Opini

Udara Bersih Bebas Polusi, Bisakah Terwujud Kembali?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Fatinah Rusydayanti

Wacana-edukasi.com, OPINI— Udara bersih seharusnya menjadi hak setiap orang. Namun, udara bersih kini terasa eksklusif. Anak – anak hingga lansia, tidak sedikit dari mereka yang ikut kena imbas udara tercemar. Udara yang tercemar dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan pernapasan ringan hingga penyakit serius seperti kanker paru-paru. Seakan tak cukup pada manusia saja, polusi udara juga berdampak negatif pada lingkungan dan perubahan iklim.

Polusi udara memang menjadi tantangan dunia saat ini. Bahkan ada peringatan tersendiri untuk memperingati hari udara bersih. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 7 September sebagai Hari Udara Bersih Internasional yang pertama kali diperingati pada tahun 2019. Tanggal ini ditetapkan oleh PBB sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran global akan pentingnya udara bersih dan mendorong tindakan untuk mengurangi polusi udara.

Berdasarkan laman resmi PBB, UN Environtment Programme, www.unep.org pada 7 September 2024, menyatakan “Dunia memperingati Hari Udara Bersih Internasional kelima untuk langit biru hari ini dengan seruan untuk berinvestasi dalam solusi udara bersih sekarang (“Invest in #CleanAirNow”), karena polusi udara menyebabkan kerusakan kesehatan masyarakat, lingkungan, dan ekonomi yang semakin meningkat. Lebih dari 99 persen umat manusia sekarang menghirup udara yang tercemar, menyebabkan lebih dari 8 juta kematian setiap tahun, termasuk lebih dari 700.000 anak di bawah lima tahun.”

Melalui UNEP (UN Environment Programme), juga mendorong dunia untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk sumber listrik, industri dan transportasi, dengan mempercepat transisi ke energi yang berkelanjutan atau EBT (Energi Baru Terbarukan).

Energi Baru Terbarukan (EBT) berasal dari tenaga surya, angin, air, dan biomassa, yang dikatakan menawarkan solusi yang sangat menjanjikan untuk mengatasi masalah polusi udara yang semakin parah di banyak kota di dunia, termasuk Indonesia. Kita mungkin sering mendengar segudang manfaat dari EBT, bahkan sebelum 2019, pengenalan EBT sudah masuk dalam kurikulum pendidikan. Transisi ke EBT, memanglah di gadang – gadang punya segudang manfaat dan solusi untuk terbebas dari polusi. Diantaranya, tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca. Berbeda dengan pembangkit listrik berbasis fosil yang melepaskan karbon dioksida dan polutan lainnya, EBT menghasilkan energi bersih tanpa menghasilkan emisi berbahaya. EBT juga mencegah perubahan iklim yakni dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, EBT berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang juga berdampak pada kualitas udara. Ia juga dapat meningkatkan kualitas udara lokal: Penggunaan EBT di tingkat lokal, seperti panel surya di rumah atau pembangkit listrik tenaga angin kecil, dapat langsung mengurangi polusi udara di sekitar kita. Selain itu, menjadi sumber energi yang berkelanjutan yakni EBT merupakan sumber energi yang tidak akan habis, sehingga kita tidak perlu terus-menerus bergantung pada bahan bakar fosil yang terbatas.

Namun, benarkah kita bisa benar – benar terbebas dari polusi dengan hanya mengandalkan transisi kepada EBT? Nyatanya transisi ke EBT tidaklah menyentuh akar masalah dari problem polusi udara ini.

Akar Masalah Polusi Udara

Negara-negara di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika seringkali menempati urutan teratas sebagai penyumbang polusi udara terbesar di dunia. Data dari IQAir, peringkat negara dan wilayah paling berpolusi berdasarkan konsentrasi rata-rata tahunan PM2,5 (μg/m³) dari tahun 2018 – 2023, sepuluh teratas ialah Bangladesh, Pakistan, India, Tajikistan, Burkina Faso, Iraq, United Arab Emirates, Nepal, Egypt, dan Democratic Republic of the Congo. Adapun salah satu faktor penyumbang terbesar dari polusi udara di negara – negara tersebut adalah pabrik – pabrik dan aktivitas industri lainnya yang menghasilkan berbagai jenis polutan udara, seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan partikulat.

Ada yang lucu ketika kita mencari tahu bahwa kepemilikan atas pabrik dan industri tersebut justru dipegang oleh negara lain. Negara di Eropa dan Amerika Serikat justru menjadi mayoritas pemilik pabrik di Asia Selatan. Di Amerika Serikat perusahaan seperti Apple, Samsung, dan Intel memiliki rantai pasok yang melibatkan pabrik-pabrik di India dan Vietnam. Ford dan General Motors juga memiliki kehadiran di India. Adapun negara Eropa, milik Jerman ada Volkswagen, BMW, dan Mercedes-Benz, Siemens memiliki fasilitas produksi di India. Inggris pun turut andil, Banyak perusahaan multinasional asal Inggris, terutama di sektor keuangan dan jasa, memiliki pusat layanan pelanggan atau pusat pengembangan perangkat lunak di India. Beberapa merek fashion Prancis juga membangun pabriknya di Bangladesh dan India. Dan masih banyak lagi.

Biaya produksi yang lebih rendah seperti upah tenaga kerja yang lebih murah, biaya operasional yang lebih rendah, dan insentif pemerintah menjadi daya tarik dan alasan utama Amerika Serikat dan Eropa membangun pabrik di Asia Selatan. Akses ke pasar yang lebih besar dan kedekatan dengan Sumber Daya Alam juga menjadi alasan lainnya. Alasannya berkutat pada meningkatkan keuntungan yang lebih besar, terlepas dari dampak alam yang mereka berikan. Keuntungan bagi mereka negara yang katanya maju, sedangkan polusinya bagi negara berkembang

Sesungguhnya keserakahan kapitalis lah yang menjadi akar masalah polusi ini. Para kapitalis berlomba-lomba memperbesar dan memperbanyak pabrik demi meningkatkan skala ekonomi. Skala ekonomi sendiri adalah konsep dalam ekonomi yang menjelaskan bagaimana biaya produksi per unit suatu barang atau jasa dapat menurun seiring dengan peningkatan jumlah produksi. Sederhananya, semakin banyak suatu perusahaan memproduksi, semakin murah biaya produksi untuk setiap unit produknya. Maka tak jarang angka produksi jauh melampaui kebutuhan atau permintaan konsumen, sehingga yang terjadi kelebihan produksi yang sia – sia.

Kita lihat pada fenomena fast fashion, dimana pabrik memproduksi pakaian dengan jumlah banyak dan cepat sehingga pakaian bisa sangat terjangkau. Namun dampaknya? Industri fast fashion menghasilkan limbah tekstil yang besar dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah. Bahan sintetis yang digunakan dalam fast fashion tidak dapat terurai. Dalam e-journal yang berjudul “Dampak Fast Fashion Dan Peran Desainer Dalam Menciptakan Sustainable Fashion” juga dikatakan bahwa industri fast fashion menjadi salah satu penyumbang polusi udara, yakni bertanggung jawab atas sekitar 10% emisi gas global yang menyebabkan pemanasan global. Juga disebutkan bahwa beberapa merek fashion membuang limbah pakaian jadi mereka ke negara berkembang. Dan masih banyak lagi dampak lingkungan yang diberikannya.

EBT Bukan Solusi Mutlak

Transisi ke EBT, jelas hanya akan menjadi solusi tambal sulam apabila akar masalahnya belum disentuh. EBT hanya akan menjadi ladang bisnis baru yang menggiurkan, bukan dipandang sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Realitasnya, propaganda seputar energi terbarukan atau EBT adalah komersialisasi dari krisis lingkungan. Mereka menyadari adanya dampak negatif bahan bakar fosil terhadap perubahan iklim, sehingga para kapitalis melihat adanya peluang baru dengan memanfaatkan peluang untuk mempromosikan solusi energi alternatif. Namun, infrastruktur energi yang ada saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, sehingga transisi ke energi terbarukan butuh upaya ekstra dan mahal. Selain itu, industri bahan bakar fosil yang saat ini masih menguasai pasar selama puluhan tahun tentu tidak akan suka ketika dominasinya dilepas.

Investasi besar – besaran terhadap EBT belum menunjukkan keseriusan untuk mengatasi masalah lingkungan. Jika benar – benar serius, perlu adanya pendalam terhadap pemahaman kapitalisme yang bergantung pada standar untung – rugi semata. Walau sejatinya transisi pada Energi Terbarukan memanglah punya segudang manfaat bagi Bumi tetapi apabila tidak ada keseriusan untuk mengatasinya yang terjadi hanyalah isu lingkungan ini digoreng sedemikian rupa untuk dimanfaatkan membuka lini bisnis baru dan meraup keuntungan sebesar – besarnya di tengah kerusakan lingkungan dalam hal ini polusi udara yang mengancam tidak hanya manusia tapi bumi dan seisinya. Jangan harap bisa kembali menghirup udara bersih jika akar masalahnya tidak tertuntaskan.

Pandangan Islam

Jadi, cukup jelas bahwa alasan utama mengapa kita masih bergelut dalam polusi udara yang tak kunjung usai ini adalah karena sistem kapitalisme. Sistem yang hanya membantu sekelompok kecil pemilik modal, dan peran pemerintah hanya sebagai regulator yang tetap membiarkan membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan. Hal ini sangat berbeda dengan Islam, di mana pemimpin sejatinya adalah raa’in, yakni pelayan dalam urusan rakyat yang secara totalitas mengurus semua orang, termasuk menyelesaikan masalah seperti polusi.

Islam punya solusi dalam setiap lini kehidupan. Dikutip dari muslimahnews.net (21/11/23), setidaknya ada tiga prinsip yang seharusnya negara lakukan sebagai raa’in. Pertama, kebijakan yang pro rakyat dengan tidak sembarang memberi izin perusahaan atau industri beroperasi tanpa disertai penanganan AMDAL dan limbah secara komprehensif. Apalagi jika berkaitan dengan perusahaan yang memproduksi SDA yang mestinya dikelola negara. Harta milik umum seperti tambang batu bara dan sebagainya harus dikelola secara mandiri oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada individu, asing, maupun swasta.

Kedua, menerapkan pola hidup bersih dan sehat seperti yang dianjurkan dalam Islam. Di antara banyaknya polutan dan limbah adalah diterapkannya sistem hidup kapitalistik yang membuat konsumerisme terus membudaya. Pola hidup kapitalistik lah yang membuat manusia tidak memiliki kesadaran dalam menjaga lingkungan dan alam bersama-sama. Kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan menghilang seiring kerakusan dan ketamakan yang terpelihara dalam kehidupan sekuler kapitalisme.

Ketiga, memberi sanksi tegas yang berefek jera, termasuk kepada penguasa. Pemimpin yang melalaikan amanah atau melakukan pelanggaran diberi sanksi teguran hingga pemecatan oleh Qadhi Mazhalim. Pelanggaran berat terhadap syariat Islam tidak akan ditoleransi dalam bentuk apapun, terutama menyangkut keselamatan rakyat.

Dengan tiga prinsip ini, insya Allah tupoksi negara akan terlaksana dengan baik dan berangsur – angsur mengembalikan bumi yang sehat melalui penerapan Islam secara kaffah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.

Wallahu a’lam Bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here