Oleh: Yuliyati Sambas, S.Pt. (Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
Wacana-edukasi.com — Pasca hampir setahun negeri ini bergumul dengan pandemi, telah menyisakan setumpuk problematika yang kian membentuk benang kusut. Utang adalah satu di antaranya.
Setelah menyabet “prestasi” negara pengutang ke-7 terbesar sedunia, kini justru membludaknya utang tampak menjadi sebuah kebanggaan. Ketika pada KTT G-20 pada 21-22 November 2020 lalu, Indonesia lolos menjadi satu di antara 44 negara yang mendapat fasilitas perpanjangan mencicil utang (Debt Service Suspension Inisiative) hingga 2021 mendatang (cnbcindonesia.com). Bahkan menerima fasilitas tambahan berupa pinjaman bilateral sebanyak Rp24,5 triliun (kompas.tv, 21/11/2020).
Padahal harta bumi pertiwi demikian melimpah. Adalah wajar ketika muncul pertanyaan, mengapa utang menjadi kian menggunung. Lebih miris di saat rakyatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kebutuhan asasi berupa sandang, pangan, papan, kian mahal dan tak terbeli. Sulitnya dalam mengakses kebutuhan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan kian menegaskan betapa kesejahteraan menjadi barang mahal di negeri dengan gelar gemah ripah loh jinawi ini.
Sejatinya ledakan utang bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Justru menampakkan betapa pemerintah telah gagal mengelola SDA dan kekayaan negeri. Itu karena negeri ini telah menyerahkan sebagian besar kekayaan bangsa pada para korporat. Sebesar-besar keuntungan tentu akan diraup oleh pemegang kapital. Sementara kelangsungan hidup rakyat dan negara justru diserahkan pada pemasukan pajak dan utang. Jadilah rakyat makin terhimpit dengan beragamnya jenis pajak. Utang negara pun pada akhirnya menjadi fokus pemerintah untuk dilunasinya. Urusan rakyat? Biarlah menjadi beban pikiran masing-masing.
Utang juga telah dijadikan metode penjajahan baku bagi negara-negara Barat. Digunakan untuk menekan negara berkembang dan miskin. Yang akan menjadikan kedaulatan bangsa pengutang kian tersungkur. Hingga bertekuk lutut di bawah hegemoni mereka.
Semua kemalangan di atas sesungguhnya berlaku karena pemerintah berkiblat pada sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Dimana merupakan salah satu komoditas pemikiran yang dijajakan negara-negara Barat. Sistem ekonomi yang nyata keberpihakannya kepada para kapital, bukan bagi rakyat. Dalam hal ini perdagangan, industri, dan alat-alat produksi diserahterimakan oleh pemerintah kepada pihak swasta yang tentunya memiliki tujuan hanya untuk memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Untuk pembangunan dan pengaturan urusan rakyat dibebankan pada utang dan pajak.
Lebih miris di saat hal itu diperkuat oleh payung undang-undang. Maka pemerintah dalam hal ini tampak hanya bertugas sebagai regulator dan fasilitator bagi berlangsungnya pengelolaan harta kekayaan negeri oleh para swasta. Pemerintah pada akhirnya tak mampu mengintervensi pasar untuk kepentingan rakyat banyak. Dimana pada akhirnya rakyat dibiarkan berjuang sendiri-sendiri dalam mengakses kebutuhan hidupnya tanpa adanya support dari pemerintah.
Sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam dalam memandang perkara ini. Sebagai satu sistem kehidupan yang bukan hanya mengatur urusan mahdhah. Melainkan mengatur pula semua perkara dan solusi atas problematika yang hadir dalam kehidupan manusia.
“…. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ….” (TQS. Al-Maidah: 3)
Islam memandang bahwa utang terlebih mengandung riba itu haram dan berkonsekuensi madarat baik bagi pribadi terlebih atas negara. Tak selayaknya negara mengurus rakyat menggunakan harta yang berasal dari utang. Dalam kondisi tertentu memang utang menjadi sesuatu yang diperbolehkan oleh syara, namun dengan beragam syarat yang mustahil akan memberi beban berat bagi negara terlebih atas rakyat sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme.
Untuk memberi pengurusan terbaik atas semua individu rakyat, pemerintah wajib mengelola harta kekayaan umum dan negara demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Terlarang diserahkan pada korporat terlebih asing.
Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya “Al-Amwal” menyatakan bahwa Islam menggariskan ada tiga pos pemasukan negara yang dipergunakan bagi pengurusan rakyat:
Pertama, harta kekayaan negara. Berupa pos fai’ dan kharaz, juga dharibah (pajak) yang hanya akan dipungut dalam kondisi ekstra ordinary yakni di saat kas negara mengalami defisit. Itu pun hanya berlaku atas lelaki muslim dari kalangan orang kaya saja.
Kedua, pos pemilikan umum berupa fasilitas dan sarana umum, sumber alam dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas dan melimpah.
Ketiga, pos sedekah. Dimana salah satunya menyimpan harta yang berasal dari zakat orang yang berada. Dimana kekayaannya telah mencapai batas sebagaimana syariat mengatur. Sementara pembelanjaannya akan diserahkan oleh negara hanya untuk delapan golongan (ashnaf) sebagaimana yang telah Allah tetapkan.
Maka melimpahnya pemasukan akan menghindarkan negara dari membludaknya utang. Namun demikian, sistem perekonomian yang sangat rinci di atas hanya bisa terwujud dengan support dari semua sistem Islam lainnya terlebih sistem pemerintahannya.
Betapa indah dan menenangkannya jika negeri ini bisa mengurus setiap hajat rakyat tanpa terbelenggu dengan jebakan utang.
Views: 0
Comment here