Oleh: Dewi Dahlan, S.P.
wacana-edukasi.com– Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun ini mencapai US$ 423,1 M atau naik 3,7% dari tahun lalu. Jika dikurskan dengan nilai rupiah Rp. 14.200 per dollar AS, maka utang luar negeri Indonesia sebesar Rp. 6.008 triliun (www.republika.co.id, 15/11/2021).
Meski utang Indonesia sudah berada pada fase yang mengkhawatirkan bahkan berbahaya, sejumlah pakar ekonomi masih menilai aman. Ekonom makro ekonomi dan pasar Keuangan LPEM Universitas Indonesia Teuku Riefky mengakui bahwa utang pemerintah memang naik secara signifikan dan menimbulkan kekhawatiran sebagaimana laporan BPK, tetapi menurutnya utang ini dinilai tidak sampai pada tahap gagal bayar, dan jika dibandingkan dengan banyak negara kita masih jauh lebih aman.
Sebaliknya, Direktur Celios Bima Yudhistira memaparkan bahwa utang Indonesia yang kian meningkat menjadi beban negara berpenduduk 270 juta jiwa ini, dia juga memperkirakan per orang Indonesia menanggung Rp. 24,4 juta utang pemerintah. Dikatakan pula utang pemerintah meningkat dengan global bond yang tenor sampai 50 tahun, terbit 2020 baru lunas 2070. Jadi mewariskan utang yang cukup panjang (www.idntimes.com, 17/8/2021).
Jadi, dimanakah letak amannya berutang? Jika utang versi individu saja sudah membuat orang pusing tujuh keliling memikirkan cara supaya bisa berlepas diri dari jeratannya, apalagi sekelas negara dengan utang yang demikian fantastis jumlahnya. Bisa bikin negara limbung!
Gila Utang
Berutang sudah dilakoni negara ini sejak masa Suharto hingga Jokowi, utang terus melambung hingga pada taraf ketergantungan. Bahkan sampai pada kondisi ”gila”, karena utang tidak dianggap lagi sebagai ancaman tetapi justru sebagai salah satu jalan keluar menyelamatkan masyarakat dan perekonomian.
Memang sudah rahasia umum, bahwa utang menjadi sumber keuangan negara, hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan ekonomi kapitalisme. Banyak alasan yang dianggap wajar bagi pemangku kekuasaan untuk mengambil utang, seperti yang disampaikan oleh Bendahara Negara. Menurutnya, APBN menanggung beban yang luar biasa selama pandemi. Sementara belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, bantuan sosial kepada masyarakat dan batuan kepada dunia usaha. Sementara penerimaan negara merosot karena aktivitas ekonomi lesu. Klop semua masalah keuangan negara, maka utang menjadi solusi untuk menyelamatkan rakyat.
Jadilah negara kita meminta pinjaman ke sana kemari, yang katanya untuk menyelamatkan rakyat. Sebagaimana diberitakan Kompas.com (27/6/2021), terdapat 10 negara pemberi utang tertinggi untuk Indonesia, diperingkat pertama adalah Singapura senilai 68,02 miliar dollar AS, diurutan kesepuluh adalah Jerman senilai 5,57 miliar dollar AS. Bisa dibayangkan, jika sebanyak ini negara yang menjadi peminjam utang kepada negara kita, akan seperti apa tekanan, dikte, intervensi bahkan perebutan wilayah dan juga kebijakan yang akan dihadapi negara kita?
Utang, Penjajahan Gaya Baru
Ketua HILMI Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. menyatakan, besarnya jumlah utang dapat merusak eksistensi negara. Apalagi utang telah menjadi strategi paling jitu untuk menguasai suatu negara. Bisa dikatakan sebagai bentuk penjajahan gaya baru.
Jika hal ini terus dipertahankan oleh penguasa dalam sistem demokrasi, maka berpeluang besar bagi Indonesia harus melepas satu demi satu aset milik rakyat kepada negara atau lembaga kreditur. Bukan hanya itu, secara politik dan ekonomi mereka dapat mendikte dan mengendalikan jalannya setiap kebijakan yang diputuskan oleh penguasa. Terus terpasung dengan segala kepetinggan mereka. Tidak mandiri, bahkan tergadaikan.
Negeri yang mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi akan terus melanggengkan penjajahan lewat berbagai kebijakannya. Salah satu kebijakan dalam ekonomi yakni mengandalkan utang ribawi untuk pembangunan negeri. Negeri dijajah malah bangga, utang kian melambung lho katanya masih aman? Miris!
Seharusnya pemerintah tidak perlu menambah jumlah utang jika semakin membebani negara, apalagi menganggap utang tetap sebagai jalan keluar yang ‘aman’. Padahal sangat di sadari, bahwa pinjaman ini berimplikasi pada dikte politik dan ekonomi yang kemudian harus dipenuhi oleh negara. Kita sama-sama paham, bahwa tidak ada yang gratis dalam paradigma kapitalisme. Utang yang mengandung riba akan mencekik dan menjadi alat intervensi serta kontrol atas negara peminjam atas kebijakan negeri. Karenanya yang harus dilakukan adalah : Pertama, mengganti paradigma pembangunan ekonomi, yakni pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat, bukan kepentingan pemilik modal atau kepentingan politik praktis penguasa. Kedua, adanya political will negara untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berdasarkan kekuatan ideologi. Tentunya dengan penerapan Islam Kaffah.
Utang riba jelas hukumnya haram, karena melanggar hukum syara’. Kedaulatan negara pun terancam. Dengan utang, asing pun mudah mencaplok SDA dan mengobok-obok pemerintahannya. Padahal Allah SWT telah berfirman, “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-nisa: 141).
Karenanya, bahaya ideologis dan politis dibalik utang yang terus ditumbuhsuburkan kapitalisme harus dihentikan. Menyelamatkan rakyat bukanlah dengan utang melainkan dengan menerapkan syariah islam secara kaffah dalam bingkai khilafah.
Wallahu a’lam bisshowab[]
Views: 6
Comment here