Oleh : Ummu Rifazi, M.Si.
wacana-edukasi.com, OPINI-– Pemerintah Amerika Serikat (AS) bersedia menghapus utang Indonesia senilai US$ 35 juta atau setara Rp 566 miliar dengan syarat Indonesia mau mengalihkan utang yang diputihkan tersebut untuk konservasi terumbu karang. Kesepakatan yang dikenal dengan istilah debt for nature swap itu ditandatangani oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu yayasan Konservasi Cakrawala Indonesia, Conservation International, Yayasan Konservasi Alam Nusantara dan The Nature Conservancy (TNC) pada tanggal 3 Juli 2024. Adapun yang ditunjuk menjadi administrator dana untuk kesepakatan konservasi terumbu karang tersebut adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) yang telah malang melintang selama 30 dalam konservasi darat dan laut.
Dengan ditandatanganinya kesepakatan ini, maka Indonesia telah melakukan empat kali perjanjian serupa dengan ‘Negeri Paman Sam’ ini. Jika ditotal, maka nilai keempat perjanjian tersebut sudah mencapai 70 juta dollar AS atau setara dengan Rp 1,1 Triliun (kompas.com, 17/07/2024).
Bencana Jeratan Utang
Dana ‘hibah utang’ tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan pelestarian kawasan lindung, meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan sekaligus untuk mendukung pengembangan mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat yang bergantung pada ekosistem terumbu karang. Asisten Menteri Perdagangan dan Pembangunan Internasional AS, Alexia Latourte, menyatakan bahwa Departemen Keuangan AS berkomitmen untuk memajukan upaya yang melindungi ekosistem yang berharga sambil mempromosikan pembangunan ekonomi (kompas.com, 17/07/2024). Diakui ataupun tidak, ‘komitmen’ AS ini sebetulnya adalah bencana, karena merupakan intervensi AS terhadap pengelolaan harta ‘pribadi’ dan pembangunan Indonesia, yang berpotensi mengancam kedaulatan negara.
Melansir modul digital Sistem dan Reformasi Ekonomi Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, sejatinya Indonesia memang terjerat dalam Sistem Ekonomi Kapitalis Neo liberal yang menjadikan utang sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara. Jumlah utang negara baik pokok maupun bunganya semakin hari semakin besar dan tiada habisnya. Kondisi ini akhirnya semakin mengokohkan hegemoni asing sekaligus ideologi kapitalis liberal liberalnya di negeri ini. Ketika jumlah utang luar negeri, baik bunga maupun pokoknya mencapai titik dimana negara tak sanggup lagi membayar pinjaman tersebut, mereka ‘dipaksa untuk tunduk’ kepada negara kapitalis pemberi pinjaman dan mengikuti kemauan mereka yang tertuang dalam berbagai kesepakatan atau kebijakan tertentu.
Padahal secara fitrahnya, ketika suatu negara memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan dikelola secara mandiri, maka rakyatnya akan hidup makmur dan sejahtera. Namun yang terjadi di negeri ini SDA yang seharusnya merupakan kepemilikan umum justru difasilitasi negara untuk bebas dikuasai dan dikelola swasta maupun perorangan. Yang terkini adalah penguasa Indonesia memberikan ijin pengelolaan tambang kepada ormas. Alhasil, hasil SDA yang seharusnya menjadi pemasukan utama negara untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya, justru hanya bisa dinikmati oleh segelintir manusia serakah. Karena minimnya pemasukan dari SDA tersebut, akhirnya negeri ini terpaksa ‘berhutang’ kepada negara kapitalis adidaya untuk membiayai pembangunan dan terjebak dalam siklus pembayaran utang yang tiada habisnya.
Islam Mencegah Intervensi Asing
Dalam Sistem Politik Ekonomi Islam, hutang luar negeri justru dicegah karena dipandang membuka lebar bagi intervensi asing dalam berbagai kebijakan yang diterapkan dalam sebuah negara. Posisi sebagai yang berhutang sangat berbahaya karena mengancam eksistensi suatu negara dan menyebabkan umat selalu berada dalam kondisi tertindas dan terpuruk (Al-maliki, Syekh Abdurrahman al-Maliki. Politik Ekonomi Islam. 2001).
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Amwal Fii Daulah al-Khilafah menjelaskan secara mendasar bahwa pinjaman dari negara-negara asing dan berbagai lembaga keuangan internasional tidak dibolehkan oleh syariat. Hal ini karena bentuk pinjaman seperti itu selalu terikat riba dan syarat-syarat tertentu. Islam secara tegas mengharamkan riba sebagaimana firman Allah ta’alaa salah satunya dalam QS Al baqarah ayat 275. Persyaratan yang menyertai pinjaman tersebut menjadikan negara kapitalis maupun lembaga keuangan yang memberikan pinjaman berkuasa atas kaum muslimin. Padahal Allah telah menegaskan dalam QS An Nisa ayat 141 bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum beriman (mukmin).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizamul Iqtishady menjelaskan bahwa negara yang menerapkan sistem politik ekonomi Islam beserta sistem Islam lainnya secara kaffah, tidak menjadikan utang sebagai pemasukan maupun pembiayaan berbagai kebutuhan negara. Sebagai gantinya keuangan negara akan dikelola dalam kas negara (baitul mal) yang sumber pemasukannya berlimpah dari tiga pos pemasukan.
Pos pertama adalah pos kepemilikan negara. Harta yang masuk ke pos pertama ini berasal dari (1) ghanimah (meliputi ghanimah, anfal, fai dan khumus), (2) kharaj, (3) status tanah (meliputi ‘unwah, usriyahash-shawafi, tanah milik negara, tanah milik umum, dan tanah-tanah yang diproteksi, 94) jizyah, (5) fai, (6) dharibah. Dana di Pos ini akan digunakan oleh negara untuk membiayai berbagai kebutuhan negara seperti menggaji pegawai, mendirikan industri berat, pembangunan infrastruktur, dan membiayai pasukan jihad.
Pos kedua adalah dari kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah), yaitu SDA seperti minyak dan gas, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan dan padang gembalaan, dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Pengelolaan harta di pos ini akan digunakan untuk membiayai bidang pendidikan, kesehatan dan keamanan sehingga dapat tersedia gratis bagi masyarakat. Negara pun dapat mengalokasikan harta di pos ini untuk biaya proteksi tertentu untuk konservasi atau hima.
Pos ketiga adalah zakat. Harta pada pos ini berasal dari zakat fitrah, zakat maal, infaq, shadaqah dan wakaf. Khusus pos ini, hanya akan disalurkan kepada yang berhak yaitu delapan golongan yang telah ditentukan oleh syariat.
Prinsip yang dipegang dalam pengelolan dalam baitul mal adalah kesederhanaan dan kemampuan untuk mandiri, serta mengoptimalkan SDA dan aset yang dimiliki negara, sehingga negara mampu berdaulat penuh tanpa intervensi dari negara manapun, termasuk berbagai lembaga keuangan kapitalisme.
Dengan pengelolaan keuangan negara yang mengikuti suri tauladan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, para khulafaur rasyidin dan para khalifah setelahnya ini, peradaban Islam terbukti mampu berjaya menaungi 2/3 dunia selama 1300 tahun. Selama kurun waktu ribuan tahun tersebut warga Daulah khilafah Islamiyyah hidup dalam keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan yang hakiki.
Maasyaa Allah, jadi sesungguhnya tidak ada keraguan lagi bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang shahih dan terbaik. Allahummanshuril bil islam, Wallahu a’lam bisshowwab.
Views: 11
Comment here