Opini

Urgensitas Pembangunan IKN, untuk Siapa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Dwi P Sugiarti (Aktivis Muslimah Majalengka)

wacana-edukasi.com– Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memastikan proyek pembangunan Ibukota baru di Kalimantan Timur tetap dilanjutkan meski pandemi.

“Pembangunan IKN ini menjadi salah satu lokomotif pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19,” kata Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman melalui pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (22/4/2021)

Menurut Fadjroel, total pembiayaan yang dibutuhkan untuk IKN mencapai Rp 500 triliun. Hal ini tentu akan menarik investasi yang cukup besar dari sektor swasta serta berdampak pada pembukaan lapangan kerja baru. Menurut penghitungan Bappenas, untuk pembangunan konstruksi Rp 1 triliun bisa menarik 14 ribu tenaga kerja.

Pembangunan Bernuansa Kapitalistik

Sekilas pembangunan ini akan berdampak positif terutama dalam upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi. Pembukaan lahan kerja baru tentu menjadi peluang besar bagi masyarakat luas. Namun benarkah hal tersebut akan secara langsung memberikan dampak positif terutama bagi rakyat secara luas?

Pasalnya pembangunan IKN juga menuai beragam kritik. Banyak pihak yang memandang, belum cukup alasan ibu kota berpindah saat sekarang. Apalagi anggaran yang dibutuhkan sangatlah besar. Padahal situasi keuangan negara hari ini sedang dalam keadaan morat marit. APBN selalu tekor. Utang luar negeri terus menumpuk. Sampai-sampai demi alasan menutup defisit anggaran, negara berkali-kali mengeluarkan kebijakan yang membuat hidup rakyat makin kesulitan.

Terlebih, di luar soal anggaran, banyak pula yang menyorot dari sisi aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, hingga aspek politik yang tentu tak bisa disederhanakan, apalagi diabaikan. Mereka melihat, biaya sosial, ekonomi, dan budaya yang harus dibayar akan sangat besar. Karena memindahkan ibu kota tentu tak semudah pindah rumah.

Belum lagi soal aspek lingkungan. Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia. Andai diubah menjadi ibu kota —sekalipun hanya untuk administrasinya—, tetap saja akan berdampak pada perubahan lingkungan. Pertumbuhan kawasan-kawasan ekonomi baru tak mungkin dihindarkan. Dan dampaknya, tentu saja akan memicu konversi lahan secara besar-besaran.

Soal anggaran, pemerintah memang beralasan, tak akan menggunakan anggaran negara kecuali 19 persennya saja. Namun, penjelasan soal skema anggaran ini justru menguatkan adanya upaya kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi yang lebih masif dan merata. Mengingat para pelaku bisnis yang nanti akan terlibat, tentu adalah para kapitalis level naga, yang orientasinya tak semata demi kepentingan negara, tapi akan berhitung soal profit atau kompensasi yang harus didapatkan.

Apalagi Jokowi juga menjelaskan nantinya mereka akan membangun kerja sama dengan sistem investasi dan tidak ada skema pinjaman. Wajarlah jika banyak yang curiga, bahwa di balik rencana pemindahan ibukota, ada proyek bancakan dari berbagai korporasi kelas naga, baik level lokal maupun level internasional. Maklumlah, sistem politik di Indonesia, memang meniscayakan demikian. Politik kekuasaan, tak bisa dipisahkan dari permainan para pemilik modal. Bahkan, para pemilik modal menjadi penopang utama kekuasaan.

Salah satu bukti kecilnya, rencana proyek mercusuar ini serta merta membuat girang para spekulan tanah dan para pengusaha properti karena dipandang berimbas positif bagi proyek padat modal mereka. Bahkan, proyek belum dimulai pun, beberapa dari mereka sigap memanfaatkan isu pemindahan ibu kota sebagai tagline iklan penjualan produk properti mereka.

Di sisi lain, ada pula yang menghubungkan rencana pemerintah ini dengan kepentingan asing dalam proyek OBOR Cina dan wacana The New Jakarta Project 2025 yang juga disebut sebagai visi Singapuranisasi Jakarta. Hal ini melengkapi kecurigaan yang tengah berkembang di tengah masyarakat terkait ambisi Cina menguasai Indonesia melalui pembiayaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang super masif, sistematis, dan terstruktur di berbagai tempat lainnya.

OBOR (One Belt One Road) adalah proyek pemerintah Cina untuk mengembalikan kejayaannya menguasai jalur sutra di masa lalu melalui upaya penyambungan urat nadi perdagangan dunia. Melalui proyek ini dibangunlah megainfrastruktur di titik-titik jalur perdagangan sutera baru, dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi mereka di dunia.

Pemerintah Indonesia dan Cina juga intens membangun kerjasama-kerjasama dagang yang berbasis pengurangan atau penghapusan tarif bea masuk barang dan jasa. Wajar, munculnya semua polemik terkait pemindahan ibu kota adalah sesuatu yang lumrah. Terlebih performa rezim ini memang lekat dengan paradigma kapitalis neoliberal dan dikenal sangat dekat dengan pemerintahan Cina, bahkan nampak sangat bergantung kepadanya.

Realitasnya, semua kebijakan dan proyek pembangunan yang digagas oleh rezim ini memang sangat berpihak pada kepentingan para kapitalis, bil khusus kapitalis Cina. Bahkan, pemerintah Indonesia seakan memberi karpet merah pada mereka untuk lebih masif mengeksploitasi sumber daya milik kita, memanfaatkan tenaga kerja murah dari kalangan masyarakat kita, serta menjadikannya sebagai objek pasar besar bagi barang-barang produksi mereka.

Paradigma Islam Soal Kepemimpinan

Kondisi ini tentu tak akan terjadi jika paradigma yang digunakan negara adalah paradigma kepemimpinan Islam. Karena Islam menjadikan fungsi kepemimpinan negara sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyat, tanah air, dan kedaulatannya.

Dalam Islam, negara tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan rakyat, apalagi hingga menyerahkan kedaulatannya. Bahkan melalui penerapan seluruh aturan Islam, tertutup celah bagi pihak manapun untuk menguasai aset-aset strategis yang bisa menjadi jalan penjajahan asing atas wilayah negara meski hanya sejengkal.

Negara dalam Islam, akan memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki, untuk menyejahterakan rakyatnya dengan pendekatan person to person, baik untuk hal terkait kebutuhan dasar maupun terkait kebutuhan komunal alias layanan publik melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Negara akan memiliki modal cukup untuk membangun tanpa harus tergantung kepada permodalan dan bantuan tenaga asing.

Islam menetapkan, seluruh sumber daya alam yang depositnya melimpah adalah milik rakyat. Demikian pula sumber-sumber kekayaan berupa air, energi dan hutan. Sehingga tak diperkenankan pihak manapun menguasainya, sekalipun atas izin negara. Bahkan negara diharamkan membuka celah ketergantungan pada asing, dengan alasan apapun.

Negara dalam Islam, wajib memastikan bahwa seluruh kebijakannya memang didedikasikan untuk kemaslahatan rakyat dan memperkuat kedaulatan negara. Namun realisasi ini terjadi jika negara menerapkan seluruh aturan Islam secara murni dan konsekuen atas landasan keimanan dan ketakwaan. Sebab amanah kepemimpinan ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Tatkala lalai atau khianat, maka mereka diancam dengan hukuman yang berat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.(HR. Tirmidzi)

“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum Muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here