Bahasa dan SastraCerpen

Tubuhku bukan Milikku (Bagian 3)

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anita S

“Eh, maksud Kak Rindu yang mana?”

Aku meringis, maksudnya perkataanku tadi adalah doa dan harapanku. Bukan menginginkan salah satu diantara pria yang hadir tadi.

“Itu cuma asa, Ra.”

“O ….” Bibir Rahmah membulat.

“Kalau dikabulkan, sih, gak papa,” ujarku pelan.

“Www.ngarep.com,” sahut Rahmah. Aku sendiri tersipu-sipu dengan ucapanku.

“Udah, ya Ra, aku pulang dulu.”

Aku menghidupkan si Mio merah dan segera melesat membelah kepadatan arus lalu lintas sore hari. Ada satu rasa tenang dan nyaman di hati pasca menghadiri pengajian hari ini. Namun, ada juga rasa sesak karena belum bisa menjalankan aturan-Nya.

Kebiasaanku setelah beraktivitas di luar adalah memanjakan diriku dengan melakukan SPA mandiri dan perawatan agar selalu terlihat segar meski diriku tak terlalu cantik. Aku juga punya misi mengikis sedikit demi sedikit noktah hitam yang mengotori kulit wajahku.

Tubuhku adalah milikku, jika tidak dirawat mana bisa ia menjadi indah. Sebab, tubuhku inilah modalku untuk bekerja, Bersosialisasi dengan masyarakat, dan juga modalku untuk mencari jodoh.

Masker spirulina berwarna hijau tua, kuoleskan ke seluruh wajahku dengan merata. Sambil menunggu nutrisi yang ada di dalam masker meresap aku berselancar di dunia maya.

Sebuah notivikasi telepon dari Rahmah masuk muncul di layar monitor HP-ku.

[Assalamualaikum, Say.]

[Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.]

Setelah menjawab salam, Rahmah terisak-isak. Sampai beberapa menit belum ada satu patah kata yang keluar dari lisannya. Hanya isakan tangis yang semakin terdengar jelas. Kubiarkan beberapa saat meskipun rasa ingin tahuku sudah sampai ubun-ubun.

[Kak, Rahmah sekarang ada di RSUD.]
Mataku terbelalak mendengar jawaban Rahmah. Apa yang terjadi dengannya?

[Ada apa, Ra? Siapa yang sakit?]

[Mas Hasan kecelakaan, Kak, hu … hu … hu…]

[Innalillahi wainnailaihi raaji’un, bagaimana keadaan suamimu, Ra?]

[Mas Hasan mendapatkan luka di kepala Kak dan harus segera dioperasi sebab ada pembuluh darah yang pecah di otaknya. Dokter memberikan keterangan untuk menyiapkan uang sebanyak 40 juta Kak untuk operasi malam ini.]

Mendengar cerita Rahmah, meskipun bukan istrinya, aku ikut panik dan juga binggung. Mana kaki ini juga ikut gemetar.

[Terus bagaimana, Ra?]

[Rahmah maupun Mas Hasan gak ada kak malam ini uang segitu banyaknya. Sebab tabungan Rahmah dan Mas Hasan baru saja terkuras untuk pernikahan.]

Sejenak hening. Aku tahu kemana arah pembicaraan Rahmah.

[Kak, kami hanya punya uang 10 juta, bisakah Kak Rindu meminjami sisanya. Agar Mas Hasan bisa dioperasi malam ini?]

30 juta bukanlah angka kecil bagiku. Untuk mendapatkannya aku butuh waktu 3 tahun. Aku juga harus berhemat agar bisa menabung sebanyak itu. Tapi jika aku tidak membantu, bagaimana nanti aku menghadap kepada Allah. Sudah muka pas-pasan, ilmu agama pas-pasan, ibadah cuma segitu doang, masa aku gak punya seuatu yang berharga di hadapan Allah. Belum lagi kalau yang dikatakan Azam benar adanya, bahwa Allah punya perintah khusus kepada wanita dalam berbusana dan berhias. Jadi berapa karung banyaknya dosa-dosaku?

Kupaksakan diri untuk membantu Rahmah dengan meminjami sejumlah uang yang dia butuhkan. Toh cuma pinjam, nanti juga dikembalikan dan aku tetap bisa membeli tanah kavling untuk persiapan rumah masa depan barangkali suamiku nanti tak bisa membelikanku rumah.

[Baik Ra, aku pinjemin. Tetapi kapan kira-kira akan dikembalikan?]

[Kata keluarga mas Hasan sekitar satu atau dua bulan
Kak, setelah keluarga menjual tanah pekarangan ibu Mas Hasan.]

[Baiklah, aku akan menyusulmu. Tolong beri aku alamat rumah sakitnya.]

Rahmah mengirimkan alamat rumah sakit tempat suaminya dirawat lengkap dengan google map. Setelah kubersihkan kembali mukaku, aku meluncur ke RSUD dengan Mio merah kesayangan.

40 menit perjalanan sampailah aku di RSUD. Di IGD kutemui Rahmah yang duduk lemas menemani sang suami.

“Ha?” Mulutku menganga lebar saat kulihat keadaan Hasan. Muka tampannya “hancur”, luka gores dan robek merubah wajahnya yang semula mirip Maher Zein menjadi seperti Hulk yang bengkak di sana dan di sini. Kepala dan rambutnya penuh darah.

“Ya Allah … mudah sekali engkau merubah keadaan seseorang,” ucapku dalam hati. Seandainya yang terbaring itu aku, maka ratusan ribu uang yang kugunakan untuk membeli skincare dan lainnya sepertinya tak berguna. Sedangkan yang bisa menolongnya adalah amal perbuatan. Seandainya Rahmah tidak baik kepadaku, mungkin aku tak mau membantunya. Seandainya aku tak mengenal Rahmah sebagai seseorang yang taat kepada Allah, jujur, dan menepati janji, dan senang mengajak orang lain untuk taat kepada Allah, jujur aku juga tak akan percaya kepadanya.

Aku tersenyum kepada Rahmah kemudian menemaninya mengurus administrasi. Aku bersedia menjaminkan tabunganku untuk kelancaran proses operasi suami Rahmah.

Menunggu jalannya operasi besar ternyata membuat perutku terasa melilit. Bukan karena belum makan, mungkin karena tegang dan sedikit stres.

Satu-persatu saudara Hasan datang ke RSUD. Yang mengejutkan, Ustaz Sholihin moderator pangajian yang ganteng dan suaranya seperti Bilal juga datang.

“Rahma, bagaimana keadaan Kakak Hasan?”

Aku menoleh kepada mereka berdua. “Kakak Hasan?” Ustaz Sholihin memanggil suami Rahmah dengan panggilan kakak?

“Mas Hasan masih ada di ruang operasi, Dik. Bagaimana dengan Ibu? Apa Ibu sudah tahu?” Hah, mereka ternya bersaudara.

Ustaz Sholihin mengangguk. Dengan hati-hati ia bertanya kepada Rahmah perihal keuangan untuk biaya operasi hari Hasan. Rahmah menceritakan jika biaya operasi hari ini sebagian besar ia pinjam dariku.

“Terimakasih Mbak …? Mbak?”

“Rindu, nama saya Rindu,” jawabku dengan semangat.

Setelah mengucapkan terima kasih, Ustaz Sholihin segera memalingkan mukanya. “Ih, ini orang gak sopan banget pada orang yang sudah menolong keluarganya.” Aku berguman.

Melihat mukaku bersungut-sungut Rahmah mendekatkan mulutnya di telingaku. Dia membisikkan sesuatu, “Kak Rindu, mohon maaf dan harap maklum. Ustaz Sholihin tidak berkenan memandang aurat Kak Rindu.”

“Aurat?” kataku penuh tanya.

“Iya, itu dan itu!” Rahmah menunjuk kepada rambut dan leherku.

Alamak, rupanya aku yang belum terbiasa memakai busana muslimah ini lupa jika Ustaz Sholihin adalah orang berilmu yang tahu tentang tata cara pergaulan pria wanita yang benar. Pantas saja ia memalingkan wajahnya.

Sekarang, giliran aku yang menundukkan kepala. Menutup wajah dengan geraian rambut.

Operasi berlangsung sangat lama, aku dan Rahmah tertidur di ruang tunggu. Tak lupa kututup kepalaku dengan bergo yang menempel di jaket sehingga rambut juga leherku tak terekspos dan menyebabkan Ustaz Sholihin enggan melihatku.

Setelah sekitar lima jam perawat membawa Hasan keluar dari kamar operasi menuju ICU. Lega hatiku saat menguping pembicaraan dokter dengan keluarga Rahmah. Beliau menyampaikan jika operasi berjalan lancar. Berikutnya tinggal pemulihan dan beberapa terapi.

“Alhamdulillah, kalau begitu Kak Rindu pulang dulu, ya, Ra?” Aku harus pulang untuk istirahat. Besok aku harus masuk kerja.

“Tapi Kak ini sudah jam 2 malam? Apa kak Rindu berani pulang sendiri?”

Aku meringis mendengar kalimat Rahmah. Tentu aku harus berani, mau sama siapa lagi? Keluargaku di desa. Suami aku belum punya. Pacar, apalagi.

“Gak apa-apa, Ra. Aku pulang sendiri. Lagian aku juga bukan wanita cantik yang menarik orang untuk berlaku gak sopan karena kecantikanku atau bagusnya body-ku. Postur tubuhku tak menarik, Ra, untuk diganggu.” Aku tertawa setelah menyanggah kekhawatiran Rahmah.

“Biar aku yang antar, Ra. Gimana-gimana Kak Rindu adalah seorang wanita, tetap saja menarik bagi lelaki.”

“What’s?” Tubuhku rasanya mau melayang dan terbang di udara mendengar pujian dari Ustaz Sholihin. Baru kali ini ada lelaki yang memujiku. Saleh dan kriteriaku banget. Oh my God, ya Allah, ya Rabbi, sisakan satu ini untukku. Please ….

Kutundukkan mukaku di hadapan Ustaz Sholihin. Aku merasakan wajahku seperti mi rebus, eh salah maksudnya kepiting rebus, merah merona.

Aku mengendarai Mio merah di depan, sedangkan Ustaz sholihin mengendarai Megapro di belakangku. Seandainya boleh teriak maka akan kukatakan, “Mak, anakmu diantar pulang sama calon mantu.”

(Bersambung)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 41

Comment here