Oleh: Anita S
Wacana-edukasi.com –Kutatap wajahku di cermin. Masih saja tak ada perubahan yang signifikan. Padahal aku sudah berkali-kali memakai cream pencerah wajah merk terkenal ini. Kulit pipiku masih terlihat sama dengan beberapa minggu yang lalu. Kuning kunir bosok, nggak bisa di sebut hitam juga nggak bisa disebut kuning. Dihiasai dengan bekas jerawat masa puber laksana gugusan bintang bertaburan di Kutub Selatan. Bedanya jika langit di Kutub Selatan nampak semakin indah dan menarik, akan tetapi gugusan bintang di wajahku membuatnya semakin buthek dan suram.
Kuraba bibirku yang tebal, tak ada indah-indahnya jika dipadu dengan bentuk wajahku. Ah, sial mengapa aku dilahirkan dengan bentuk wajah pas-pasan seperti ini. Di antara organ yang menempel di wajahku, hanya hidungku yang terlihat sedikit aman. Hidungku tak terlalu tajam menjulang, namun cukup menarik untuk dilihat.
Pinset pencabut alis, bergerak dengan gemulai membentuk lengkungan unik di atas mata. Aku hanya perlu mengambil beberapa rambut liar yang membuat alisku nampak berantakan. Selebihnya gak ada masalah, masih bisa diperindah meski tak seeksotis alis mbak KD. Setelah merapikan alis, kusapukan foundation ke seluruh wajahku tipis-tipis agar tak membentuk garis aneh di sekitar mulutku saat tersenyum. Aku sangat tergantung pada kosmetik yang satu ini untuk menutup kekurangan wajahku.
Bedak tabur berwarna beigh kuterapkan di atas foundation tipis-tipis. Dalam sekejap warna kulitku terlihat lebih rata. Perlahan kusapukan warna kesukaan di atas kelopak mata dan pipiku. “I’am ready,” kataku dalam hati setelah mengoleskan lipstik berwarna cokelat hangat di bibirku.
Kupandangi penampilanku sekali lagi. Nampaknya ada yang kurang sempurna. Yah, tubuhku layaknya papan cucian. Depan belakang rata. Pantas saja tak ada satu pun lelaki yang melirikku. Mungkin aku perlu menambahkan sesuatu agar dadaku telihat lebih berisi. Dua potong kain kuselipkan di dalam pakaian dalamku. Perfect, aku suka sekali. Penampilanku terlihat sedikit sexy.
Nora si kuda besiku melesat dengan kecapatan sedang. Angin yang bertiup membuat pakaianku melambai-lambai. Bentuk tubuh yang tersembunyi di dalamnya pun sedikit terekspos. Aku puas, saat setiap kali berpapasan dengan lelaki mereka mengarahkan pandangannya kepadaku.
“Assalamualaikum pengantin baru, samawa, ya.” Kusapa teman kantorku yang baru seminggu lalu menggelar pernikahannya. Namanya Rahma, umurnya baru 22 tahun. Ia beruntung sekali, dengan fisik yang ukurannya pas-pasan ia bisa mendapat jodoh mirip Maher Zein. Wajah berikut kepala botaknya, ups.
“Terimakasih kak Rindu, semoga kak Rindu segera dipertemukan dengan jodohnya.”
“Amin,” ucapku tulus dan ikhlas. Kugeser dudukku mendekat kepada Rahmah. Gadis berkerudung panjang yang tak kusangka akan laris manis dalam hal percintaan.
“Ra, apa rahasianya nih bisa cepet ketemu jodoh?” Kulihat raut muka Rahmah memerah.
“Rahasia apaan sih kak, nggak ada.” Ia membaantah ucapanku. Nada-nadanya ia ingin menyembunyikan jurus jitu mencari jodoh yang ia miliki dariku.
“Rahasia itu tuh, gimana ceritanya si Hasan kok bisa kepincut sama dirimu.” Rahmah tersipu-sipu mendengar pertanyaanku.
“Maksud kak Rindu apa yang menyebabkan Mas Hasan memutuskan memilihku menjadi istrinya?” Aku mengangguk cepat. Jiwa jomlowatiku meronta-ronta.
“Kata Mas Hasan, setelah ibunya shalat Hajat dan shalat Istikharah beberapa kali beliau bermimpi Mas Hasan menyebut namaku. Bahkan di hari ketiga ibu Mas Hasan bermimpi melihatku dan memelukku. Setelah berkenalan denganku dan memastikan kita punya visi dan misi yang sama, ya, udah dilanjut keperlamanin. Cuma begitu saja, kok.”
Mataku terpana pada keterangan Rahmah, mungkinkah semudah itu ia bertemu jodohnya? Wallahua’lam, yang terjadi memang demikian.
“Masa, sih, Ra?” Kupikir harusnya aku yang menikah lebih dulu dari dia. Sebab umurku lebih dewasa, di samping pengalamanku juga lebih banyak. Kecuali tentang pernikahan, dalam bidang yang satu ini IQ-ku sering mengalami penurunan daya.
“Eh Ra, kira-kira kapan, ya, jadwal jodohku datang?”
“Ya, aku gak tau, Kak. Itu rahasia Allah.”
“Jujur, aku sempat iri kepadamu, Ra. Usiamu lebih muda, wajahmu tergolong biasa saja. Tetapi, dalam hal jodoh aku kalah darimu 1-0. Bahkan si cantik Meira juga kalah darimu.” Ramnah hanya tersenyum menanggapi ocehanku. Tangannya sibuk bekerja.
“Memangnya kak Rindu ingin suami seperti apa, sih? Kalau kriteria Rahmah simpel aja Kak, pokokknya lelaki tulen, saleh, bertanggung jawab penuh pada istri dan keluarga sudah cukup. Perkara wajah, terserah Allah deh. Pas dapat yang good looking, bagi Rahmah itu bonus.” Otakku berputar kembali ke kriteria sederhana yang mirip dengan apa yang Rahma sampaikan.
“Gak jauh beda, kok, Ra, aku pengen suami yang saleh, sabar, penyayang, dan bertanggung jawab itu aja, kok.”
“Hmm … itu aja, ya, Kak? Beneran?” Entah mengapa aku mencium gelagat tidak clear pada kalimat Rahmah.
“Tunggu, ada apa nih kok sepertinya kalimatmu mengandung sesuatu?” Rahmah menundukkan kepala. Sepertinya ia ragu untuk menyampaikan isi hantinya.
“He he … Rahmah takut kak Rindu tersinggung,” ujarnya polos.
“Ngomong aja, mood-ku lagi bagus nih.”
“Kak Rindu, beneran pingin suami yang saleh?” Aku mengangguk.
“Kata ustadku, kalau mau punya suami saleh kita juga harus salihah.”
“Eh, memangnya aku bukan wanita salihah?” Jujur, aku sedikit tersinggung. Rahmah terdiam mendengar jawabanku. Beberapa saat kemudian ia tersenyum tipis.
“Tadi Kak Rindu sudah berjanji tidak marah padaku. Kuharap kak Rindu menepati janji.” Ah, apa pun yang terjadi aku harus berusaha menahan diri untuk tidak marah, meskipun ada rasa celekit di dalam hatiku.
“Atau mungkin jodoh Kak Rindu saat ini sedang menunggu Kak Rindu berproses menjadi wanita salihah?” ucap Rahmah pelan. Kalau kalimat yang terakhir ini aku suka mendengarnya. Diksinya soft dan makjleb di hati.
“Apa mungkin begitu, ya?”
“Mungkin saja Kak, kak Rindu orangnya baik banget. Shalat lima waktu jalan, sayang pada orang tua, suka membantu sesama, dan bersedekah. Pasti Allah sayang sama Kak Rindu dan telah menyediakan jodoh teraik untuk kakak. Cuma kurang dikit aja.”
“Maksudnya yang dikit itu apa?” sahutku dengan cepat.
“Itu penampilannya kurang salihah,” jawab Rahmah dengan nada pelan. Dari warna suaranya tergambar dia berusaha untuk tidak menyinggungku.
“Memang bagaimana penampilan wanita salihah itu?” Aku terus mengejar Rahmah dengan berbagai pertanyaan yang muncul di benakku.
“Sepertinya Kak Rindu harus nambah amunisi ilmu agama agar bisa menyempurnakan diri menjadi wanita salihah.”
Aku terdiam, sesekali kulihat diri ini di cermin. Apa yang Rahmah katakan memang benar. Meskipun belum berhijab sempurna seperti Rahmah aku buktikan kualitas agamaku baik. Shalat lima waktuku istikamah di awal waktu, puasaku juga istikamah, dan aku berusaha untuk berbuat baik kepada siapa pun semampuku. Namun, untuk urusan penampilan, aku lebih memilih biasa saja. Rambutku kutata simpel dan bajuku juga lumayan tetutup. Apakah mungkin aku harus menggunakan gamis dan kerudung seperti yang dipakai Rahmah? Memangnya hanya baju seperti itu yang bisa dikategorikan wanita salihah bagi yang memakainya? Entahlah, kurasa ini bukan perkara yang mudah. Mungkin apa yang dikatakan Rahmah aku butuh tambahan amunisi untuk menjadi salihah.
“Ra, kamu ngajinya di mana, ya?” tanyaku hati-hati.
“Di Masjid dekat rumah, Kak. Seminggu sekali tiap hari Jumat. Kak Rindu mau ikut?”
“Hmm, kulihat jadwal dulu deh. Kalau pas kosong aku akan ke sana.” Mau bilang “iya” langsung, jujur aku malu.
(Bersambung)
Views: 13
Comment here