Oleh : Lely Novitasari
Aktivis Generasi Peradaban Islam
Tragedi Kanjuruhan masih menjadi perbincangan dunia, dianggap mencoreng wajah sepak bola Indonesia, bahkan dunia. Disebut sebagai salah satu bencana kerumunan paling mematikan yang pernah tercatat. Mengakibatkan banyak korban wafat dan luka-luka bahkan masuk dalam peringkat ke-2 di dunia. Jelas tragedi ini harus segera diusut tuntas dan sangat perlu dievaluasi.
The Washington Post menyebut polisi sedikitnya menembakkan 40 amunisi diantaranya gas air mata, flash bang dan flare ke arah kerumunan dalam rentang waktu 10 menit, hal ini disebut sebagai pelanggaran dalam protokol nasional dan pedoman keamanan internasional untuk pertandingan sepak bola, hingga akhirnya membuat penonton panik dan berdesakkan menunju pintu keluar tribun. Walaupun pihak keamanan menganggap hal tersebut bisa dibenarkan karena “ada anarki”, namun para ahli pengendalian massa yang meninjau rekonstruksi video yang disediakan oleh The Post tidak setuju.
Namun, sikap pemerintah yang turut meninjau tempat kejadian, baru memerintahkan untuk mengaudit lokasi tempat tragedi di stadion. Pertanyaan yang muncul kenapa tak sedikitpun menyinggung penggunaan gas air mata di dalam stadion?
Di lain kesempatan pada Senin siang di Markas Besar Polri, pihaknya menampik bahaya yang ditimbulkan dari gas air mata. Bahkan setelah disinyalir gas air mata tersebut telah kadaluwarsa pihak polri tidak menyangkal. Dalam konferensi pers pihak polri berpendapat gas air mata yang kadaluwarsa tersebut tidak dapat menyebabkan kematian. Polri memiliki pendapat bahwa penyebab kematian ratusan suporter karena kekurangan oksigen di area pintu yang sulit terbuka.
Ironi, pendapat di atas dikeluarkan oleh aparatur negara. Bagaimana perasaan duka yang menyelimuti para korban dan keluarga yang ditinggalkan? Tentu sangat berharap adanya ketegasan dalam mengusut dengan tuntas insiden yang terjadi.
Mengingat peristiwa sebelumnya diawali reaksi para suporter yang turun ke lapangan, namun cara penanganan yang dilakukan dinilai berlebihan. Terlebih penggunaan gas air mata dilarang digunakan di dalam stadion. Hilangnya ratusan nyawa bukan sekedar deretan angka. Di sana ada anak, orangtua, kerabat serta masa depan yang tak bisa dikembalikan.
Jika kondisi stadion saja dievaluasi, begitupun seharusnya kinerja cara penanganan pihak berwenang juga panitia penyelenggara selayaknya juga harus dicermati dan dievaluasi sebagai bentuk keseriusan mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan agar tak kembali berulang.
Namun belum adanya sanksi tegas dan yang terjadi justru saling lempar tanggung jawab. Bahkan pasca insiden diketahui FIFA tidak memberikan sanksi kepada PSSI. Ini menciderai hati masyarakat yang berharap adanya tindakan tegas.
Diketahui pertandingan sepak bola bukan semata pemainan olahraga. Banyak cuan yang dihasilkan dalam bidang ini membuat banyak pihak melirik untuk mengambil keuntungan besar. Sebut saja FIFA sebagai asosiasi nirlaba yang dalam setiap event pertandingan sepakbola dunia selalu mendapat keuntungan yang menggiurkan. Diketahui FIFA bisa meraup US$4,8 miliar pendapatan dari piala dunia tahun 2014. dan US$2,6 miliar laba untuk asosiasi itu. Bahkan Piala Dunia 2018 menghasilkan pendapatan sekitar US$6 miliar untuk FIFA. Wow nilai yang sangat fantastis!
Saat rekronstruksi pada tanggal 19 oktober, publik dibuat heran. Berdasarkan rekonstruksi tak ada penembakan gas air mata ke arah tribun stadion. Nampak berbeda dengan temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan juga yang terekam dalam beberapa video yang beredar. Kejanggalan ini tentu membuat publik bertanya-tanya, akankah tragedi ini dapat diusut dengan tuntas?
Ironinya, beredar foto yang menunjukkan kurangnya empati yang semakin mengundang kritikan tajam publik. Sebab di tengah situasi yang masih berduka usai tragedi yang menewaskan ratusan orang, justru melakukan permainan sepak bola antara pengurus PSSI dan Presiden FIFA.
Pertanyaannya, mengapa penanganan tragedi Kanjuruhan terkesan diremehkan? Bukankah ini urusan nyawa ratusan warganya?
Sepakbola sebagai Bisnis
Pengusutan kasus tragedi ini tak luput dari aturan yang diterapkan oleh negara. Pertandingan sepak bola bukan sekedar olahraga. Faktanya nampak banyak cuan yang dihasilkan dari pertandingan tersebut. Niscaya untung-rugi akan menjadi pertimbangannya. Inilah wajah sistem kapitalisme yang memiliki turunan sekular dalam menjalankan aturannya. Setiap peluang untuk mendapatkan keuntungan diambil ialah cerminan perbuatan penerapan ide kapitalisme.
Walaupun proses pencarian siapa yang harus bertanggung jawab masih terus diproses, namun tidak adanya empati atau bahkan pemfakuman sementara kegiatan sepak bola juga para penyelenggara hal ini dapat menimbulkan gejolak ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum di negeri ini.
Islam menawarkan solusi atas segala permasalahan kehidupan yang terjadi. Sebagaimana firman Allah Swt dalam menjaga nyawa manusia;
“… barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya …( QS. al- Maidah: 32).
Meski tragedi Kanjuruhan merupakan akibat kelalaian, tapi nyawa yang hilang lebih dari seorang merupakan persoalan serius yang seharusnya bisa segera ditangani. Tak ada asap kalau tak ada api. Paniknya suporter lari dan berdesakkan ke atas tribun pasti ada sesuatu yang dihindari. Hal itu merupakan bagian dari naluriah mempertahankan diri. Namun seharusnya tindakan yang diberikan tak perlu represif hingga menilmbulkan kepanikan yang berujung cedera dan kematian hingga ratusan korban.
Islam sangat menjaga satu nyawa manusia. Bahkan hancurnya ka’bah lebih ringan dari hilangnya nyawa manusia tanpa haq. Begitu luar biasa penjagaan aturan Islam terhadap keberadaan manusia. Maka hukum akibat kelalaian tetap harus ditegakkan dengan tegas. Terlebih ratusan nyawa yang telah menjadi korbannya.
Solusi Islam
Pertama, diberikannya sanksi tegas kepada para penyelenggara akibat dari kelalaiannya hingga gas air mata bisa lolos dan digunakan di dalam stadion.
Kedua, pihak aparat keamanan juga harus diberikan sanksi tegas/hukum qishas karena penyalahgunaan gas air mata yang berujung membuat para suporter panik dan berdesakkan hingga menyebabkan malapetaka hilangnya ratusan nyawa.
Ketiga, negara mencegah segala bentuk permainan yang berpotensi terjadinya fanatisme berlebihan.
Islam memberikan hukuman tegas pada setiap pelaku tanpa pandang bulu. Lebih dari itu ketegasan hukum dalam Islam bisa sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebusan dosa) hingga di akhirat perbuatan itu tak kan dihukum lagi dengan siksaan yang abadi.
Di dunia hukuman ini memberikan efek jera dan dapat mencegah pelaku melakukan kelalaian/ kejahatan yang sama, juga memberikan peringatan pada masyarakat lainnya.
Sejarah mencatat, sepanjang kurun waktu pemerintahan kekhilafahan Ustmaniyah hanya ada sekitar 200 kasus yang diajukan ke pengadilan. Angka yang terbilang sangat kecil untuk rentang waktu yang panjang.
Begitulah ketika Islam dijadikan sebuah aturan dalam segala aspek kehidupan. Memberikan rasa aman untuk setiap nyawa yang berada di dalamnya. Tak inginkah kita merasakannya?
Wallahu’alam bishowab
Views: 7
Comment here