Opini

UMKM Digenjot, Ekonomi Rakyat Masih Melorot Islam Solusinya

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ainun Istiharoh (Mompreneur)

wacana-edukasi.com, OPINI– Usaha mikro, kecil, dan menengah atau biasa kita kenal dengan UMKM, merupakan istilah yang santer di telinga kita sejak tahun 2008. Keberadaan dan keberlangsungannya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 12 Agustus telah diperingati sebagai hari UMKM Nasional. Tujuannya agar lebih memperhatikan pentingnya keberadaan UMKM sebagai penggerak roda ekonomi bangsa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (detiknews, 10/08/23).

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim menyampaikan harapan saat perayaan hari UMKM pada 10-13 Agustus 2023 di Yogyakarta, agar UMKM mampu bersaing di tataran global dengan merambah platform digital (detikjateng, 10/08/23). Anggapannya agar mampu memberi peluang besar dalam meraup keuntungan di era digitalisasi.

Jumlah UMKM yang ada di Indonesia sampai saat ini mencapai 64,3 juta, atau 99% dari total unit usaha yang ada. Menurut Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, UMKM tersebut mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak 120 juta dari target pemerintah sebesar 134 juta. Sungguh jumlah yang fantastis. Namun, apakah pencapaian tersebut menjadi prestasi dan jaminan bagi kesejahteraan rakyat?

Ilusi Kesejahteraan Ala Kapitalisme

Jauh sebelum Indonesia merdeka, ekonomi dunia banyak diwarnai dengan aktivitas perdagangan. Artinya, salah satu cara mendapatkan penghasilan adalah dengan berdagang. Meningkatnya pendapatan secara otomatis akan memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Maka sampai kapanpun aktivitas berdagang akan selalu hidup dimanapun dan kapanpun.

Perdagangan bisa dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok, hanya saja aktivitas dagang memerlukan modal yang tidak sedikit. Sedangkan tidak semua orang memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, konsep kapitalis fokus pada perorangan yang memiliki modal untuk melakukan proses produksi dan diharapkan mampu memberi efek berupa terbukanya lapangan kerja dan meningkatnya keuntungan. Itulah yang sering disebut sebagai Trickle down effect (menetes kebawah). Namun, fakta ini perlu dilihat, apakah konsep tersebut efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Jelas bahwa hal ini tidak efektif, karena semakin berkembangnya teknologi, pemodal menggunakan bantuan alat-alat berupa mesin dalam proses hulu hingga hilir karena mampu memangkas biaya produksi berupa gaji tenaga kerja manusia. Alhasil, pengangguran di Indonesia masih tinggi.

Tercatat melalui Badan Pusat Statistik, hingga Februari 2023 jumlah pengangguran sebanyak 7.99 juta orang. Hal ini menjadi sesuatu yang wajar ketika para pemodal memiliki prinsip yang tidak manusiawi, yaitu menghasilkan untung sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya. Tenaga kerja mereka ganti dengan mesin, bahan baku mereka ambil dari melimpahnya kekayaan alam yang sebenarnya itu adalah milik umum. Pada akhirnya, sistem kapitalis akan memperkaya para pemodal dan menambah jumlah angka pengangguran.

Baru-baru ini, pemerintah memunculkan narasi bahwa UMKM mampu melahirkan trickle down effect sebagaimana yang dilakukan para pemodal kelas kakap. Hal ini menjawab realita bahwa keberadaan para oligarki tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah melakukan banyak cara untuk memunculkan UMKM baru dengan memberi modal kredit pinjaman berbunga rendah. Geliat ini telah nampak di Indonesia dan masih eksis bertahan hingga sekarang meskipun negara dilanda krisis ekonomi, bahkan meski dunia dilanda pandemi.

Banyak pakar melihat ketahanan UMKM terhadap krisis ekonomi menjadi nilai plus untuk terus mendukung berdirinya UMKM. Namun perlu dilihat, bahwa UMKM tidak dapat bersaing dengan perusahaan kelas kakap yang memiliki modal besar dengan segala alat canggih serta digitalisasi media yang mereka kuasai.

Pemasaran produk mereka di zaman digital ini mampu mendongkrak keuntungan perusahaan kelas kakap tanpa perlu meningkatkan biaya untuk gaji karyawan pemasaran. Maka jika dilihat dari segi keuntungan, UMKM masih kalah jauh dengan perusahaan kelas kakap.

Eksistensi UMKM tetap bertahan di Indonesia karena kebanyakan prinsip ekonomi UMKM yang dimotori oleh kalangan menengah kebawah adalah, asalkan modal kembali, tanpa memikirkan seberapa besar keuntungan yang diperoleh dalam aktivitas dagangnya.

Berbeda dengan perusahaan kelas kakap yang semuanya dinilai dengan kacamata untung rugi, sehingga dari sisi ketahanan, mereka lebih mudah terguncang apabila ada krisis ekonomi atau pandemi. Jika demikian, apakah UMKM memiliki peran besar dalam meningkatkan kesejahteraan, jika lawannya adalah oligarki dalam memproduksi dan menjual barang?

Kesejahteraan tidak hanya dilihat dari terserapnya tenaga kerja, namun dilihat pula dari seberapa besar pendapatan yang didapat untuk memenuhi kebutuhan hidup per orang. Jadi masalahnya sekarang adalah, bukan tidak adanya pekerjaan, namun tidak adanya pihak/sumber dana yang dapat menggaji pekerja tersebut. Mana mungkin UMKM dengan keuntungan yang bersaing dengan kelas kakap dapat menggaji karyawan dan menjadi penjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Sedangkan kebutuhan pokok masyarakat kian mahal dengan tuntutan gaya hidup yang semakin tinggi.

Islam Menawarkan Solusi Komprehensif

Sistem ekonomi Islam tidak lepas dari sistem politiknya yang bertujuan untuk mengurusi urusan rakyatnya. Menciptakan masyarakat yang sejahtera dengan aturan syariat. Sistem ekonomi Islam berpangkal pada konsep kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Individu diberikan peluang yang besar untuk meningkatkan pendapatan, salah satunya dengan cara berdagang. Hanya saja individu dilarang menggunakan/ menguasai kekayaan milik umum sebagai bahan baku produksi dalam berdagang. Kekayaan milik umum akan dikelola oleh Negara yang hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat. Sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasul saw. bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu api, padang rumput, dan api.”

Hadis ini menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat yang berasal dari kekayaan umum bisa didapatkan secara gratis. Sebab dalam Islam kekayaan milik umum wajib dikelola oleh Negara untuk keperluan masyarakat. Misalnya saja, kebutuhan masyarakat akan air, rakyat akan menikmatinya tanpa harus membayar. Begitu juga listrik, rakyat tidak perlu memikirkan bagaimana membayar listrik. Kebutuhan pokok lainnya, berupa kesehatan dan keamanan juga turut menjadi tanggung jawab negara, sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang untuk memenuhinya.

Negara menyediakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat agar tetap mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan. Semisal keperluan memasak, alat makan, dan keperluan sekunder-tersier lainnya tanpa berlebihan.

Negara menciptakan sistem perdagangan pasar bebas yang berlandaskan syariat Islam. Negara juga menjaga ketakwaan individu sehingga tercipta suasana keimanan dalam dunia perdagangan. Maka, muncullah persaingan yang sehat antar pedagang tanpa dibumbui dengan trik kotor dan curang yang menyalahi syariat.

Apabila kebutuhan pokok telah dipenuhi, lapangan kerja tersedia dan keuntungan dalam berdagang didapat dengan cara yang sehat, apakah masih ada rakyat yang tidak sejahtera?
Tentu tidak ada. Semua itu dapat diwujudkan dalam sistem Islam di bawah naungan daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 30

Comment here