Oleh : Sartinah (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– ‘Dagelan’ hukum kembali dipertontonkan para penegaknya. Hal ini terkait dibebaskannya dua pelaku pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Cikampek pada 2020 silam. Darah sudah kadung tertumpah, tetapi keadilan tak kunjung diterima. Justru para pelakulah yang menghirup nikmatnya udara kebebasan. Jika mentalitas para penegak hukum cenderung pada yang dominan (meski salah), lantas kepada siapakah rakyat meminta keadilan?
Keadilan seakan telah mati setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan dua polisi terdakwa pembunuhan laskar FPI, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella bebas dari hukuman. Meskipun dalam dakwaan primer jaksa, keduanya terbukti melakukan tindakan melawan hukum yakni menghilangkan nyawa orang lain. Dalam pertimbangannya, hakim menjelaskan bahwa keduanya masuk dalam kategori pembelaan diri dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. (Republika.co.id, 18/3/2022)
Vonis Lepas yang Mengecewakan
Kematian enam laskar FPI yang dibunuh secara sewenang-wenang tentu tak bisa dilupakan dari ingatan. Tak hanya kehilangan nyawa, para korban pun sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Menyaksikan fakta tersebut, kewarasan publik turut meronta. Beragam tanya tersimpan dalam benak. Apa salah mereka hingga harus ditumpahkan darahnya? Terlebih, hal itu dilakukan oleh pihak yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat.
Fakta ini pun berujung mengecewakan karena ketuk palu majelis hakim justru membebasakan terdakwa dari segala pidana dengan dalih membela diri. Padahal, perbuatan pidana tersebut masuk dalam dakwaan primer jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP. Mirisnya lagi, selain menetapkan vonis lepas, hakim pun memerintahkan untuk memulihkan kemampuan, hak, dan martabat kedua polisi tersebut.
Putusan lepas tersebut pun mendapat respons beragam dari berbagai pihak. Menurut Ketua Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPA) Ahmad Khozinudin, putusan lepas terhadap dua terdakwa pembunuh enam laskar FPI menunjukkan kepada publik bahwa hukum dan keadilan di negeri ini telah mati. Menurutnya lagi, seharusnya kedua terdakwa diadili pelanggaran HAM, bukan peradilan perkara biasa. (Republika.co.id, 18/03/2022)
Murahnya Nyawa dalam Demokrasi
Buntut panjang dari vonis lepas terdakwa pembunuh laskar FPI jelas melukai hati keluarga. Selain itu, fakta tersebut juga akan menutup mata pelaku dan pihak-pihak yang ada di belakangnya. Bahkan, bukan hal yang mustahil jika hal ini akan menjadi legalisasi pembunuhan terhadap rakyat biasa oleh pihak kepolisian. Atas nama pembelaan diri, aparat kepolisian akan dengan mudah menghilangkan nyawa manusia.
Inilah buah dari penerapan sistem demokrasi sekuler yang menafikan aturan Tuhan. Demokrasi yang konon katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia, yakni hak hidup, nyatanya tak sejalan dengan realitas. Buktinya, banyak darah yang tertumpah sia-sia hanya karena tuduhan yang belum tentu kebenarannya. Misalnya terhadap kasus-kasus terduga terorisme yang acap kali dibunuh tanpa pernah sampai ke pengadilan.
Tak hanya itu, independensi penegak hukum pun patut dipertanyakan. Banyak fakta membuktikan bahwa para penegak hukum acap kali tidak berpihak pada yang benar, tetapi pada mereka yang membayar atau berkuasa. Alhasil, hukum pun seperti pisau dapur. Hanya tajam pada pihak yang lemah (meski benar), tetapi tumpul terhadap mereka yang berkuasa (meski salah). Inilah wajah asli demokrasi yang tersembunyi di balik slogan ‘kerakyatan’.
Keadilan Hukum Islam
Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam mengatur berbagai hal termasuk menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dengan kekhasan yang dimilikinya, Islam menjadi satu-satunya ideologi terbaik dalam melakukan penjagaan terhadap nyawa manusia. Karena itu, Islam telah tegas melarang berbuat zalim terhadap orang lain termasuk membunuh.
Larangan membunuh tanpa hak dijelaskan dalam firman Allah Swt. Surah Al-Maidah ayat 32:_” … Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya …. “_
Demikian besarnya perhatian Islam terhadap nyawa manusia, sehingga melarang pihak mana pun berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain. Apalagi dengan menggunakan kekuasaannya. Karena itu, jika ada individu, masyarakat, maupun aparat negara yang membunuh tanpa alasan yang dibenarkan, Islam telah menyediakan sanksi tegas. Sanksi tersebut dijamin memberi efek jera bagi para pelaku dan menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama.
Sanksi terhadap para pelaku berupa jinayat (tebusan darah) dan qishaash (dibunuh). Qishaash ditetapkan pada tindak kejahatan pembunuhan dan penganiayaan fisik, baik sengaja maupun tidak. Qishaash berarti sanksi yang setara dengan kejahatannya. Jika membunuh, maka pelakunya harus dibunuh. Pelaku juga bisa membayar diat jika pihak keluarga korban memaafkan. Besaran diat yang harus dibayarkan juga mengacu pada ketetapan syariat.
Di sisi yang lain, para pejabat maupun penguasa yang lahir dari sistem Islam tidak akan menjadikan hukum sebagai alat untuk melegalkan pembunuhan terhadap rakyatnya. Apatah lagi menyalahgunakan kekuasaan untuk membela yang bayar.
Khatimah
Sudah saatnya umat meninggalkan sistem batil demokrasi sekuler yang telah nyata mengebiri hak hidup manusia. Kemudian kembali pada sistem Islam yakni Khilafah. Di bawah naungan Islam, nyawa manusia benar-benar mendapat perlindungan. Di bawah fondasi akidah Islam pula, lembaga peradilan akan bebas dari tarik-ulur kepentingan.
Wallahu ‘alam bishshawab
Views: 6
Comment here