanggung jawab negara dalam mengurus rakyat (riayah syu’unil ummah). Negara Islam memastikan bahwa infrastruktur transportasi dirancang dan dibangun dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat, efisiensi, dan kemudahan akses bagi semua orang, bukan hanya demi kepentingan segelintir elite atau investor.
Pertama, negara sebagai pelaksana, Bukan Sekadar Regulator. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menyerahkan pembangunan transportasi kepada swasta dengan orientasi profit, Islam menetapkan bahwa negara bertanggung jawab penuh dalam penyediaan infrastruktur transportasi. Negara tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga aktor utama dalam membangun dan mengelola transportasi untuk kepentingan rakyat. Jika diperlukan, negara dapat melibatkan tenaga ahli atau kontraktor dari sektor swasta, tetapi mereka hanya berperan sebagai pelaksana proyek, bukan pemilik infrastruktur atau penentu kebijakan tarif.
Kedua, pendanaan infrastruktur Transportasi dalam Islam. Pembangunan infrastruktur dalam Islam dibiayai dari sumber pendapatan negara yang halal, seperti fai, kharaj, jizyah, ghanimah, dan harta kepemilikan umum (migas, listrik, sumber daya alam). Pendapatan ini masuk ke Baitulmal, lembaga keuangan negara dalam Islam yang berfungsi untuk membiayai kebutuhan masyarakat termasuk transportasi. Dengan demikian, rakyat tidak dibebani pajak tinggi atau biaya mahal untuk mengakses layanan transportasi.
Ketiga, pembangunan berbasis perencanaan yang matang. Islam menekankan perencanaan kota dan transportasi yang memperhatikan kebutuhan riil penduduk. Contohnya, pada masa Khilafah Abbasiyah, kota Baghdad dibangun dengan tata letak yang strategis agar penduduk dapat mengakses pusat perdagangan, pendidikan, dan perkantoran dengan mudah. Infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan sistem drainase dirancang untuk mendukung aktivitas ekonomi dan sosial.
Keempat, transportasi yang Nyaman dan Aman bagi Semua. Islam tidak hanya memperhatikan ketersediaan infrastruktur tetapi juga memastikan aspek keselamatan dan kenyamanan. Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah berkata,
“Seandainya ada seekor keledai terperosok di Baghdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah akan meminta pertanggungjawabanku di akhirat.” Ini menunjukkan bahwa pemimpin Islam sangat peduli terhadap keamanan transportasi, bahkan untuk hewan sekalipun.
Kelima, teknologi dan inovasi dalam transportasi Islam. Sejak masa kejayaan Islam, kaum Muslim telah berkontribusi dalam pengembangan teknologi transportasi. Ilmuwan seperti Abbas Ibn Firnas bereksperimen dengan konsep penerbangan, sementara insinyur di Cordoba membangun jalan beraspal yang dilengkapi penerangan pada abad ke-10 Masehi, jauh sebelum kota-kota di Eropa. Prinsip inovasi ini tetap diterapkan dalam sistem Islam, memastikan bahwa teknologi transportasi terus berkembang untuk melayani rakyat dengan lebih baik. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban mengatakan,
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ
“Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, istri yang salihah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman.”
Kebijakan mudik gratis dan diskon tarif transportasi yang diberikan pemerintah menjelang Lebaran 2025 memang meringankan beban masyarakat, tetapi tetap bersifat musiman dan tidak menyentuh akar masalah mahalnya biaya transportasi di Indonesia. Selama sistem transportasi masih berorientasi bisnis dan dikuasai swasta, harga tiket dan tarif tol tetap tinggi di luar musim tertentu.
Terlebih, berharap transportasi gratis di sistem demokrasi kapitalisme hanyalah utopis. Dengan demikian, untuk solusi jangka panjang membutuhkan peran aktif negara dalam menyediakan transportasi yang murah, aman, dan berkualitas bagi seluruh rakyat, bukan sekadar kebijakan populis yang bersifat sementara, dan itu hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam.
Views: 4
Comment here