Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI– Uang Kuliah Tunggal (UKT) mengundang perdebatan keras menjelang masuknya tahun ajaran baru 2024/2025. Pasalnya, sejumlah kampus negeri telah menetapkan besaran UKT bagi mahasiswa baru yang angkanya mengalami kenaikan tidak wajar, dibanding tahun ajaran sebelumnya,(cnnindonesia.com).
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, misalnya, menaikkan UKT hingga mencapai 50%. Sementara UKT di Universitas Jenderal Sudirman, naik melambung sangat jauh, kenaikannya mencapai 300-500%, (kompas.com).
Hal ini mengundang gelombang protes dari mahasiswa. Memang benar, Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 telah memberikan kebebasan kepada perguruan tinggi untuk menentukan besaran biaya kuliah. Namun menurut Wakil Ketua Komisi X, Dede Yusuf, peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat untuk membiarkan perguruan tinggi menaikkan biayanya secara signifikan,(kompas.com).
Buntut dari isu kenaikan UKT di perguruan tinggi negeri ini, Komisi X DPR RI dikabarkan akan memanggil Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, untuk membahasnya, (detik.com).
Kenaikan UKT tentu berakibat fatal pada dunia pendidikan hari ini. Salah satunya adalah sulitnya masyarakat mengakses pendidikan tinggi. Efek jangka panjangnya adalah negeri ini kekurangan generasi terdidik yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini. Jadilah bangsa ini berpotensi menjadi jajahan bangsa lain.
Sebenarnya bisa dipahami, mengapa perguruan tinggi tidak bisa keluar dari ketetapan biaya kuliah yang tinggi. Diakui atau tidak, pendidikan negeri ini sedang berada di bawah tata kelola yang kapitalistik dan liberal. Alhasil, komersialisasi pendidikan tak terelakkan, pendidikan tak ubahnya barang komoditas yang diperjualbelikan untuk meraup keuntungan darinya. Siapapun yang memiliki uang, dia akan mendapatkan kualitas pendidikan terbaik, sebaliknya yang tidak memiliki uang, jangankan menempuh pendidikan di perguruan tinggi biasa, untuk bisa kuliah saja tidak mampu.
Komersialisasi pendidikan ini adalah hal mutlak dalam sistem ekonomi Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Konsekuensinya, negara lepas tangan dari membiayai pendidikan warga negaranya. Subsidi pendidikan harus dicabut sedikit demi sedikit. Faktanya, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjend Dikti, hanya 0,6% dari APBN atau sekitar Rp 8,2 triliun dari 29 triliun rupiah atau 2,7% yang dianggarkan untuk seluruh jenjang pendidikan.
Sementara pada saat yang sama, kampus dituntut untuk unggul dan berkelas dunia dengan predikat World Class University (WCU). Semua ini tentu membutuhkan dana yang besar, jika mengandalkan dana dari APBN yang sangat sedikit dipastikan tidak akan cukup. Imbasnya, kampus harus terseok-seok untuk membiayai operasional yang begitu tinggi dan meningkatkan kualitasnya.
Kampus pun menempuh berbagai cara untuk mendapatkan dana, diantaranya mencari proyek yang menghasilkan cuan, membuka jalur mandiri yang sangat mahal, membuka berbagai macam program studi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar, termasuk dengan menaikkan UKT. Komersialisasi pendidikan ini, juga semakin nyata dengan adanya regulasi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Istilah PTN-BH merupakan status yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri di Indonesia untuk mendapatkan otonomi atau kemandirian dalam mengelola perguruan tinggi sendiri, seperti mengurusi keuangan, aset dan SDM. Tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi kampus, akan tetapi sebenarnya otonomi tersebut telah memberikan keleluasaan kepada kampus untuk menaikkan UKT mahasiswa, karena disesuaikan dengan kebutuhan operasional kampus, pasca subsidi pendidikan dari negara berkurang.
Telah nyata bahwa mahalnya biaya pendidikan, merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak akibat tata kelola negara yang kapitalistik. Tata kelola pendidikan yang kapitalistik, mengharuskan negara berlepas tangan dari kewajiban utamanya, sebagai pelayan rakyat termasuk dalam menjamin pendidikan setiap individu rakyatnya. Satu-satunya jalan untuk menghidupkan kembali fungsi shahih negara sebagai pengurus dan pelayan umat, hanyalah melalui penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan hadis tersebut, maka negara dalam Islam berkewajiban memenuhi kebutuhan hidup manusia. Islam telah menetapkan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar yang wajib disediakan negara bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan. Kesempatan pendidikan terbuka lebar, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tanggung jawab negara terhadap pendidikan adalah sama, baik terhadap fakir miskin maupun orang kaya, muslim maupun non muslim, negara wajib menyediakannya untuk seluruh warga dengan cuma-cuma.
Politik ekonomi Islam akan mencegah negara menjadikan pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi, sebagaimana realita dalam sistem Kapitalisme saat ini. Negara Khilafah wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pembelajaran, internet dan lain sebagainya. Negara khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi pengajar. Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari Baitul Maal, yakni dari pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum).
Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘ammah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Pembiayaan ini akan sangat cukup menjamin pendidikan gratis seluruh warga negara Khilafah. Sungguh pendidikan berkualitas dan gratis tanpa pungutan sepeser pun, hanya terwujud dalam Khilafah Islam.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 34
Comment here