Oleh : Irawati Tri Kurnia (Ibu Peduli Umat)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Pemerintah mengatakan penurunan kelas menengah menjadi ambang rentan miskin tidak hanya terjadi di Indonesia. Pemerintah beralasan jika problem itu terjadi hampir di semua negara karena ekonomi global turun akibat ada pandemi Covid-19 yang berlangsung selama 2 hingga 3 tahun. Jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya diungkap Kepala Badan Pusat Statistik atau BPS Amalia Adininggar, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Artinya ada sekitar 9,48 juta orang yang keluar dari kategori kelas menengah dan turun ke kategori yang lebih rendah. Jika dihitung dari besaran Garis Kemiskinan atau GK 535.547 per kapita per bulan, maka pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851,-/per hari masuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan. Ini artinya warga Indonesia dengan penghasilan di bawah Rp 535.547 per kapita masuk kategori tidak mampu. Sementara itu, batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi $ 3,65 atau Rp 55.590 per orang Per hari, dari sebelumnya 3,2 atau Rp 48.740/hari.
Sementara itu batas kelas penghasilan menengah ke atas menjadi $ 85 atau Rp 101.432,5 per hari dari sebelum nya $ 5,5 atau Rp 83.675 per hari (www.kompas.id, 15 Januari 2024 ) (1). Sungguh standar di luar nalar. Jika untuk membeli seporsi bakso dan minum paling murah Rp 20.000,-, sehari makan 3x berarti Rp 20.000 x 3 = Rp 60.000; ini hanya biaya makan. Bagaimana dengan kebutuhan pakaian, ongkos transport, kebutuhan bayar kos/kontrakan/cicilan rumah? Memang kebutuhan hidup hanya makan?
Kemiskinan menjadi problem laten di negeri kita. Berbagai alasan yang disampaikan pemerintah sebagai alasannya, di mana efek pandemi salah satu di antaranya. Parahnya lagi, pemerintah menetapkan kategori standar miskin hingga kelas menengah ke atas dengan angka yang tidak masuk akal. Di tengah harga bahan pokok kian melonjak dan beban pajak kian bertambah, pandemi Covid-19 memang memberikan dampak yang luar biasa. Tapi sebelum pandemi terjadi, kemiskinan sudah melanda dunia, karena distribusi kekayaan tidak merata.
Sementara itu, distribusi kekayaan tidak merata terjadi karena sistem kepemimpinan kapitalisme. Karena sistem kapitalisme memperbolehkan kebebasan kepemilikan kebebasan. Ini berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Harta kepemilikan umum atau SDA (Sumber Daya Alam) bisa dikuasai para pemilik modal.
Padahal SDA adalah harta rakyat. Harta yang seharusnya digunakan untuk mengurus keperluan rakyat, seperti membiayai pendidikan, kesehatan, keamanan rakyat; sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan gratis. Kemudian SDA Migas bisa membuat rakyat mendapat subsidi BBM dan kebutuhan listrik dengan terjangkau. Pengelolaan SDA di lapangan secara mandiri akan membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat.
Akibat SDA tidak dikelola dengan benar, keuntungan kekayaan yang melimpah ruah itu masuk ke kantong-kantong para kapitalis alias pemilik modal atas nama legalitas undang-undang, sehingga rakyat dipaksa menerima. Dampaknya rakyat hidup dalam kemiskinan. Yang mengerikan, penyebab harta mereka dirampas adalah karena adanya persekongkolan antara para pemilik modal dengan penguasa. Maka tak heran pula masyarakat kelas berpenghasilan menengah ke bawah akhirnya juga masuk ke kelompok miskin. Ini akibat beban hidup saat ini sungguh berat.
Berbeda dengan sistem Islam yang mampu memberikan solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Dalam Islam, kemiskinan adalah jalan kebodohan dan kekufuran, sedangkan kesejahteraan adalah hak setiap individu. Standar kesejahteraan dalam sistem Islam adalah ketika setiap orang dapat terpenuhi kebutuhan asasi mereka, baik itu kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan; maupun kebutuhan dasar publik yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Untuk mewujudkan hal tersebut, sistem Islam akan mengatur tata kelola ekonomi negara sebagai berikut :
Pertama. Negara wajib menjamin kebutuhan pokok masyarakat dengan memberi kemudahan pada setiap laki-laki untuk bekerja. Jaminan ini bisa diwujudkan dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya di bidang industri, pengelolaan SDA, pertanian, perdagangan, dan bidang ekonomi lainnya. Negara bisa juga mengadakan pelatihan keterampilan agar laki-laki yang tidak bekerja bisa bekerja atau diberi modal untuk membuka usaha. Dengan jaminan pekerjaan kepada laki-laki, mereka akan dapat memenuhi kebutuhan pokok setiap anggota keluarganya.
Sedangkan untuk kebutuhan Pendidikan, Kesehatan, dan keamanan; negara wajib menjamin secara langsung. Biaya untuk menyediakan fasilitas tersebut berasal dari pos kepemilikan umum Baitul Mal. Jaminan dari negara terhadap kebutuhan ini akan membuat setiap warga, baik itu muslim atau non muslim, kaya atau miskin, bisa menikmatinya secara gratis.
Kedua. Negara mengatur dengan tegas regulasi kepemilikan individu umum dan negara sebagaimana yang telah ditetapkan syariat. Untuk kepemilikan umum, SDA haram hukumnya dikelola swasta. Pengelolaan kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung atau tidak langsung. Jaminan kebutuhan wajib memastikan distribusi kekayaan oleh individu, masyarakat dan negara.
Syariat Islam menetapkan ada tiga cara bentuk distribusi kekayaan, yaitu :
Pertama. Zakat
Kedua. Negara melakukan I’tha’, yaitu memberikan sebidang tanah kepada orang yang mampu untuk mengelolanya, dan
Ketiga. Penetapan aturan terkait pembagian harta waris. Di antara para ahli waris, mekanisme sistem ekonomi dalam Islam seperti ini sangat realistis mengangkat kemiskinan dari masyarakat.
Sistem Islam dengan keadilannya yang hakiki ini, hanya akan menjadi sebatas teori jika tidak diterapkan oleh sebuah negara Khilafah. Maka memperjuangkan tegaknya Khilafah menjadi sebuah keniscayaan.
Wallahualam Bisawab
Catatan Kaki :
(1) https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/14/menanti-pemerintah-buka-bukaan-data-kemiskinan-yang-sebenarnya?utm_source=whatsapp&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_website_traffic
Views: 12
Comment here